HANYA AKU YANG MISKIN(1)
Rat?"
Aku masih duduk termangu di depan cermin rias ketika suamiku memanggil. Dia bahkan sudah berdiri di ambang pintu kamar dan menatap wajahku. "Bagaimana? jadi nggak kita pergi. Kalau nggak jadi..."
"Aku bahkan nggak tahu harus pakai baju apa, mas?" selorohku. Tatapanku mulai menatap lantai ubin kamar. Kesedihan mulai menerpaku, dan suamiku-Mas Hendra mulai bisa merasakan itu.
Aku tidak punya koleksi baju-baju cantik. Pakaian pestaku itu-itu saja. Gamisku pada saat pengajian di kampung inipun hanya yang itu-itu saja kupakai. Aku hampir tidak pernah mengenakan pakaian baru. Perhiasan apalagi.
Suamiku mulai bisa merasakan keresahan yang kurasakan ini. Ia pun akhirnya hanya dapat melihatku dan wajahnya tertunduk. Ia menungguku. Apakah aku akan tetap pergi ke pesta ulang tahun anak kakakku-Mas Erwin, Kakakku yang pertama- atau tidak pergi sama sekali.
Perasaan malu. Itulah nanti yang akan aku rasakan. Sampai detik ini, sampai tiga belas tahun pernikahan hidup kami begini-begini saja. Tak ada perubahan. Gaji mas Hendra dari kantor hanya mencukupi biaya hidup saja. Untuk menabung atau membeli barang-barang berharga rasanya tidak mungkin. Bukan tidak mungkin. Tapi sangat pas-pasan. Suamiku cuma pegawai rendahan di kantornya. Gajinya hanya cukup buat kehidupan kami sehari-hari. Buat bayar kontrakan. Buat memenuhi kebutuhan hidup dan membesarkan tiga anak yang kami miliki. Anakku yang besar sudah berusia 12 tahun tahun lebih. Anakku yang kedua berumur 6 tahun. Menyusul si bungsu yang umurnya lima tahun. Tiap tahun berganti hanya anaklah yang bertambah. Bukan harta.
Astagfirullah!
Kadang, kenapa aku sampai tidak pernah mensyukuri hidup. Namun, dibanding tiga saudaraku. Hanya hidupku yang memang begini-begini saja. Aku tinggal di kontrakan, dengan keadaan keuangan kami yang kembang kempis.
Aku hanya pekerja di sebuah rumah makan kecil, yang gajinya bahkan tak seberapa. Sungguh berbanding terbalik dengan tiga saudaraku yang hidupnya berkecukupan. Bahkan bisa dikatakan lebih dari cukup. Mas Erwin, kakakku itu bahkan sudah punya perusahaan. Kak Hani, meski belum memiliki anak, tapi punya suami yang suka bolak-balik bertugas kantor di luar negri. Dan adik perempuanku-Lita, malah punya suami yang punya perusahaan dan perkebunan sawit. Alangkah enaknya hidup mereka semua, sementara hidupku kini...
"Pakai apa saja yang ada dulu, Rat. Kalau mas punya rejeki lebih. Nanti mas belikan pakaian baru ya. Jadi-"
"Tahun lalu mas juga bicara seperti ini padaku. Tapi sampai sekarang aku tidak mempunyai pakaian baru. Aku juga bukan tidak berhemat. Bahkan, aku sudah menyisihkan sebagian gajiku. Namun, selalu habis. Entah anak kita yang sakit, entah kebutuhan yang mendesak, entah..."
"Jadi sekarang bagaimana? mau pergi atau tidak. Kalau tidak. Mas akan ganti baju. Tiga anakmu bahkan sudah bersiap-siap pergi ke pesta ulang tahun anak mas Erwin."
"Sudah pasti tetap pergi mas. Bapak dan ibu kan pasti ada disana. Keduanya diundang menghadiri acara ulang tahun cucunya. Masak, aku yang anak nomor tiga ini tidak datang. Semua keluargaku berkumpul disana. Apa jadinya jika aku malah tidak datang. Saudara-saudaraku, pasti akan tambah menyerangku." Aku menuturkan panjang lebar. Dengan nada sedikit sedih. Dengan ucapan yang sama sekali tidak kubuat-buat.
Suamiku lalu melangkah. Menghampiriku. Dia lantas duduk di tepi tempat tidur. "Mas minta maaf, Rat. Belum bisa memberikan apa yang kamu inginkan. Apa yang sebenarnya, kamu..."
"Sudah mas. Aku lelah jika kita harus bicara seperti ini. Ujung-ujungnya memang tidak pernah ada perubahan di hidup kita. Setiap tahun, kita bukan tambah harta. Tapi tambah anak melulu. Aku-"
Aku tidak mau mengatakannya lagi. Aku tidak mau mematahkan hati suamiku. Aku tidak mau membuat mas Hendra tersinggung. Selain itu, aku juga tidak ingin nantinya berdebat dengan dia. Kalau dibilang aku lelah. Iya. Aku lelah hidup seperti ini. Aku lelah hidup miskin. Hidup yang serba kekurangan. Yang kadang tak ada beras di rumah, harus pergi berhutang ke warung. Yang harus minjam duit pada ibu kandungku sendiri.
Namun, seenggaknya aku masih harus menghargai suamiku, yang kini sudah tertegun di tepi tempat tidur. Selama ini dia sudah giat bekerja. Bukan berarti selama ini dia hanya ongkang-ongkang kaki di rumah.
Sungguh malang nasibmu, Rat.
Kenapa nasib seperti ini belum enyah juga dari hidup kami?
Astagfirullah!!
"Bu, jadi pergi tidak?" wajah Lastri, anakku yang pertama sudah muncul di ambang pintu kamar. "Ini bahkan sudah hampir jam 7 malam. Pesta ulang tahun Melati. Sudah mau dimulai. Di grup WA di hapeku bahkan tante Lita sudah perjalanan kesana katanya,"
Aku menghela napas. Suamiku juga. Wajah mas Hendra tambah resah. Di saat mepet begini, aku bahkan belum berdandan. Dan... bisa dikatakan akan lama berdandan. Taulah sendiri perempuan. Namun, mau berdandan pakai apa. Alat make-up pun, aku tidak punya. Pakaian serba apa adanya. Sedih... itulah yang kini kurasakan.
"Ya sudah, kamu tunggu saja di luar sama adikmu-adikmu ya. Ibu berpakaian dulu," kataku akhirnya. Lastri lalu menurut.
"Mas juga, keluarlah dulu. Aku mau cari pakaian dulu," sergahku pula pada suamiku.
Mas Hendra tanpa mengucapkan apa-apa lagi lantas berdiri dan keluar kamar.
Tinggallah aku sendirian. Merenung dan meratapi nasib. Lagi. Sampai akhirnya kuseka air mataku, dan aku mulai membuka lemari pakaianku.
Benar-benar tidak ada pakaian yang bagus untuk datang ke pesta itu.
Aku langsung menarik salah satu pakaian sederhana yang kumiliki. Lalu mengenakannya secepat mungkin....
***
Bersambung...
DI APLIKASI KBM TAMAT.
JUDUL DI APLIKASI : BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGA
Penulis : Mursal_Fahrezi
![](https://img.wattpad.com/cover/349100704-288-k333506.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGA
General Fiction#Cerita ini TAMAT di aplikasi KBM. Ratih melihat semua kakak-kakak dan adiknya sukses. Dan dalam dirinya timbul perasaan yang begitu menyiksa. Karena di setiap acara keluarga, dia yang paling merasa kerdil. Selalu jadi bahan hinaan. Dan hidupnya...