25 • Kembali dan Pergi

87 11 3
                                    

Aruna meremas jemarinya tegang. Sedari tadi, ia terus mengitip dari celah di bagian bawah panggung. Melihat berapa jumlah penonton yang datang,  juga ketiga juri yang tampak sedikit berbicang.

Malam ini, babak semifinal dari kontes menyanyi dilangsungkan. Dan, acara ini akan disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi nasional. Seluruh kontestan telah tampil, menyisakan dirinya sebagai penampil terakhir sekaligus penutup untuk acara hari ini, yang hasil penilaiannya akan diumumkan pekan depan.

Aruna sangat gugup saat ini. Melihat penampilan memukau dari para kontestan sebelumnya, membuat kepercayaan dirinya semakin surut.

“Ntar kalo sampe salah gimana?" Gumamnya. Sedari tadi, ia terus memindai penonton yang hadir. Raut wajahya berubah murung, mengetahui satu kursi penonton yang ada di baris ketiga dekat jalan itu—yang ia siapkan khusus untuk Lintang--masih kosong.

Bodoh! Mau berharap pun percuma. Kakaknya takkan datang. Dokter pasti tak mengizinkan laki-laki tu datang karena kondisinya yang masih lemah.

Aruna juga tak ingin egois. Justru, akan lebih baik kalau Lintang tetap beristrirahat di rumah sakit sekarang. Toh, acara ini disiarkan secara langsung. Jadi, kakaknya itu masih bisa menonton penampilannya.

"Lo bakal tampil memukau. Percaya deh sama gue." Satu sentuhan lembut mendarat di pudak kanan Aruna kontan membuatnya berbalik. Dari sana, tampak Haidar tersenyum simpul padanya.

“Kak Haidar kenapa bisa ke sini?” tanya gadis itu berbisik. “Ini, kan, ruang tunggu khusus peserta.”

“Lupa, ya? Calon pacar lo ini, kan, selalu punya jalan pergi ke mana pun.” Haidar menyombongkan diri.

Aruna mencubit perut laki-laki itu karen asebal. "Kak Haidar apaan sih? Orang lagi tegang juga masih dibercandain."

“Ampun. Ampun.” Lelaki itu berusaha menghindar. “Lo nggak mau, kan, perutnya Lintang kram gara-gara cubitan lo?”

Aruna menggeram pelan. “Au ah.” Ia terus mondar-mandir sambil megigiti kuku. Bolak-balik dari berdiri, ke duduk pada sofa, ke berdiri lagi. Begitu terus sampai mungkin ada sekitar empat kali.

"Runa, lihat gue." Haidar memblok jalan Aruna, lantas mengangkat dagu gadis itu dengan jari telunjuknya—agar mau membalas tatapannya. “You got this. Okay? Nggak ada yang perlu lo cemasin. Lagipula, harusnya lo seneng dong. Karena malam ini, lo bakal nyanyi di depan tamu spesial."

"Tamu spesial? Siapa?” Apa ada peyanyi terkenal yang jadi tamu dalam acara ini? Atau, salah satu dari jajaran direksi stasiun televisi?

Haidar mengelus surai hitam panjang gadis itu. “Nanti juga lo tau,” katanya. “Gue jamin, lo bakal seneng banget ketemu dia.”

Sepasang alis Aruna tertaut mendengarnya. Memang, siapa tamu spesial itu?

Gadis itu baru hendak bertanya, ketika seorang wanita berseraham hitam mendatanginya, menyuruhnya bersiap karena sebentar lagi akan tampil.

~•~

Aruna memindai sekilas, setiap orang yang berbaris rapi di kursi penonton. Entah kenapa, saat ia sudah siap di posisinya di tengah panggung, pikirannya mendadak blank.

You got this, Aruna.”

Gadis itu menarik napas panjang—ketika intro lagu dimainkan. Ia memejamkan mata, menghadirkan kembali momen bahagia saat keluarga kecilnya berkumpul bersama di dekat api unggun dan bernyanyi bersama dulu—ketika kedua orangtuanya masih bersamanya dan semuanya masih baik-baik saja. Lagu yang akan ia bawakan ini adalah lagu yang menemani masa kecilnya. Lagu yang dulu sering dinyanyikan sang ibu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang