24 • Tak Usah Diperpanjang

54 8 0
                                    

Kedua orang itu terjebak. Lagi.

Dada kiri Haidar dan Lintang saling menempel seperti magnet, memaksa mereka berpelukan cukup lama--setiap kali keduanya bertengkar. Sakit teramat yang keduanya rasakan tadi sebetulnya adalah reaksi tarik-menarik menarik kristal berlilit ular perak yang mendiami dada kiri mereka. Terpaksa, mereka bersembunyi di kamar mandi ruang inap Lintang agar tak ada yang melihat

Namun tak seperti yang sudah-sudah--yang begitu terjebak keduanya akan berusaha menurunkan ego untuk berbaikan agar bisa segera terlepas, kali ini tidak demikian. Ini sama sekali bukan perkara remeh seperti barang hilang, salah satunya teledor, dan semacamnya. Ini soal kekecewaan mendalam yang keduanya rasakan.

"Bego," cecar Haidar. "Lo terlalu dibutakan sama tuh cewek." Ia memalingkan wajah, enggan menatap orang yang ada di hadapannya itu. Bayangan itu masih terekam jelas di benaknya, tentang bagaimana kejamnya gadis itu mencoba mengakhiri hidup Lintang, beradu dengan tangis pilu Aruna ketika harus menyaksikan kakaknya bersimbah darah--hampir meregang nyawa--hari itu.

Lebih dari perasaan panik dan takutnya kehilangan laki-laki itu--karena tak ingin kehilangan sosok kakak itu dan berakhir bunuh diri seperti yang terjadi di kehidupan sebelumnya, Haidar kini justru merasa dunianya seolah berantakan setiap kali melihat Aruna menangis.

Aruna sangat menyayangi Lintang--kakaknya. Dan, Haidar takkan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau sampai di kehidupan ini, ia gagal menjaga hidup Lintang dan membuat Aruna--gadis yang ia sayangi--terluka.

Lintang hampir saja tak selamat dari percobaan pembunuhan gadis itu. Bukti sudah terpampang jelas di depan mata, bahkan sang pelaku pun telah menyerahkan diri, tapi bisa-bisanya Lintang malah menutup kasus itu begitu saja?

Keadilan macam apa ini?

"Penjahat kaya dia harusnya mendekam di penjara," ucap Haidar dengan mengeratkan rahang.

"Dia punya nama. Namanya Elin." Lintang mendebat. "Dan, dia bukan penjahat."

"Astaga, Lintang! Gimana sih caranya biar lo sadar?" Haidar mengusap kasar wajahnya dengan tangan kanan. Sumpah, sejujurnya ia sudah sangat muak dengan laki-laki itu. Tapi mau bagaimana lagi? Dada mereka masih menempel dan mustahil bisa terlepas sebelum mereka berdamai.

"Terserah kalo lo cuma hidup sendiri, lo mau bucin sampe bego juga terserah! Biar deh kalo lo mau mati sekalian!" bentak Haidar. "Tapi, lo punya keluarga sekarang. Lo punya orang yang sayang sama lo. Lo masih punya Aruna. Lo masih punya gue, Lin." Suara laki-laki itu lirih terdengar ketika mengucapkan kalimat terakhir. "Kalo lo emang udah nggak peduli sama diri lo sendiri, seenggaknya please, pikirin perasaan adik lo. Aruna terus-terusan nanya apa lo sampe kaya gini gara-gara beneran pengen bunuh diri. Dia terus nyalahin dirinya sendiri, karena harusnya dia selalu ada di samping kakaknya dan nggak ngebiarin kakaknya nangis sendirian."

Lintang memejamkan kedua matanya, membiarkan tetes air itu mengalir dari pelupuk mata. Pertahanannya seketika runtuh begitu Haidar membahas tentang adiknya. "Bukan itu yang gue mau, Dar."

"Terus, mau lo apa? Mati sendirian dan ninggalin semua orang gitu aja?" Haidar mengusap ujung matanya. Tak tahu apa air mata ini berasal dari emosinya yang saat ini meledak-ledak, atau--sekali lagi--terpengaruh perasaan sedih Lintang. "Sebenernya, apa sih yang mau lo perjuangin sampe rela berkorban segininya? Oh, bukan berkorban sih. Lebih ke bodoh namanya."

Membiarkan orang lain menghabisi nyawa sendiri tanpa melawan sedikit pun, apalagi namanya kalau tidak bodoh?

"Gue-" Lintang mengernyit, menahan pening yang kini menghantam kepalanya. Mungkin karena dirinya terlalu lama berdiri, ditambah udara lembab dan dingin kamar mandi, membuatnya kini menggigil.

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang