PART 3

7 0 0
                                    

HANYA AKU YANG MISKIN(3)

Aku masih ingat dulu.  Saat-saat masih pacaran dengan Mas Hendra. Jika pulang nonton atau pulang dari manapun, walau waktu itu hanya naik becak.  Rasanya senang sekali.  Dari dulu mas Hendra memang tidak memiliki apa-apa.  Namun,  cintanya yang begitu besar yang ia miliki, membuat aku merasakan sesuatu yang lain, yang bisa mengalahkan harta sekalipun. 

Dan saat sudah menikah,  saat belum punya tiga anak seperti sekarang ini,  cinta kami masih begitu besarnya.  

Kami pulang ke rumah dengan perasaan bahagia.  Usai naik becak,  kadang aku yang bayar pakai uang belanja.  Namun,  sungguh semua itu tak jadi soal. 

Kini,  entah kenapa sepulangnya dari rumah mas Erwin.  Aku menjadi lebih pendiam.  Anak-anakku juga ikutan diam.  Aku biarkan mas Hendra membayar ongkos mobil online yang tadi dia pesan.  Dan tidak seperti dulu atau sebelum-sebelumnya, dimana aku akan menunggu dia selesai melakukan pembayaran ongkos.  Aku seketika akan memeluk tubuhnya,   lalu kami berjalan sampai ke rumah, bergandengan tangan mesra.  

Namun,  kini aku hanya diam saja.  Kenyerian itu masih melekat di dada.  Belum lagi teringat perkataan dan sindiran dari kakak-kakakku juga adikku mengenai kehidupan kami. 

Masih terngiang ucapan adikku-Lita yang begitu membanggakan Hans Saputra.  Mas Erwin yang selalu berbicara dengan bangga soal istrinya-Mbak Dewi yang cantik.  Mas Erwin juga bercerita soal  kekayaannya yang kian hari kian berlimpah. Semuanya dikatakannya pada ayah dan ibu.  Juga Kak Hani yang membanggakan suaminya-Prasetya yang sering keluar negeri. Bahkan,  masih kuingat saat acara ulang tahun Melati tadi kak Hani bilang. "Suamiku mau ke Singapore, Rat. Kamu mau nitip apa?" tanyanya.  Aku tahu itu serangan.  Serangan untuk memojokkanku diantara saudaraku.  

Mau nitip apa aku sama Kak Hani.  Uang saja tidak pegang.   Jika ia membelikan apa-apa padaku pun pasti semuanya akan ia ungkit-ungkit pada setiap acara keluarga. 

"Nggak nitip apa-apa mbak," jawabku. "Kalau mbak Hani tetap mau belikan tas atau pakaian,  atau segala macamnya tidak perlu mbak.  Aku-"

"Jangan sok kamu Rat.  Tiap ada acara keluarga, aku bahkan lihat tas, sepatu, dan bajumu, hanya itu-itu saja yang kamu pakai.  Macam tidak ada-"

"Setidaknya aku pakai uangku sendiri mbak buat beli barang-barang ini," potongku.  "Aku belinya nggak pake duit pemberian orang, atau sampai minjam duit orang," tambahku santai.  

Rasanya perih sekali mengatakan itu.  Karena bicara kasar pada orang lain, terlebih pada saudara sendiri bukanlah tipeku.  Namun,  aku tidak tahan lagi bila selalu dihina.  Aku memang miskin.  Diantara keluargaku memang aku yang paling tidak beruntung hidupnya.  Namun,  bukan berarti  semua saudaraku ini bisa menghinaku.

Suara Kak Hani masih terngiang-ngiang di telingaku. 

Sampai setelah di kamar  dan berganti pakaian tidur pun aku masih memikirkannya. Mas Hendra jadi heran melihatku yang diam saja.  Namun,  dia mengerti keadaan yang kualami. 

Akhirnya,  karena tidak tahan melihatku yang murung,  mas Hendra keluar dari kamar. Mungkin dia akan duduk-duduk di teras malam-malam begini atau entahlah, aku tidak begitu memikirkannya lagi. 

Sampai akhirnya mataku mulai berair.  Aku terisak di kamar.  Bahuku terguncang.  Hingga sebuah tangan akhirnya mendarat di bahuku. Aku menoleh. 

"Ratih,  sudahlah... kau tidak perlu memikirkan semuanya lagi."

"Aku tidak tahan dihina keluarga sendiri mas," ucapku. "Aku sudah puas karena selama ini dikatakan miskin.  Aku sudah mesti harus menyudahi semuanya," ucapku. 

Mas Hendra jadi diam.  Dia bahkan bingung mau menjawab apa. 

"Mas sudah bilang.  Mas minta maaf.  Sampai beberapa tahun pernikahan kita.  Mas belum bisa menjanjikan apapun kepadamu."

"Aku tidak mau membahasnya lagi.  Sebaiknya mas keluar saja.  Biar aku sendirian di kamar."

"Tapi sampai kapan kamu mau menangis seperti itu," ucap mas Hendra lagi sambil menghela napas panjang. "Ya sudah kalau begitu mas akan tidur di luar saja."

Aku tidak mengatakan apapun lagi. Mas Hendra pun sudah keluar dari kamar.  

Kali ini air mataku berlinangan lagi.  Menderas.  Aku menghiraukan suamiku. Kejam sekali aku pada mas Hendra.  Suamiku benar-benar tidur di luar.  Tepatnya ia tidur di kursi reyot di ruang tamu rumah kami. 

Malangnya sikapku ini belum berubah juga ketika pagi datang. Aku langsung pergi saja bekerja. 

Aku tidak membuatkan sarapan pagi untuk anak-anak, juga tidak menyiapkan sarapan pagi untuk suamiku. 

Paling-paling mas Hendra akan sarapan di kantornya, dan anak-anak juga biasanya akan diberinya uang jajan. 

Dan aku telah berangkat bekerja,  tanpa perlu lagi mengurusi urusan rumah.  Peristiwa semalam membuatku selalu memikirkannya. Tak pelak, sesuatu pertanyaan mulai bersemayam dalam hatiku. 

Masihkah aku mau bertahan hidup berumah tangga dengan mas Hendra?

Salahkah dulu aku memilih menikah dengannya? Bukan memilih menikah dengan Hans Saputra yang jauh lebih baik, dan sangat pandai mencari uang. 

Kenapa pikiran seperti ini tiba-tiba saja timbul setelah tahun-tahun pernikahan kami.

Mengapa bukan dari awal-awal pernikahan saja?

***

DI APLIKASI KBM TAMAT
JUDUL DI APLIKASI KBM : BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGA
Penulis : Mursal_Fahrezi

BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang