07 • Penghuni Asrama

122 26 35
                                    

Sesampainya di rumah, Haidar langsung disambut dengan sebuah koper besar berwarna abu-abu dan bertumpuk-tumpuk kardus. Persis seperti orang mau pindahan.

Laki-laki itu menoleh ke arah Papanya. "Papa mau keluar kota lagi, ya?"

"Lebih ke pengen ngusir lo sih." Lintang menyahut. Masih kesal karena Haidar menyeretnya pergi, padahal pekerjaannya belum selesai. Mending kalau dibiarkan pulang, Haidar malah memaksa laki-laki itu masuk ke rumahnya.

Haidar melirik sinis laki-laki itu. "Yang tidak berkepentingan harap diam, ya," katanya. "Pendapat anda tidak dibutuhkan."

"Yang tidak berkepentingan juga seharusnya nggak ke sini." Lintang mengangkat tangan kanannya--yang kini terborgol sebelah dengan tangan kiri Haidar. Entah darimana coba Haidar mendapatkan borgol ini. Tadi ketika di mobil, tangannya langsung diborgol agar tidak kabur. "Lepasin borgolnya."

"Ogah," jawab Haidar. "Ntar lo kabur."

"Lo nggak risih apa diborgol gini?"

Haidar baru hendak menjawab, tapi urung karena melihat Mamanya datang dari dalam kamar tamu.

"Papa habis jemput Haidar sama Lintang dari kantor polisi?" bingung wanita itu, melihat dua laki-laki yang ada di hadapannya kini diborgol bersama. "Diborgol gini."

"Eh, si Mama. Anak Mama yang tampan, baik hati, dan tidak sombong ini warga berkelakuan baik lho, ya." Haidar berbangga diri. "Nggak bakal masuk penjara."

"Trus, itu kenapa diborgol?"

"Sengaja. Biar Lintang nggak kabur," jawab Haidar.

"Lo kira gue kambing apa? Diiket biar nggak kabur." Lintang memprotes. Tak terima dirinya disamakan dengan binatang.

Haidar melirik ke arah laki-laki yang ada di sampingnya. "Kambing diiket di leher. Lo mau diiket di leher juga?"

"Ya, ogah lah!"

"Ya, itu berarti lo bukan kambing! Gitu aja ribet ah elah," cicit Haidar.

Lintang memaksakan senyum. "Haidar yang tampan, baik hati, dan tidak sombong, kita baru aja bebas sejam lalu lho. Lo nggak mau, kan, kita nempel lagi?" katanya dengan mengeratkan rahang, masih menjaga senyum palsunya. "Jangan bikin gue darah tinggi, ya, kunyuk!"

Haidar menelan ludah dengan susah payah. Patut diakui, tatapan tajam Lintang mengintimidasinya. Laki-laki itu kini gelagapan. Salah tingkah sendiri. "M-masalahnya, kunci borgolnya tadi jatoh."

"APA?!"

"Y-ya, jatoh. Tadi, pas gue mau masukin ke kantong, ternyata nggak masuk. J-jadi ya, nggak ada sekarang." Haidar berusaha menjelaskan, tapi karena gugup kata-katanya jadi belibet. "Gampang lah, nanti kita cari trik buka nih borgol."

Haidar tersenyum kikuk. Pelan-pelan, mengalihkan pandangan dari Lintang--meghindari amukan. Ia menoleh pada Papa dan Mamanya yang kini tampak mengobrol.

"Barang-barangnya Haidar udah semua di sini?" Haryo menepuk pelan kardus paling atas dari tumpukan itu.

Wanita itu mengangguk. "Beberapa yang penting udah di dalam. Sisanya, nanti biar Haidar aja yang milih mau bawa apa aja."

Tunggu. Tunggu. Barang-barang Haidar? Dikemas dalam koper dan kardus? Serius, Mama dan Papa ingin mengusirnya dari rumah?

"Wait a minute." Laki-laki itu menginterupsi percakapan kedua orangtuanya. "Kalian lagi nggak pengen ngusir Haidar, kan?"

"Emang," jawab Haryo santai.

"HEH?!"

"Kamu kok nggak bilang sih, kalau siswa kelas dua belas udah harus pindah ke asrama? Ini aja Mama baru tau dari Mamanya Hanan," tutur wanita itu. Ia baru tahu kalau siswa di tahun terakhir SMA diharuskan menetap di asrama, karena kegiatan bimbel dan kelas tambahan--yang diadakan sekolah--biasanya baru selesai malam hari, dan akan sangat menyulitkan bagi para siswa untuk pulang-pergi dari rumah ke sekolah setiap harinya, terlebih jika rumah mereka jauh.

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang