PART 5

6 0 0
                                    

Kakiku melangkah cepat menuju kelas dimana Ara berada.

Usai memasuki gerbang sekolah, dengan cepat kususuri koridor, dan bertanya dimana kelas anakku berada.

Aku mendapat telpon secara mengejutkan dari pihak sekolah. Ara berkelahi. Katanya berebut mainan. Astaga!! untuk hal ini aku bahkan terpaksa minta pulang cepat dari tempatku bekerja.

Anakku malah tidak ada di kelasnya. Tapi di ruang BP. Di ruangan itu aku melihat anakku sedang bersama wali kelasnya, juga ada anak perempuan lain di sebelahnya, bersama ibu-ibu paruh baya. Sepertinya ibu dari wali murid yang duduk di sebelahnya.

"Ibu..." Ara langsung menghambur ke arahku begitu melihatku datang.

"Kau kenapa? kau nakal?" sergahku dengan nada keras.

"Tidak bu, Melani... mengambil mainan Ara."

"Mainan apa? bukankah-"

"Anakmu yang sudah mengambil mainan anakku!" damprat langsung ibu-ibu yang dipastikan dia adalah ibu Melani. Ibu-ibu yang duduk dekat anaknya itu.

"Iya, tante, ini mainanku. Dia merebutnya!" tunjuk seorang anak kecil seumuran Ara padaku. Yang tadi Ara sebut sebagai Melani.

Aku menoleh pada Ara. "Benarkah itu Ra?"

Ara cuma diam.

"Ara?" panggilku nyaris setengah berteriak.

"Ibu, itu mainanku..."

"Dasar, kalau nggak punya mainan, nggak usah merebut mainan orang. Mainan anakku kok mengaku-ngaku milik kamu!" ibu itu berkata. Aku diam saja. Mencoba menetralisir seperti apa perasaanku saat ini.

"Sudah, sudah. Maaf ibu-ibu, kita bahas dulu duduk perkaranya."

Wali kelas Ara yang memang berada tak jauh dari situ langsung menengahi untuk kemudian menyuruhku duduk. Aku dan ibu itu langsung diceritakan kronologis permasalahannya.

Dari cerita itu lambat laun baru kutahu, Ara-lah yang salah, merebut mainan yang bukan miliknya. Mainan itu bentuknya kecil. Hanya sebuah penghapus namun berbentuk seperti mainan. Bisa dikatakan berharga sangat mahal. Ara mengira itu miliknya. Padahal jelas sekali penghapus milik anakku itu memang sudah lama hilang.

"Omongin anak kamu ini ya, jangan lagi merebut mainan anak orang. Terlebih rambut anak saya sampai dijambak-jambak begitu. Uh, kalau saja bisa kuadukan sama papanya soal ini. "

***

Dengan perasaan malu kubawa Ara pulang.

Sampai naik angkot aku mendumel tidak karuan.

Aku minta izin Ara untuk pulang cepat dari sekolah meski sebenarnya jam sekolahnya masih berlangsung 1 jam lagi.

Begitu di rumah kududukkan Ara di sebuah kursi.

Aku mulai menginterogasi anakku itu.

"Ara, kenapa harus ngambil mainan temanmu?" tanyaku.

"Itu mainan Ara, bu," ucap Ara setengah menahan tangis.

"Mainan kamu darimana?" suaraku sudah mulai meninggi. "Kamu sudah tidak punya lagi penghapus seperti itu punya temanmu itu. Kamu sudah mengambil sesuatu yang bukan milikmu!"

Diantara perasaan kesal yang masih ada, entah mengapa aku tiba-tiba sedikit emosi.

Tanganku dengan begitu saja akhirnya meraih sapu lidi.

Dengan berurai air mata lantaran mungkin aku kesal, kuarahkan sapu lidi itu. Lalu, pada saat hendak kupukul Ara.

"Ratih??" sebuah suara mengagetkanku. Mas Hendra masuk ke rumah.

Aku menoleh.

Nampaknya suamiku baru pulang dari bekerja.

"Kamu mau ngapain pada anakmu?" cerca mas Hendra lagi.

"Mau kupukul dia. Ara sudah jadi anak nakal. Dia merebut mainan temannya. Bahkan, sampai menjambak rambut temannya itu!"

"Benar begitu, Ara?" tanya mas Hendra pada anak tengahku.

"Tidak begitu ayah," ujar Ara lembut sambil sedikit menangis.

"Kamu jangan selalu bela dia mas. Sini kamu Ara?"

Aku naik pitam lagi.

Mau kutarik tubuh anakku itu yang kini sudah cepat bergerak memeluk ayahnya. Dia berlindung di sisi Mas Hendra.

"Ratih. Sudahlah. Ini hanya sebuah masalah kecil!"

"Masalah kecil kata mas Hendra?" kataku. "Dia bahkan sudah berbuat kasar pada temannya padahal dia jelas yang salah. Bukan hanya itu, dia sudah membuat malu aku di ruang BP!"

"Ya sudahlah, namanya juga masih anak kecil."

"Dia harus dihukum!" dampratku.

"Biar aku saja yang menghukumnya. Kau g*la. Kau mungkin masih depresi . Hanya gara-gara..."

"Semua ini gara-gara mas juga!" semburku. "Coba kalau ayahnya banyak uang. Ayahnya pintar nyari duit. Anak mau minta dibelikan mainan apa saja pasti bisa dibelikan. Bukan...malah anaknya mengambil mainan orang lain!"

"Jangan sangkut pautkan hal ini dengan pekerjaan," tukas Mas Hendra. Dia tampaknya masih sabar.

Aku duduk. Lalu menghela napas.

Ya Tuhan!!

Apakah yang baru saja kulakukan pada anak tengahku ini? Aku mengatakan apa tadi pada suamiku? Kata-kata yang keluar dari mulutku kasar sekali.

Mungkin benar kata mas Hendra. Aku depresi. Depresi karena kemiskinan hidup yang kami alami. Depresi lantaran hinaan dari anggota keluargaku.

Akhirnya kutinggalkan keduanya. Begitu di kamar kutarik napas panjang. Membuangnya perlahan.

Kulihat Ata sudah digendong ayahnya, yang takut karena melihatku kalap. Bahkan Lastri yang baru pulang sekolah, sudah ikut masuk ke kamar anak-anak.

Suamiku sepertinya tengah menginterogasi Ara di kamar anak-anak. Aku hanya diam di kamarku. Aku lalu menangis.

Mengapa akhir-akhir ini aku menjadi orang cengeng. Gampang sekali menangis. Rasanya aku menyerah hidup seperti ini.

Aku keluar kamar. Tiga anakku sudah berangkulan di sisi mas Hendra.

"Aku mau mengajak anak-anak main di luar. Mungkin juga mau belikan es krim juga duduk-duduk di taman," ucap suamiku. "Sebaiknya tenangkan dulu perasaanmu. Sebelum magrib kami pasti sudah kembali ke rumah."

Aku diam saja.

Lastri yang masih berpakaian sekolah SMP malah menatapku dengan pandangan tidak jelas.

Lalu langkah keempatnya kemudian meninggalkan rumah.

Aku masuk lagi ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur.

Air mataku merembes lagi.

Cepat kuhapus air mata itu, lalu cepat berganti pakaian dan mengumpulkan pakaian kotor.

Untuk menghilangkan semua pikiran-pikiran itu aku lantas membawa keranjang pakaian kotor ke kamar mandi. Aku memutuskan untuk mencuci pakaian.

Sambil air mata ini akhirnya terus menderas karena selalu memikirkan masalah-masalah di rumah.

***

BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang