05 • Pendar Merah

166 38 37
                                    

"Pa, Haidar mau tanya."

"Papa mau jawab," jawab pria yang tampak sedang duduk di kursi santai sambil membaca koran itu.

Terdengar decak pelan dari laki-laki itu. "Haidar serius, Pa."

Haryo menurunkan koran yang semula dibacanya, lalu menoleh pada putranya. "Ada apa?"

"Papa percaya nggak sama yang namanya kutukan dan nasib sial?" Haidar duduk bersila di hadapan Papanya, bersiap kalau-kalau pria itu akan menjelaskan panjang lebar.

Entahlah, Haidar mulai sering mempertanyakan 'apakah ia betulan terkena kutukan?' Terlebih, sejak tatanan hidup--mulaui dari jam tidur, lelah dan sakit tiba-tiba, hingga nafsu makan yang jadi tak karuan--selama beberapa hari terakhir, yang kesemuanya berasal dari Lintang. Kondisi mereka yang 'tersambung' benar-benar menyulitkan hidup Haidar.

Namun di sisi lain, Haidar juga sedikit banyak jadi mengerti sisi lain dari si cuek misterius Lintang. Lintang tak setangguh itu ternyata. Laki-laki itu rapuh dan kacau, tapi juga sangat bebal.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Perhatian pria itu teralih pada Haidar. "Oh, Papa tau. Pasti gara-gara semalaman nggak bisa tidur, makanya jadi overthinking. Iya, kan?"

Haidar menghela napas berat. Sebetulnya itu hanyalan bagian kecil dari keseluruhan kerumitan hidupnya saat ini. Namun, percuma juga cerita. Papanya pasti akan menganggapnya halu. "Bisa jadi," katanya.

Haryo berdeham, lantas menyeruput kopi di meja samping.

Haidar mengamati dengan kening mengernyit, lebih ke mamandang julid sebenarnya. "Habis nyeruput kopi pasti bakal keluar kata-kata mutiara. Udah kaya anak senja aja, Pa."

"Mau dijawab nggak pertanyaannya?" tanya pria itu sedikit kesal.

"Sekarang, ngambek-ngambek nggak jelas kaya cewek yang lagi PMS."

Haryo melirik sinis putranya. Sejujurnya, ingin sekali dirinya menimpuk kepala bocah itu dengan gulungan koran, tapi ia dengan cepat sadar. Tabiat Haidar benar-benar persis sepertinya, termasuk tengil dan menyebalkannya.

Pria itu menghela napas berat. "Sekarang Papa ngerti, kakekmu ternyata sesabar itu."

"Haidar juga bangga banget ke Kakek." Laki-laki itu membalas. "Pasti nggak gampang ngadepin Papa. Iya, kan?"

"Nggak gampang juga ngadepin kamu. Bocah edan!" Haryo kini betulan menimpuk Haidar dengan gulungan koran.

"Aw." Haidar mendesis, menggosok pelan kepalanya. "Sakit tau, Pa."

"Ya udah. Itu, kan, deritamu." Haryo meletakkan gulungan koran ke atas meja, lantas beranjak pergi.

"Yah, si Papa ngambek." Tak ingin namanya dicoret dari kartu keluarga, Haidar buru-buru menyusul pria itu. "Pa, jangan marah dong," mohonnya. "Haidar cuciin deh mobil Papa."

Pria itu meletakkan kedua tangan pada saku piyama. "Kurang."

"Nyuci mobil tuh udah effort banget nih ya, asal Papa tau," protes Haidar yang langsung disambut sebuah gelengan dari papanya. "Oke, trus Papa maunya apa?"

Pria itu menyeringai. "Masakin buat nanti makan malam." Aji mumpung. Berhubung Haidar sedang mode nurut-nurutnya, sekalian saja ia suruh putranya itu untuk masak. Kalau begini, kan, ia jadi tak repot-repot turun ke dapur--Haryo kalah main Uno dengan sang istri semalam, jadi dirinya harus memasak untuk makan malam sebagai hukuman.

"Hah?!"

"Ya udah kalo nggak mau." Haryo membuang muka, melangkah menjauh.

"Oke. Oke. Haidar mau." Laki-laki itu menurut pada akhirnya.

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang