12 • Di Balik Rasa Takut

91 24 7
                                    

"Beneran nggak ada apa-apa, kan, ya?"

Sebuah helaan napas berat mengudara dari gadis berambut legam panjang itu. Ia lantas menoleh, menghadap ke arah Haidar yang sedari tadi berjingkat di belakang sembari terus memegangi pundaknya. Ia memaksakan senyum pada laki-laki itu. "Mending Kak Haidar diem aja deh, ya. Daripada makhluk halus yang ada di kebun ini nongol semua trus nyulik Kakak ke alamnya. Mau?"

Haidar menggeleng pelan, dengan bibir bagian bawah sedikit maju dan kedua mata berbinar. "Nggak mau."

Bibir gadis itu mengatup, menahan tawa. Ekspresi Haidar lucu sekali. "Ya udah, kalo gitu jangan berisik."

Laki-laki itu dengan polosnya mengangguk.

"Kak Haidar jalan di depan," ucap Aruna yang langsung dijawab dengan gelengan cepat dari Haidar.

"Lo aja, gue takut."

"Kakak, kan, cowok. Masa takut perkara ginian?"

"Kalo takut, ya takut aja kali. Nggak ada urusannya mau cewek apa cowok," kata laki-laki itu. "Nanti kalo tiba-tiba ada yang nyerang di depan gimana?"

Aruna menghela napas berat. Kedua bola matanya merotasi. "Siapa sih yang mau nyerang? Sundel bolong? Kunti-" Perkataan gadis itu terhenti ketika tiba-tiba saja Haidar membekap mulutnya.

"Jangan disebut, nanti makhluknya datang." Haidar meneguk saliva dengan susah payah, sembari mengedarkan pandang ke sekeliling--barisan setinggi hampir lima meter yang tertutup sempurna oleh gelapnya malam. Penerangan sangat minim di sini. Hanya mengandalkan sinar rembulan.

Sewaktu berkeliling di kebun wisata petik jeruk tadi, tanpa sadar Haidar dan Aruna telah berjalan terlalu jauh dari kawasan wisata tersebut, dan tersesat area kebun campuran milik warga yang berhektar-hektar luasnya  serta jauh lebih rimbun dan sepi--hampir seperti hutan.

Di tempat ini juga susah sinyal.

"Ya, terus gimana? Runa yang jalan di depan?" tanya gadis itu. Sebetulnya tak masalah sih, toh ia juga tak takut dengan hal beginian. Tetapi masalahnya, Haidar--yang memang betulan takut--sangat mengganggu di belakang. Laki-laki itu terus saja mencengkram dan menarik-narik lengannya. "Terus, kalo hantunya muncul dari belakang, gimana?"

Haidar kini semakin erat memeluk Aruna dari belakang. Kedua matanya memejam kuat. Tangannya gemetar dan terasa dingin. Jantung berdebar kencang dan napasnya jadi pendek-pendek. Ia takut betulan.

Aruna langsung berbalik, merasakan degup jantung laki-laki itu di punggungnya. "Tenang, Kak. Tenang." Ia menangkupkan kedua tangan pada pipi laki-laki itu, menjaga kontak mata dengannya. "Lihat Runa," katanya.

Laki-laki itu menggeleng kuat, memejamkan kuat kedua mata--menjatuhkan setetes air dari sana. "Enggak. Jangan." Ia mulai meracau. "Jangan mendekat!" jeritnya, menutup rapat telinga dengan kedua tangan dan jatuh terduduk. Debar yang semakin kencang membuatnya kini kesulitan bernapas.

Aruna langsung berjongkok di hadapan Haidar--menyejajarkan posisi--begitu menyadari apa yang terjadi. Laki-laki itu megalami gejala panic attack.

"Kakak tenang, ya. Nggak ada yang perlu ditakutkan di sini. Oke?" Aruna perlahan menurunkan tangan Haidar yang masih menutup rapat kedua telinga. "Lihat Runa," katanya sambil menolehkan kepala laki-laki itu agar pandangannya tak terarah ke mana-mana. "Runa tau ini susah, tapi Runa yakin Kak Haidar bisa atasi ini. Sekarang, Kakak tenang, ya? Atur napas pelan-pelan. Inhale. Exhale." Ia memberi arahan.

Aruna mengamati sekeliling. Haidar takut pada gelap, sedangkan tempat ini gelap sekali. Mungkin inilah alasan mengapa laki-laki itu mengalami serangan panik--selain perasaan cemas akan penampakan hantu--sekarang.

DESTINED TOGETHER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang