Perspective

1.3K 69 65
                                    

!!WARNING!!

•Karakter" Boboiboy hanya milik Monsta.
•Author hanya meminjam karakternya.
•Karakter lain ialah OC author.
•Alur cerita murni karangan author.
•Mohon maaf apabila ada perkataan yang menyinggung.
•Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan atau kata yang tidak pas ataupun kata yang tidak pantas.

~Selamat Membaca~







Banyak orang yang susah untuk mengakui kesalahan dan masih dengan keras kepalanya hanya mengutamakan penilaian yang diambil dari sudut pandangnya sendiri.

Bahkan dengan egoisnya tidak membiarkan orang lain untuk menjelaskan apa yang ia lihat dan rasakan, sampai akhirnya penyesalan dan sedikit keterlambatan yang akan mereka dapatkan.

"Sakit sih, kalau lo gak sepenuhnya ngelakuin kesalahan. Tapi gak ada satu pun orang yang mau denger atau percaya sama lo"

"Cuma beberapa.. but its okey, not bad. Daripada gak ada sama sekali kan? Haha"



= Perspective =


Hari itu Halilintar terjaga lebih cepat dari biasanya. Tidurnya tak nyenyak karena isi pikiran dan hatinya bercampur aduk antara gelisah, khawatir, takut, dan tak siap untuk menerima hasil hari ini. Tapi untungnya ia bisa menutupi semua hal itu dengan wajahnya yang senantiasa datar.

Setelah menunggu sekitar satu minggu, hasil ujian nasional tahun ajaran yang terbilang sangat susah itu akan diumumkan. Masa depan untuk melanjutkan sekolah menengah atas ditentukan oleh angka yang akan mereka terima.

Halilintar berangkat ke sekolah pagi pagi sekali, dengan kedua temannya yang sudah janjian untuk pergi bersama. Solar, salah satu dari temannya itu terlihat begitu tegang dan wajahnya sangat kusut. Astaga, bahkan Solar yang terkenal cukup cerdas pun bisa merasa demikian paniknya.

Pintu gerbang dibuka secara perlahan oleh penjaga sekolah, seolah mendukung suasana mereka yang sudah suram. Tanpa banyak bertanya, penjaganya mempersilahkan ketiganya untuk masuk kedalam.

Sepi, baru mereka saja siswa yang ada disana. Entah karena terlalu bersemangat atau memang karena saking takutnya mereka menjadi serajin ini.

Masih ada waktu sekitar dua jam lagi sebelum sekolah benar benar ramai, Halilintar memutuskan untuk berjalan mengitari sekolah, lalu duduk ditempat yang jarang dilewati orang, menunggu sekalian mengurangi rasa cemas berlebih. Sementara Solar memilih untuk duduk di pinggir pohon beringin. Yang satunya lagi entah kemana.

Ya, Halilintar ini memang termasuk murid yang paling pandai juga. Tapi tetap saja, mengingat sudah banyak kasus siswa yang tidak bisa lulus semudah itu padahal mereka itu yang terbaik dari sekolahnya juga membuatnya khawatir setengah mati.

Ia hanya tidak mau hal itu menimpa pada dirinya juga dan berakhir mengecewakan orangtuanya yang sudah bersusah payah menyekolahkannya di sekolah elit ini.

Memang tidak ada yang memaksanya untuk melakukan segalanya dengan sempurna, namun Halilintar memiliki prinsip yang secara tak langsung menyiksa dirinya sendiri.

"Hali" sapa Ice dengan tenang, yang entah sejak kapan sudah ada disampingnya.

Sapaan sederhana itu berhasil membuat Halilintar kaget karena terlalu larut dengan lamunannya sendiri. Air wajahnya pun turut berubah. Hanya bersama Ice saja ia bisa merasa leluasa memperlihatkan emosinya itu, kalau dengan Solar tidak terlalu, soalnya anak satu itu selalu ribut dengannya.

EpiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang