Arissa Difani menatap bangga kepada ponsel barunya yang dibeli dengan uang sendiri, hasil menabung dalam dua tahun. Dikarenakan telah menikah dan selalu menutupi kekurangan di akhir bulan, pada akhirnya membeli ponsel yang diinginkan harus terus diundur.
Sebenarnya ada andil dari mamanya karena hampir setiap hari Arissa datang ke warung mamanya untuk membantu. Sebenarnya Arissa tak ingin digaji, tetapi beliau berbaik hati memberikan.
Mamanya selalu mempercayai Arissa soal uang, karena dirinya yang tak pernah buang-buang uang dengan hal tak berguna, setiap membeli barang yang diinginkan lebih baik menabung dibanding mengutang. Hal itulah yang membuat mamanya mempercayai semua tabungan keluarga kepada Arissa.
Siang ini dirinya tak bisa membantu sang mama, karena mertua menelepon dan mengatakan ingin bertemu dengannya meski sebentar. Ya, semua keluarganya tahu bahwa aturan dalam hidup Arissa adalah, harus berada di rumah sebelum suami pulang dari bekerja.
Hal itu sangat dimaklumi oleh mereka, tetapi ketika berkunjung tak bawa apapun, Arissa akan menjadi bahan obrolan di grup keluarga, yang tentu tanpa ada dirinya di grup tersebut. Namun, di sana ada suaminya yang hanya diam dan menyimak karena malas berdebat.
"Hape baru?" tanya Rania, kakak kedua Julian.
Sebenarnya beliau ini baik, sangat baik. Sejak bertemu Arissa langsung merasa bahwa akan diterima dan bisa akrab dengan beliau yang sudah menginjak usia 33 tahun tersebut.
Akan tetapi, hal itu hanya berlangsung tiga bulan pernikahannya, bulan selanjutnya Arissa tersinggung dengan pertanyaan "Kapan punya anak?" Yang selalu dilayangkan padanya ketika bertemu.
"Iya," jawab Arissa, kemudian mencomot satu potong kue bolu yang dibeli olehnya sebelum datang ke rumah mertua.
Terdengar decakan dari sebelah kiri Arissa. "Suami capek kerja, kamu malah beli HP baru." Jessy kakak perempuan pertama Julian ikut nimbrung dalam percakapan.
"Aku beli pakai uangku, kok." Arissa membela diri, tak ingin citranya buruk hanya karena sebuah ponsel.
"Uang kamu, ya, dari suami, 'kan?" sela Jessy dengan nada sewotnya. "Kamu mana kerja, mana bisa punya uang sendiri."
Arissa diam tak menyahuti lagi, memandang ponselnya dengan emosi yang tertahan. Padahal, ia berkata dengan sangat jujur, bahwa sedikit pun tak ada hasil keringat suaminya ikut membelikan ponsel baru itu.
"Ya udah, kalau nggak percaya," gumamnya.
Meskipun ingin diam, tetapi mulut dan hati ini tak bisa tahan untuk tidak membalas. Namun, Arissa lebih memilih menggunakan suara kecil agar tak didengarkan oleh Jessy dan Rania.
Kata-kata yang melukai hatinya bukanlah dituduh menggunakan uang suaminya untuk membeli ponsel, melainkan ucapan terakhir yang menegaskan bahwa Arissa sedang dipandang rendah.
"Kakak masih mau di sini sampai sore?" tanya Arissa pada Rania yang masih asyik mengunyah makanan.
Rania mengangguk. "Kenapa? Kamu udah mau pulang?"
"Iya. Kayaknya bentar lagi hujan, rumahku jauh, takut kehujanan di jalan," jawab Arissa sembari menguncir rambutnya yang hari ini dibiarkan tergerai indah.
"Pamit, gih, sama Ibu dan Ayah," Rania berucap kemudian, "jangan ngebut."
Arissa mengangguk patuh. "Kak Jess, aju balik duluan, Kak," pamitnya kepada Jessy yang wajahnya masih terlihat judes sejak menegur ponsel baru milik Arissa.
Tak digubris, Arissa dalam hati mendongkol, tak suka dengan sikap Jessy yang selalu seperti ini, terlalu kelihatan iri dan dengki kepada Arissa jika memiliki barang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupilih Berpisah (On-Going)
RomansaArissa Difani hanyalah seorang wanita biasa yang menikahi Julian, lelaki yang berpacaran dengannya selama dua tahun. Pada satu tahun pernikahan terasa sudah tak nyaman dengan kehidupannya. Masalah demi masalah terjadi, ipar yang sering sewot dan sua...