02 • Hari Sial Haidar

217 38 53
                                    

Haidar refleks bergerak mundur selangkah, menghindari cipratan air bercampur lumpur dalam kubangan itu agar tak mengenai seragam putihnya. Akan jadi PR sekali kalau sampai sepatu putih--yang notabennya memang susah dibersihkan--miliknya terkena lumpur. Sepertinya, mengenakan item pakaian, entah itu baju atasan, celana, atau sepatu berwarna putih di hari berhujan begini memang bukan pilihan bagus. Tapi ya, namanya juga seragam.

Oke, celana putihnya aman. Tetapi, ia punya masalah lain yang jauh lebih serius sekarang.

"Bukunya!" Laki-laki itu dengan segera memungut buku bersampul putih miliknya yang tadi terjatuh ke dalam kubangan. "Kelar hidup gue bisa-bisa," gumamnya sambil menatap nanar buku yang kondisinya sudah sangat mengenaskan itu.

Jika jatuh dalam keadaan tertutup, mungkin masih bisa diselamatkan karena terlindung oleh lapisan hardcover. Namun, jika jatuhnya dalam keadaan terbuka dan bagian dalamnya langsung menyentuh air lumpur? Sudahlah.

Tamat sudah riwayat Haidar. Masalahnya:
1. Buku catatan itu bukan miliknya, tapi milik Asa temannya yang ia pinjam semalam dan harus dikumpulkan hari ini juga. Haidar tak sempat menyalin karena ketiduran semalam
2. HAIDAR BELUM SEMPAT MENYALIN PR-NYA!

"Mampus! Mampus! Mampus!" Laki-laki itu merutuki nasib sialnya pagi ini, sembari melangkahkan kaki menuju ruang kelas. Mengabaikan berpasang mata yang tertuju padanya sepanjang melewati koridor kelas sepuluh, saling berbisik heran seolah Haidar baru saja bangkit dari kematian.

"Ini ya Kak Haidar, yang katanya habis koma semingguan dan hampir gak selamat itu?"

"Iya. Katanya karena gagal jantung."

"Ih, serem banget."

Salah satu siswi dari gerombolan itu refleks memegang dada kirinya. "Kebayang pasti sakit banget."

"Mana kejadiannya di perpus malem-malem. Sepi banget tuh."

"Makanya, jangan pergi sendirian. Ntar kalo-"

"Hush! Lo nyumpahin gue kaya gitu juga?"

"Emang lo mau?"

"Ya, kagak lah!"

"Untung ada yang nemuin dan nolong."

Langkah Haidar terhenti begitu mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan salah satu dari gerombolan siswi itu.

Ada orang yang menemukan mereka malam itu?

Siapa?

Apa orang itu juga melihat kejadian aneh pasal batu merah melayang itu?

Atau, mungkin ia tahu sesuatu?

Setelah pertimbangan singkat--yang cukup matang, Haidar berderap menghampiri siswi-siswi itu.

Mereka tampak gelagapan dan kikuk sendiri ketika laki-laki itu mendekat.

"Ah, lo sih pake acara ghibahin segala. Kak Haidar-nya jadi denger kan," bisik salah satu diantara mereka.

"Lo juga ikutan," sahut yang lain. "Mampus. Alamat kena omel kita."

"K-kak, maaf ya," ucap salah seorang siswi ber-nametag Cindy pada laki-laki itu. "Jangan marahi kita."

Kini, mereka kompak menundukkan kepala.

Haidar menghela napas berat. Siapa sih yang membuat peraturan senioritas-junioritas? Apalagi yang terus menekankan hal tersebut pada adik kelas. Kan, jadinya canggung begini.

"It's okay. Gue nggak marah," kata Haidar. Bodoamat mau dia dibicarakan seperti apa di belakang, selama tak secara langsung merugikannya, ia takkan ambil pusing.

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang