PART 2

10 0 0
                                    

HANYA AKU YANG MISKIN(2)

Rumah mas Erwin masih jauh di ujung sana.  Dari kendaraan mobil online yang tadi dipesan mas Hendra, kami langsung berjalan kaki berlima.  Kami memang tidak punya apa-apa.  Kendaraan pun tidak punya.  Dulu, memang pernah punya, kendaraan motor butut yang coba dibeli mas Hendra.  Namun,  kendaraan itupun harus dijual lantaran aku pernah kesusahan uang sewa kontrakan rumah.  Alhasil untuk menutupi semuanya,  kami jual kendaraan itu. 

Tanpa sadar, berjalan diantara kerikil seperti ini membuat air mataku merembes.  Suamiku yang berjalan di sebelahku, diam tanpa kata.  Sementara tiga anakku-Lastri yang pertama, Ara-yang nomor dua dan Ata yang nomor tiga hanya berjalan diiringi gurauan canda tawa khas anak-anak. Sampai akhirnya anakku yang bungsu itu menyeletuk. "Masih jauh ya bu?" tanyanya. 

"Itu mau sampai," tunjuk Lastri. "Rumah om Erwin disana?" tunjuk Lastri lagi pada sebuah rumah besar yang kini sudah dipenuhi berbagai pengunjung. 

"Kalau Ata lelah jalan kaki,  sini...biar ayah yang gendong."

Aku diam saja.  Sampai akhirnya mas Hendra mengambil Ata dan menggendongnya. Terseok-seok akhirnya kami sampai juga di rumah mas Erwin. 

Seperti biasa.  Tak ada sambutan yang istimewa. Di setiap acara keluarga, hanya aku yang dikucilkan.  Aku merasa kerdil.  Sampai akhirnya Kak Hani menghampiriku.  Suaminya-mas Pras tidak kelihatan.  Bukan tidak kelihatan.  Tapi tidak tahu sedang berada dimana di rumah ini. 

"Ya ampun, Rat.  Kurus banget sekarang.  Wajah lusuh,  rambut kucel..."

Aku tersenyum miris.  Kubiarkan kak Hani mengusap rambutku yang kasar,  lantaran mungkin cuma bisa pakai sampoo dua hari sekali saking harus hematnya. Beda dengan penampilan kak Hani,  yang memang kinclong lantaran selalu pergi ke salon. Lagian dia memang belum memiliki anak.  Katanya memang ingin belum punya anak dulu,  karena sudah pasti repot mengurusnya.  Bukan sepertiku yang langsung punya anak tiga. 

"Ya,  aku kayak begini saja mbak.  Biasa saja," jawabku. 

"Kurus begini Rat,  Rat. Kamunya bilang biasa saja,"  katanya sambil mengawasi mata suamiku.  Mas Hendra diam saja di sebelahku.  Anak-anakku sudah menghambur ke arah ruang acara,  seraya menyerahkan kado pada sepupu mereka-Melati yang berulang tahun.  Kulihat kakek dan nenek mereka ada diantara pengunjung. 

"Ya sudah,  kesana yuk.  Mas Erwin juga pingin jumpa sama kamu."

Tangan kak Hani langsung menarik tanganku,  tanpa peduli bahwa di dekatku ada mas Hendra.  Sejak dulu kehadiran mas Hendra memang tidak pernah diperhitungkan keluargaku.  Andaikan kalian semua ingin tahu.  Dulunya banyak yang menentang hubunganku dengan mas Hendra. Kalaulah aku berhasil dipersuntingnya.  Itu karena cinta dan rasa kasihku yang tak terbatas.  Namun,  sepertinya aku salah menempatkan cinta.  Oh tidak.  Sampai detik ini aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Hendra. 

"Kalian naik apa kesini, Rat?" tanya mas Erwin tanpa melihat ke arah suamiku. 

"Naik kendaraan online mas," ucapku. 

"Lho,  kenapa nggak sampai depan rumahku turun mobilnya tadi.  Terus... Bukankah kalian punya motor?"

Aku menatap wajah suamiku yang pias. "Sudah dijual mas," kataku lagi. 

Mas Erwin menghela napas. Lalu menatap suamiku. "Hendra, kamu masih bertahan bekerja disana?"

"Ya mas," jawab suamiku pendek. 

Mendengar jawaban suamiku membuat mas Erwin menghela napas panjang. "Tak ada perkembangan.  Tapi terserah kalian saja.  Kalian yang menjalani kehidupan ini," ucap mas Erwin.  Seolah ingin bilang bahwa dia tidak setuju kalau suamiku masih bertahan di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. 

"Sudah,  temui ibu dan bapak sana.  Terlebih ibu kangen tuh sama kamu."

Mas Erwin lalu meninggalkanku.  Dan aku memandang mas Hendra yang cuma diam saja. Dan aku langsung melipir menghampiri ayah dan ibuku. 

"Gimana kabarmu Ratih?"

"Baik bu,  Ratih baik-baik saja," jawabku pendek.  Aku sudah lebih dulu menciumi tangan ibuku.  Sehingga dia kini yang mencium pipi dan keningku,  lantaran memang dialah seorang ibu yang memang mengerti keadaan hidup kami. 

Sampai akhirnya aku melihat keluarga Lita yang datang.  Adik bungsuku.  Dengan suaminya yang begitu gagah. 

Lita bergandengan tangan mesra dengan Hans Saputra. Yang penampilannya malam ini membuat decak kagum. 

Hans tampak tampan dengan setelan jas yang nampak memukau mata.  Dan adikku-Lita,  tampak cantik dengan gaun mahal yang dimilikinya.

Untuk sepersekian detik.  Tatapanku bertemu pandang dengan Hans. Dan seketika itu pula membuatku teringat akan kisah masa lalu.  Jika saja aku tidak meninggalkan laki-laki itu pada saat detik-detik pernikahan,  mungkin aku sudah menjadi nyonya Hans Saputra.  Seorang pebisnis sukses.  Perusahaannya maju pesat,  ditambah ia punya perkebunan.  Sementara Lita juga bukan wanita sembarangan.  Ia seorang perawat rumah sakit yang gajinya cukup besar di sebuah rumah sakit ternama. 

"Hai Ratih,  apa kabar?" tanya Hans basa-basi, tanpa perlu melihat suamiku.  

Mungkin karena cintaku pada suamikulah yang membuat aku melarikan diri dulu. Lari dari perjodohan yang direncanakan ayahku.  Bahwa dulu akulah yang sebenarnya ingin dikawinkan dengan Hans Saputra.  Saat itu ia bahkan sudah memberikan apa yang aku inginkan.  Termasuk ingin membelikanku rumah.  Namun,  kini rumah itu sudah menjadi milik adikku-yang ditinggali bersamanya,  lantaran Hans sudah berstatus suaminya. 

"Baik," ucapku. 

"Kak Ratih... apa kabar.  Eh,  kenapa kok kurus banget ya kakakku?"

Serangan kedua. 

Ucapan Lita tak pelak membuat suamiku menoleh padaku.  Seolah aku ini tidak diberikan makan olehnya. 

Tapi sepertinya benar. Mengurus anak.  Bekerja di rumah makan yang  seperti kerja rodi membuat berat badanku sedikit menyusut. 

"Nggak kok,  kayak biasa saja," cetusku. 

"Sudah kubilang juga.  Ratih agak kurusan sekarang.  Aku aja... yang saat ini udah tuaan dikit dari kamu Rat.  Lihat saja,  masih cantik.  Kinclong."

Kuhiraukan serangan Kak Hani yang sudah muncul tiba-tiba. Pernyataan itu tentu saja membuat mas Hendra terpojok. 

Dan aku hanya menanggapi guyonan-guyonan mereka dengan senyuman. 

Dan yang lebih parah.  Hans Saputra tidak mau bergabung dengan mas Hendra, atau mengajaknya mengobrol.  Alhasil mas Hendra  duduk sendirian di pesta ulang tahun itu.  Sementara aku membantu keluargaku menyiapkan pesta ulang tahun itu lantaran keponakanku sendiri yang berulang tahun.

Hatiku tambah miris ketika Melati membuka sendiri kado-kado dari paman dan bibinya yang datang. Kado yang kami bawa hanya kado sederhana. Sampai kulihat mas Erwin seolah menahan tawa karena aku cuma memberikan Melati pakaian dalam yang harganya cuma di bawah lima puluh ribu perak.

Terus terang aku menjadi depresi.  Malu dan merasa tidak enak hati membuatku rasanya ingin lari dari pesta ini. 

Mas Hendra bahkan hanya terdiam di pojokan sana.  Ia cuma minum air putih,  tanpa siapapun yang mengajaknya mengobrol. 

Tanpa sadar, air mataku mengalir...

***

BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang