Bab 8 : Tolong Bersedihlah

502 60 3
                                    

Syauqi kini berubah menjadi pria yang bertubuh tegap dan kekar, wajahnya pun cerah, membuat semua orang memandang ke arah. Andai saja gadis kecil dalam pangkuannya tak ada, mungkin sekarang banyak perempuan yang ingin berkenalan dengan Syauqi.

"Serius, lo udah cerai?" tanya Fiza pada Syauqi, masih tak percaya dengan kabar yang dibawanya.

Pria yang tengah serius mengunyah makanannya itu, mengangguk untuk menjawab.

"Secepat itu?" Fiza masih tak percaya.

Arissa berdecak. "Namanya juga nggak cocok, gimana mau diteruskan? Kalau kata ibu-ibu tiktok, seumur hidup itu terlalu lama," timpalnya.

Fiza menatap teman perempuannya itu. "Tapi nggak gitu juga, Sa, kalian tuh kayak mainin pernikahan tahu, nggak?"

"Nggak ada juga yang mau akhirnya kayak gini," ujar Syauqi, "kalau dia mau bertahan, ya, gue pun bakal bertahan. Biar bagaimanapun udah punya anak, jadinya ego gue buang jauh-jauh. Tapi ternyata nggak sesimpel itu."

Arissa mengangguk setuju. "Nggak sesimpel itu, Za. Entar lo rasain pas udah nikah," mendengkus kesal mengingat kelakuan Julian, "mau lo pacaran sepuluh tahun lamanya, nyatanya menikah itu beda banget rasanya."

"Setuju." Syauqi menyahuti. "Dalam kasus gue, emang udah nggak bisa. Bayangin aja, selama di Surabaya gue tinggal sama mertua, tapi ternyata mantan istri gue dijemput sama cowok lain waktu gue lagi kerja."

Fiza dan Arissa melongo mendengarkan itu. Syauqi tak pernah menceritakan masalah ini saat mereka saling mengirim pesan. Pria itu tinggal sendirian di Surabaya, tak habis pikir melewati semua itu sendirian.

"Dan mantan mertua gue biarin aja," lanjut Syauqi, ia mengusap rambut putrinya yang berada di pangkuannya, "untung tetangga gue pada baik. Jadinya hari itu gue pura-pura pergi kerja, tapi sebenarnya gue nggak kerja dan milih sembunyi di rumah tetangga gue."

"Terus? Terus?" Fiza dan Arissa penasaran dan serius mendengarkan.

"Ternyata benar kata tetangga, dan cowok itu mantan pacarnya istri gue," jelas Syauqi, "gue ikuti mereka pakek mobil tetangga, karena kalau pakai motor gue, jadinya cepat ketahuan."

Syauqi membuang napas kasar. "Mereka ke hotel, padahal masih pagi, loh."

"Anj*r," umpat Fiza, gemas mendengarkan cerita itu.

Arissa masih dibuat terheran-heran. "Dan mertua lo nggak ada ngelarang? Terus, anak sama siapa? Pas lo tanya, istri lo ngaku?" tanyanya beruntun.

"Nggak pernah ngelarang, malah mantan mertua gue nganterin mereka sampai teras, anak dijaga sama mertua," Syauqi lagi-lagi membuang napas kasar karena terasa berat mengingat masa lalu, "dia langsung ngaku selingkuh sama mantan pacarnya. Atau lebih tepatnya mereka belum jadi mantan."

"Anj*r," umpat Fiza lagi.

"Bisa nggak lo berhenti ngomong gitu?" protes Syauqi, "anak gue bakal ngikutin."

Fiza menutup rapat mulutnya menjadi garis lurus, kemudian ia menyadari kesalahan temannya itu. "Salah lo bawa anak pas nongkrong gini," timpalnya.

"Mau gimana lagi, orang rumah nggak ada yang dia suka, cuma gue, Ayahnya."

"Belum dekat, ya?" Arissa mengulurkan tangannya menyentuh kepada putri kecil temannya itu. "Usianya udah setahun, 'kan?"

Syauqi mengangguk. "Setahun dua bulan."

"Masih kecil banget." Fiza menatap sedih ke arah anak itu. "Ibunya nggak larang lo bawa anak kalian ke Jakarta?"

Mendengarkan itu, Syauqi mendengkus. "Dia udah nikah sama pacarnya, dua bulan setelah cerai dari gue. Kelihatan banget keluarganya bersukacita."

"Uuu," tangan Arissa berpindah ke kepala Syauqi, "kasihan banget ayahnya." Mengelus bak anak kecil.

"Serah lo, Sa." Menepis pelan tangan temannya itu.

**

Pertemuan itu berakhir di pukul sepuluh malam, Arissa memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Beruntung mamanya tak pernah pelit jika dipinjami mobil, apalagi memakai alasan akan pulang malam.

Saat Arissa ingin menutup gerbang, seseorang menahan tangannya, hal itu membuat ia terpekik kaget. Ya, pelakunya tak lain adalah Julian, pria yang masih berstatus suaminya.

"Kamu kenapa keluar malam?" tanya Julian tanpa basa-basi, "harusnya kamu izin dulu ke aku."

Arissa menyentakkan tangannya sampai genggaman pria itu terlepas. "Ah, aku lupa masih punya suami," ujarnya dengan nada mengejek.

Rahang Julian mengerat. "Kenapa di sini hanya aku yang merasa sedih karena hubungan kita nggak baik-baik aja? Kamu kelihatan menikmatinya, Sa."

Sungguh, Arissa pun bingung bagaimana menjelaskan perasaannya ini yang sangat mudah untuk membaik. Masalah seperti angin lalu, perasaan hanyalah sebuah batu tak berguna yang bisa dilemparnya kapan saja.

Begitulah Arissa menjalani hidup, sudah banyak orang yang tersinggung karenanya. Berkata bahwa Arissa tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Padahal, jika dipikirkan kembali, ia sangat menghargai Julian sebagai suaminya, tetapi setelah disakiti, Arissa tak ingin memperbaiki kembali hubungan mereka.

Perpisahan? Arissa mendengkus hanya karena satu kata itu. Ya, perpisahan yang sangat berat sudah dialaminya, kehilangan sosok tulang punggung yang selalu menjadi pelindung dan pendukungnya.

Sekalipun hidupnya tak ada Julian lagi, Arissa tak masalah. Sebab dirinya menikah bukan untuk mencari pengganti ayah, biar bagaimanapun mereka berdua adalah sosok berbeda menurut Arissa. Ia tak pernah mengharapkan dicintai Julian seperti dicintai oleh ayahnya sendiri.

"Kenapa, ya?" Arissa berusaha memilih kata-kata, "sebenarnya aku lagi mikir, loh."

Bohong, hari ini Arissa benar-benar melupakan masalahnya, bahkan saat Syauqi curhat tentang masalah rumah tangganya, Arissa sama sekali tak tercubit hati, meski hanya mengingatkan bahwa sekarang dirinya ada dalam masalah.

"Mikir gimana, yang senang-senang sama teman hampir larut malam?" Julian memicingkan mata, "jawab, laki-laki tadi, siapa?"

Arissa mengerutkan kening. "Kamu, nguntit?" tanyanya curiga, "wow."

"Gimana aku nggak ngikutin, kamu pergi keluar rumah tanpa beban, makan dan ngobrol senang sama temanmu, pergi main di Timezone, ketawa-ketawa, seakan nggak ada beban," Julian hampir frustrasi saat melihat istrinya tadi, "bahkan kamu nggak segan megang kepala cowok lain."

Arissa berpikir sejenak, apakah dirinya tadi menyentuh Syauqi?

"Aku nggak sengaja," ujarnya, setelah tak bisa mengingat secara detail apa yang terjadi antara dirinya dan Syauqi, "udah, ya, aku capek, ngantuk. Mending kamu pulang."

Ia menutup pintu gerbang, sementara Julian masih dibuat melongo dengan kelakuannya. Arissa terkekeh pelan, kemudian menggembok gerbang rumahnya itu.

Arissa bingung dengan dirinya sendiri, pernikahan seakan hanya mainan dibuatnya. Semua orang jika melihat tingkahnya pun akan berkomentar seperti itu. Jika Arissa bercerita pada temannya, mereka pasti akan memaki dan mengatainya.

"Bagus, ya, baru pulang," tegur mamanya ketika Arissa masuk ke dalam rumah.

Hanya cengiran yang bisa dia berikan.

"Kamu kayak orang yang nggak punya masalah, Sa," Azizah membuang napas kasar, "tolong, kelihatan sedih dikit, jangan santai kayak gini."

Arissa mencebikkan bibirnya. "Sedih itu nggak bisa dipaksa, Ma. Mau gimana lagi, emang aku dari dulu kayak gini."

Mendekati mamanya, Arissa kemudian memeluk wanita itu. "Tadi Syauqi bawa anaknya, lucu banget, aku gemes lihatnya."

Azizah melerai pelukan mereka, tersenyum senang mendengarkan ucapan anaknya itu. "Kamu jadi pengin punya anak?"

"Hah?" Arissa bingung, "enggak, tuh."

Seketika senyum Azizah menghilang begitu saja. Arissa seperti manusia yang sudah mati rasa.

**
Haiii

Kupilih Berpisah (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang