Episode Satu [S.4]

942 81 13
                                    

*Part direvisi

"Retaknya sang hati."

•••

Seorang pemuda mengerjapkan matanya. Cahaya matahari pagi begitu menyilaukan untuk dirinya yang baru saja terbangun dari tidur. Perlahan demi perlahan, matanya terbuka sempurna, menampilkan manik mata biru air miliknya yang begitu indah.

Ice, pemuda yang baru saja bangun tidur itu segera membangkitkan tubuhnya. Tangannya terangkat untuk menutup mulutnya yang tengah menguap. Terdiam sejenak, masih berusaha mengumpulkan nyawanya.

Tadi malam, ia diminta pulang bersama dengan Solar dan Thorn. Mengingat mereka akan pergi ke sekolahan besok. Sedangkan Halilintar dan Taufan memilih untuk menetap demi menjaga Blaze yang masih perlu perawatan dokter.

Ice segera beranjak, menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Tak terlalu lama, kini pemuda itu sudah siap dengan seragam sekolah lengkap berserta tas punggungnya, bersiap untuk turun ke lantai satu, menuju meja makan.

Langkah nya terhenti, tepat di depan pintu dapur. Pandangannya menatap Halilintar yang kini tengah bergulat dengan alat masak. Pemuda itu nampak canggung, ingin menyapa sang abang namun ragu. Bukan tanpa alasan, dari ia sekolah dasar hingga sekarang, ia dan abangnya itu tak pernah begitu akrab.

Di dalam keluarga, mereka seolah terbagi menjadi tiga kubu. Halilintar yang lebih dekat dengan Taufan. Ice dan Blaze yang lebih sering menghabiskan waktu bersama, serta Thorn dan Solar yang sangat begitu akrab, sehingga rasanya begitu canggung jika salah satu dari tiga kubu itu bertemu kubu lainnya. Ya pengecualian untuk TTM. Gempa? Entahlah, hanya dia yang berada di kubunya sendirian, mengemban semua kewajiban yang harus ia lakukan.

"Ice?" Pemuda itu tersadar dari lamunannya begitu suara Halilintar terdengar. Ia mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha fokus pada dunia nyata.

"Kenapa diam di sana? Gak mau ikut makan bareng kita?" Ice melirik, di meja makan sudah ada Thorn dan Solar yang menatapnya heran.

Ia segera mengangguk kecil, lalu ikut mendudukkan dirinya di sana. Mereka berempat segera menghabiskan makanan dalam diam, tak ada suara apapun yang terdengar, kecuali suara dentingan sendok yang bersentuhan dengan piring.

Canggung, itulah yang dirasakan keempatnya. Tak ada yang berani memulai obrolan terlebih dahulu. Biasanya Blaze dan Taufan akan dengan kompak memulai kegaduhan hingga membuat suasana di meja makan lebih berwarna. Namun kini, keduanya harus berada di rumah sakit.

Halilintar hanya diam dengan makanannya, ia tak tau harus memulai obrolan dari mana. Ia yang notabenenya adalah anak sulung, merasa tak harus mendekati adik-adiknya, kecuali Taufan yang memang saudara kembarnya. Berbeda lagi dengan Thorn yang juga ragu untuk mencari topik, pasalnya ia merasa begitu jauh dari abang-abangnya. Hanya Solar yang selalu menemaninya, kadang Taufan dan Blaze juga akan menjadi teman bercandanya.

Namun, rasanya tidak untuk dua orang yang kini berada satu meja makan dengannya. Halilintar dan Ice, kedua pemuda itu sangat menutup diri padanya, hingga ia begitu sulit untuk mendekat. Diluar dari itu, Solar tak begitu peduli pada sebuah kedekatan. Baginya dekat ataupun tidak dengan abang-abangnya adalah hal yang tak harus ia pikirkan. Menurutnya, tak ada yang jauh dan tak ada yang dekat, hubungannya dengan saudaranya normal-normal saja.

"Solar pulang agak sore an, ya." Solar mulai berbicara saat ia sudah menghabiskan makanannya. Hal itu membuat ketiga saudaranya menoleh, menatapnya dengan heran seolah meminta penjelasan.

I'm Tired #Season4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang