23 • Yang Sebenarnya...

65 10 5
                                    

Gadis itu berdiri di depan sebuah ruangan sepi yang terletak di ujung koridor. Langkahnya kemudian terhenti di depan sebuah ruangan yang salah satu pintunya terbuka. Disana, tampak Aruna terduduk lemas di sana sambil terus menangis.

Ia berjongkok, menyejajarkan posisi dengan Aruna. Berusaha menenangkannya.

"Kak Lintang, Kak," ucap Aruna dengan suara bergetar. Ia memeluk erat tubuh gadis yang menghampirinya itu, menumpahkan air mata di sana. "Sekarang, Runa udah nggak punya siapa-siapa lagi, Kak."

Sementara, gadis itu hanya diam. Tak tahu harus merespon apa.

"Kakak harus masuk." Aruna mengendurkan pelukan, mengontak gadis itu dengan matanya yang merah berair. "Temuin Kak Lintang untuk yang terakhir kalinya. Mau, ya?" Ia memohon.

Gadis itu mengusap mata sembabnya, kemudian mengangguk pelan. Ia berderap memasuki ruangan tersebut.

Atmosfer langsung berubah begitu gadis itu menginjakkan kaki di sana. Dingin dan sunyi. Sejak masuk, pandangannya masih belum beranjak dari tubuh kaku Lintang yang kini dilingkupi kain putih hingga menutupi kepala. Alat penunjang hidup yang semula terpasang di tubuh laki-laki itu, telah dicopot seluruhnya.

Perlahan, gadis itu mengulurkan tangan, meraih kain putih yang menutupi bagian atas tubuh Lintang. Tak langsung membukanya, ia masih terdiam beberapa detik sembari mencengkram kain itu kuat-kuat, berusaha menguatkan hati. Baru setelah itu, perlahan menyingkapnya.

Tidak. Ia tak siap melihatnya. Hatinya sangat hancur begitu melihat wajah pucat pasi laki-laki itu. Gadis itu merasakan kedua tungkainya melemas, tak dapat menopang berat tubuh lagi. Ia jatuh terduduk di
samping ranjang itu, menangis sejadi-jadinya.

Isakannya kini menggema di dalam ruangan, tapi aku tak lagi peduli.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Gadis itu menabrakkan kepala pada tembok, bersandar dengan kedua mata terpejam dan linang yang tak bisa berhenti mengalir. "Ini, kan, yang lo mau? Dari awal, emang lo yang pengen dia mati. Harusnya, lo seneng dong? Lo seneng, kan, Lintang udah nggak ada sekarang, Elin?!" racaunya pada diri sendiri.

Elin menghujam dada kirinya beberapa kali. "Trus, ngapain lo nangis sekarang? Kenapa rasanya sakit banget sekarang? Lo nggak mungkin udah jatuh cinta sama pembunuh ini. Orang yang udah hancurin hidup lo."

Elin akui, rencana awal dirinya mendekati Lintang adalah untuk mematahkan hati Lintang dan mengacaukan hidup laki-laki itu, juga adik perempuannya. Namun semakin lama, hasrat balas dendam itu sedikit demi sedikit mulai pada, digantikan perasaan suka dan lama-lama menjadi cinta. Ia telah jatuh cinta pada anak pembunuh, pikir gadis itu pada awalnya. Sempat terpikir oleh gadis itu untuk menyudahi saja balas dendamnya.

Sampai fakta mengejutkan itu terkuak. Ternyata, bukan ibu Lintang--yang saat ini ada di penjara--yang telah menabrak adiknya. Lintang pelakunya.

Amarah Elin seketika memuncak. Dan hal yang ia lakukan selanjutnya, benar-benar di luar kendali. Ia membunuh laki-laki itu dengan tangannya sendiri.

Namun bukannya puas karena dendamnya terbalaskan, gadis itu justru terus dihantui rasa penyesalan. Seandainya begini.  Seandainya begitu. Seandainya ia lebih bisa mendengarkan kata hatinya sendiri, alih-alih membiarkan amarah menguasai dirinya.

Sekarang, bagaimana ia melanjutkan hidupnya? Bagaimana ia bisa menghadapi kenyataan kalau ia telah membunuh laki-laki yang dicintainya?

Elin beranjak dari duduk dan berderap mendekat, begitu atensinya teralih pada kalung yang menggelantung di sisi ranjang.

Gadis itu perlahan menyingkap selimut yang menutupi lengan kiri Lintang. Tak langsung mengambil benda tersebut, Elin kini menatap nanar perban yang membalut pergelangan tangan itu. Luka sayat itu. Luka yang ia goreskan dengan sengaja, yang kini membuatnya kembali kehilangan orang yang disayangi

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang