47 | Dear, diary

557 61 27
                                        

Benar kan, Gallio itu memang tidak pernah berhenti memberikan kejutan. Sejak kejadian kemarin ketika dia nekat bernyanyi di depan kampus untuk Jenny—yang berakhir dengan teguran keras dari pihak kampus—hari ini, dia muncul lagi dengan kejutan lain. Pagi-pagi sekali, ketika Jenny mendengar ketukan di pintu kamarnya, dia sama sekali tidak menduga siapa yang ada di baliknya. Dengan setengah sadar, dia membuka pintu dan melihat sosok Gallio berdiri di sana, dengan senyum lebar, menyambut dengan kerjapan polos dibuat-buat.

Seketika, Jenny terlonjak kaget. Dia cepat-cepat menutup pintu, membuat Gallio harus mengetuk lagi, kali ini dengan lebih tergesa.

"Jen! Kok malah ditutup sih?" Gallio memanggil dari balik pintu.

"Kenapa kamu tiba-tiba ada di depan pintu kamar aku?" Jenny bersandar di balik pintu yang baru saja dia tutup. Pikirannya melayang, menatap bayangan dirinya di depan cermin yang ada di ujung kamar. Rambutnya masih kusut, wajahnya sembab, dan pakaian tidurnya juga berantakan. Sungguh tidak siap bertemu siapa pun, apalagi Gallio. Ya Tuhan.

"Lo ngga ngangkat telepon gue, jadi gue ke sini," jawab Gallio santai, masih berusaha mengetuk.

Jenny menghela napas panjang. "Ya, tapi kan kamu bisa nunggu di bawah."

"Gue udah nungguin sejam, Jen. Mbak Renatta yang nyuruh gue ke sini, katanya lo susah tidur tadi malam. Mungkin telat bangun."

Jenny mendengus kecil. Tentu saja itu ulah Renatta. Dia yang paling iseng menjahili Jenny tentang siapapun laki-laki yang berusaha mendekati adiknya itu. Tapi bukan berarti Gallio bisa seenaknya datang dan membuat jantungnya berdebar tidak karuan seperti ini.

"Lagian, kamu mau apa pagi-pagi begini?" tanya Jenny, terdengar samar-samar di balik pintu.

"Gue cuma pengen kasih sesuatu buat lo."

Jenny mengerutkan dahi. "Apa?"

"Ya masa kita ngobrol di balik pintu gini sih?"

Jenny terdiam, menimbang-nimbang. Dengan malas, dia merapikan sedikit rambutnya yang masih acak-acakan dan mengucek matanya, lalu membuka pintu sedikit lagi, cukup untuk menampakkan kepalanya yang menyembul keluar.

"Kamu mau ngasih apa, Gal?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Gallio tersenyum, sedikit memiringkan kepalanya untuk ikut menoleh dari sela pintu agar bisa melihat Jenny lebih jelas. "Keluar dulu dong. Masa kayak gini?"

Jenny mendengus. "Aku belum mandi, Gal."

"Ya udah, gapapa. Tetap cantik kok."

Jenny terdiam, memutar bola matanya dengan sebal. Bukannya dia tidak percaya, tapi siapa sih yang mau dilihat dalam keadaan seperti ini?

"Beneran tetap cantik. Gue ngga peduli," Gallio mengulangi. "Udah buruan keluar."

Namun, alih-alih menuruti Gallio, Jenny justru menutup pintu lebih keras dari sebelumnya. Gallio sampai terlonjak mundur, kaget bercampur bingung.

"Apaan sih cewek?" gumamnya pada dirinya sendiri, setengah geli setengah frustasi. Rasanya, memahami teori fisika kuantum mungkin lebih mudah dibanding mengerti apa yang ada di pikiran Jenny saat ini.

Tapi, ketika dipikirnya ulang, engga deh fisikia kuantum. Terimakasih. Yang ada buat keriting rambut. Mending mikirin Jenny aja. Itu yang paling benar.

Gallio bersandar di dinding, menunggu dengan sabar. Dia bisa mendengar suara lemari yang dibuka. Setelah beberapa menit, pintu kamar Jenny akhirnya terbuka. Perempuan itu keluar dengan langkah cepat, masih dalam pakaian tidur tapi dengan rambut yang sudah disisir rapi. Dia berjalan lurus tanpa menoleh, menuju kamar mandi yang ada di ujung lorong lantai dua rumah itu.

Jenny PriskillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang