Sebuah rutinitas pagi di rumah mamanya, Arissa membantu mengangkat bahan jualan ke dalam mobil dan akan dibawa menuju ruko tempat di mana mamanya berjualan. Arissa sudah terbiasa dengan rutinitas tersebut, sejak tujuh tahun yang lalu saat dimulainya bisnis sang mama.
Empat tahun yang lalu mamanya berhenti jualan karena duka mereka. Saat itu Arissa mencoba untuk menguatkan mamanya agar bisa kembali bangkit, meskipun harus menunggu sekitar dua bulan lamanya, pada akhirnya beliau bangkit kembali.
Saat memulai kembali, warung milik Azizah pada awalnya sepi, tetapi lama-kelamaan pelanggan lama datang memesan makanan. Arissa sangat bersyukur keadaan tersebut membuat mamanya lambat-laun mulai terbiasa, meskipun belum melupakan.
Arissa sudah dua kali kehilangan orang yang dicintainya. Ia sangat ingat saat menginjak kelas sembilan, pertama kali dalam hidupnya kehilangan seorang Abang yang sangat dekat dengannya. Usia mereka hanya terpaut satu tahun, itu mengapa kadang orang-orang mengira bahwa mereka saudara kembar.
Lalu, seakan tak diberi waktu untuk menyembunyikan luka, Arissa lagi-lagi kehilangan ayahnya lima tahun kemudian. Padahal, dirinya masih sering menangis karena merindukan abangnya, dan kemudian Tuhan menambah sakitnya.
Itu mengapa Arissa tak terlalu memusingkan dengan adanya hubungan yang putus, sebab kehilangan yang telah dirinya alami sangatlah sakit dan sesak, bahkan sampai sekarang masih terasa di dada.
"Kamu beneran udah nggak mau balik sama Julian?" tanya Azizah saat memasukkan sekardus teh kotak ke dalam mobil.
Arissa menghela napas kasar, lagi-lagi pertanyaan tersebut. Meskipun sebenarnya beliau tidak memaksa untuk kembali kepada Julian, tetapi jika selalu ditanyai, setiap waktu, Arissa pun akan risi mendengarnya.
"Udah, nggak, Ma," ujarnya, membalas dengan nada malas, "kan, udah aku bilang kemarin, tadi, tadinya lagi."
"Kamu nggak mau ngubah keputusan?" Azizah bertanya lagi.
Arissa menggeleng tegas.
"Hanya karena nama Mama dipakai sama dia buat minjem duit?"
Arissa mengangguk.
Mamanya menghela napas berat. "Kamu kenapa nikah, kalau niatnya dikit?"
Mengerutkan kening, Arissa tak suka mendengarkan itu. "Maksudnya? Aku serius nikah, loh, Ma. Julian aja yang cari gara-gara duluan, nggak dewasa, selalu iri sama pencapaian aku, ditambah lagi nuduh aku habisin duitnya."
"Dia cuma khilaf, Nak." Azizah mencoba untuk membuat putrinya itu berpikir positif.
Arissa mendengkus. "Khilafnya tiap hari. Padahal, gajinya itu banyak, loh, Ma. Dikasih ke aku hanya setengah, itu pun masih kepakek buat uang rokoknya, dan lain-lain."
"Ya kamu jangan ngarep sama gaji suami," timpal Azizah menasihati.
"Iya, aku nggak berharap, Ma. Buktinya, setiap ada kurangnya selalu aku tutupi. Tapi dia dengan seenaknya ngomong kalau aku ngabisin duitnya, terus kesalnya semakin menjadi karena aku beli HP baru."
Azizah berdecak. "Ya udah, kalau beneran udah nggak mau, kamu urus cerai."
"Iya, emang hari ini aku rencananya mau ke Pengadilan Agama," Arissa membuka pintu mobil, "Mama masuk, biar aku yang setirin. Hari ini spesial untuk Mama, sebelum aku menjanda."
Ia tertawa puas dengan keputusannya, sedangkan sang mama sama sekali tak terlihat senang. Arissa paham akan hal itu, ibu mana yang mau pernikahan anaknya berakhir sangat cepat.
"Tenang, nanti Mama aku bawain mantu baru," candanya, kemudian kembali tergelak tawa.
**
Anda : Gue mau cerai
Tiga kata yang Arissa kirimkan ke Fiza, orang kedua yang diberutahukan olehnya. Zahiirah belum mengetahui tekadnya ini, akan diberitahu nanti jika sudah selesai mengajukan cerai ke pengadilan agama.
Fiza : Si Anj*rrr, pernikahan lo anggap mainan?
Sebenarnya tidak seperti itu, selama ini pun Arissa berusaha untuk mempertahankan. Hanya saja, dilukai kesekian kali, apalagi sampai mencoreng nama mamanya, Arissa pun tidak akan tahan akan hal itu.
Fiza : Jawab woi! Lo temenan aja sama Uki, cocok banget kalian berdua.
Arissa tersenyum membaca pesan dari temannya itu. Ya, Fiza belum menikah, itu mengapa dengan enteng mengatainya begitu saja seakan-akan jika menikah, itu berarti harus sehidup-semati, apapun yang terjadi.
Akan tetapi, kenyataan tidak seindah yang dibayangkan oleh Fiza. Sendiri dan berdua itu sangat jauh berbeda, hanya yang pernah mengalami, yang paham bagaimana perasaannya ini.
Fiza : Cerita sekarang, gue mau denger.
Arissa menghela napas kasar, kemudian membalas pesan temannya itu.
Anda : Gue udah mau jalan, nanti aja ceritanya.
Ia mematikan layar ponselnya, kemudian menatap sang mama yang tengah sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Arissa tersenyum, bagaimana bisa dirinya membiarkan keluarga ini diinjak oleh orang baru, tentu dirinya pun akan sangat mempertahankan harga diri.
Pakaian yang ia kenakan sangatlah sopan, rok merah muda menutup hingga lutut, dan juga blus putih berkerah. Arissa siap menghadapi hari baru, di mana dirinya kembali tanpa pasangan.
"Ma, aku udah mau pergi," pamitnya kepada wanita itu.
Azizah mengangkat pandangannya dari hidangan, kemudian tersenyum masam. "Kamu udah yakin, 'kan? Nggak bakal menyesal?" Pertanyaan yang kesekian kalinya.
Menyesal? Arissa hampir tertawa kala mengingat perlakuan Julian padanya. Memang selama kenal pria itu sangat bersikap baik, bahkan lebih banyak kebaikan, dibanding kejahatan. Namun, Arissa hilang rasa sejak pertengkaran mereka di kontrakan beberapa waktu lalu dan jangan lupa saat berada di area parkir.
Ternyata, selama ini begitulah pandangan Julian padanya. Makhluk rendahan yang tak punya apa-apa. Di dunia ini selain keluarga, Arissa hanya punya harga diri, dan jika salah satunya terluka, ia akan menyerang.
Kesalahan yang dibuat Julian, melukai keduanya, keluarga dan harga diri. Itu mengapa ia memutuskan untuk menyerang dengan cara mengakhiri hubungannya.
"Ada Mbak Arissa?" tanya seorang pria dengan suara lantang.
Arissa menoleh, bahu pria tersebut naik-turun, napasnya tak beraturan, nampaknya sedang kelelahan dan juga panik. Ia mengerutkan kening, menatap wajah itu lebih lekat. Setelah mendapatkan jawaban, Arissa mendekat.
"Ya, kenapa?" sahutnya.
Beliau adalah teman kerja Julian, Arissa beberapa kali bertemu. Namanya Pandu.
"Pak Julian." Menarik napas perlahan, mencoba tenang.
"Dia kenapa?" tanya Arissa masih dengan wajah tenangnya.
"Pak Julian kecelakaan di gudang, sekarang dibawa ke rumah sakit."
Arissa diam beberapa detik, mencerna tiap kata yang dikeluarkan oleh pria itu. Setelah benar-benar memahami informasi itu, ia membuang napas kasar. Ternyata, kenyataan tak pernah sebaik impian.
"Dia nggak parah, 'kan?" Arissa sama sekali tak panik mendengarkan kabar tersebut, bahkan wajah khawatir pun tak terlihat.
"Belum tahu, Bu, tapi Pak Julian teriak kesakitan."
Arissa membulatkan bibir. "Kalau begitu nggak parah, buktinya dia masih teriak," ujarnya, sangat santai. "Makasih, Pak, udah kasih tahu, nanti saya nyusul ke rumah sakit, tapi mau selesaiin keperluan saya dulu."
Pandu melongo mendengarkan perkataan itu. "Tapi Pak Julian—"
Mengangguk, dengan kedipan mata Arissa meminta pria itu untuk tidak ikut campur akan keputusannya.
**
Hei, maaf lama.
Aku udah punya kesibukan di dunia nyata. Sekarang nulis hanya jadi selingan aja. Maaf, ya. 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupilih Berpisah (On-Going)
Roman d'amourArissa Difani hanyalah seorang wanita biasa yang menikahi Julian, lelaki yang berpacaran dengannya selama dua tahun. Pada satu tahun pernikahan terasa sudah tak nyaman dengan kehidupannya. Masalah demi masalah terjadi, ipar yang sering sewot dan sua...