PART 7

4 0 0
                                    

Aku pulang kerja dalam keadaan kaget bukan kepalang. Karena pada saat aku pulang, aku melihat sebuah motor bebek sudah ada di teras rumah. 

Jujur,  bukan motor baru.  Namun,  bodinya masih oke. Dan motor itu nampak terawat. Akupun langsung masuk ke dalam rumah. 

"Motor siapa ini mas?" tanyaku pada suamiku,  yang tengah menonton TV.  

Sejak pagi itu, sampai dua hari kemarin memang suamiku mendiamkanku saja.  Mungkin, Mas Hendra masih kesal padaku.  Namun,  aku tetap menunggu jawaban darinya.  Berharap keributan diantara kami yang selalu ada, disudahi.  Lagipula  tidak enak kan jika suami istri ribut-ribut melulu.

Tapi,  bukankah memang aku yang selalu banyak menuntut akhir-akhir ini kepada suamiku ini?

"Mas?" aku memanggil. Berharap mas Hendra mengurai jawaban. 

"Aku lelah Ratih.  Mau tidur," ucapnya begitu saja.  Dia beranjak dari kursi dan menuju kamar. "Lagipula apa untungnya aku memberitahu kamu?" 

"Mas ngomong apa sih?" Aku sampai tidak setuju dia berkata seperti itu sampai akhirnya aku menyusulnya ke kamar. 

"Aku lelah,  sudah malam.  Kamu juga sudah lelah pastinya karena baru pulang kerja.  Jadi..." jeda.  Suamiku diam.  Aku memandang sorot matanya.  Namun,  dari sepasang mata itu bahkan dari ucapannya aku tahu suamiku malas untuk ditanya-tanya lagi.  Dia langsung menuju tempat tidur dan menarik selimut. 

Aku beranjak ke dapur.  Menaruh lauk-pauk yang kubawa dari rumah makan. Lalu, aku beranjak ke kamar anak-anak.  Lastri,  Ara dan Ata sudah tidur semua.  Dan kulihat suamiku tiba-tiba keluar dari kamar. Ia memasukkan motor bebek itu ke dalam rumah.  Lalu, ia kembali lagi ke kamar. 

Usai mandi.  Aku lantas menuju kamar. Aku berganti pakaian.  Namun,  tak ada tanda-tanda suamiku menoleh ke arahku. 

Kulihat ia malah memunggungiku dan nampaknya ia sudah jatuh tertidur. 

Aku tahu mungkin ia masih marah karena ulahku.  Mungkin ia masih marah karena kecerewetanku ini.  Namun,  cerewetkah namanya jika selalu mengingatkan suami demi rumah tangga bisa berjalan sebagaimana mestinya? 

Terlebih kami sudah memiliki anak yang harus kami hidupi dan sekolahkan. 

Sampai akhirnya aku lelah sendiri memikirkan semuanya dan aku memejamkan mataku.  Hingga akhirnya aku tertidur.

***

Beberapa hari setelahnya  baru aku tahu kalau suamiku dipinjamkan motor oleh teman sekerjanya.  Motor bebek yang kulihat ada di rumah kami itu.  

Mas Wawan memang baik.  Bisa dibilang dia teman suamiku yang paling baik.  Yang paling mengerti.  Dialah rupanya yang meminjamkan motor miliknya pada suamiku. 

"Suamimu mau berhenti bekerja katanya Rat," ucap mas Wawan ketika dia berkunjung ke rumah. 

Mas Hendra memang akhir-akhir ini jadi selalu pulang malam.  Satu hal yang akhirnya kuketahui kalau ternyata mas Hendra ngojek online pakai motor itu demi mencari tambahan penghasilan.

"Aku terkejut.  Lalu,  kubilang.  Kalau kamu berhenti kerja,  keluargamu mau makan apa.  Sampai akhirnya aku berinisiatif meminjamkan motor milik anakku, yang memang tidak terpakai.  Rusli kan bekerja di luar negri, Rat. Sampai akhirnya suamimu berinisiatif mengisikan bensin motor itu, lalu mendaftar ojeg online.   Karena katanya ingin mencari penghasilan tambahan.  Dan bukan itu saja.  Dia memberiku uang. Katanya ia akan memberiku uang setiap minggu.  Anggap saja sebagai uang sewa motor itu.  Aku sebetulnya menolak.  Aku pinginnya suamimu nabung,  sampai akhirnya biar bisa beli motor sendiri nantinya.  Namun katanya biar saja."

Aku trenyuh mendengar penjelasan mas Wawan.  Aku tidak berharap suamiku bekerja begitu keras.  Belum lagi,  dulunya kan mas Hendra punya riwayat penyakit TBC.  Penyakit saat masih muda,  karena mas Hendra memang kadang begitu sangat keras bekerja.  Namun,  mungkin ia ingin memberikan kami  sekeluarga kebahagiaan. Dan di samping itu,  mungkin dia juga lelah karena aku yang selalu ngomel-ngomel di rumah. 

"Makasih mas Wawan atas bantuannya," kataku. 

"Aku turut prihatin dengan keadaan keluargamu, Rat. Namun, saranku.  Jangan biarkan suamimu pulang malam terus karena lelah bekerja.  Aku sebenarnya..."

"Nanti aku katakan sendiri pada Mas Hendra mas," potongku. 

"Iya.  Terus jangan terus diomelin.  Kasihan dia.  Suamimu itu memang-"

"Sebagai seorang istri,  aku tidak pernah menuntut apa-apa lagi mas,"

"Ya,  aku tahu. Dan suamimu juga sudah cerita padaku.  Namun,  aku tahu bagaimana Hendra. Mungkin ia berusaha ingin membahagiakan kalian sekeluarga."

Sampai mas Wawan akhirnya pulang dari rumahku.  Kalimat-kalimatnya yang menasehatiku masih terngiang-ngiang di telingaku. Mungkin,  aku juga salah dengan sikapku akhir-akhir ini.  Yang terlalu menuntut ini itu terhadap mas Hendra. Mungkin juga... entahlah.  Sampai malam menunjukkan pukul 11 malam, aku resah. Karena suamiku belum pulang juga dari mengojek.  Sampai akhirnya terdengar deru mesin motor di depan rumah. 

Aku tahu itu  mas Hendra yang pulang.  Aku beranjak dari tempat tidur. Secepat kilat kubuka pintu rumah. 

Suamiku nampak diam.  Dia langsung mendorong motornya dan memasukkannya ke dalam rumah. 

"Kamu jangan bekerja terlalu keras, mas.  Lain kali besok-besok  jam 10 malam sebaiknya sudah ada di rumah."

"Jam 10 dapat apa.  Bahkan buat beli bensin pun masih kurang.  Sebaiknya,  berhenti untuk selalu menasehatiku Rat!"

"Aku bukan menasehati mas.  Aku hanya-"

"Sudahlah,  yang tahu cuma aku sendiri.  Yang ngerasain aku sendiri.  Sebaiknya kamu diam saja.  Dan keperluan rumah akan aku penuhi."

"Dengan mengorbankan waktu kamu?"

"Aku malas berdebat, Rat.  Lagipula aku tidak ingin dicap sebagai suami yang tidak pandai mencari duit!"

"Mas??" suaraku mulai meninggi. 

"Aku malas berdebat.  Aku lelah. Aku mau mandi.  Lalu tidur..."

Aku diam.  Tak mau berkata-kata lagi.  Sampai kulihat suamiku membuka jaketnya. Dia mengambil handuknya dan menuju kamar mandi. 

Ketika suamiku sedang mandi,  aku menuju tempat tidur.  Kutarik selimut dan mencoba terlelap.  Namun,  entah mengapa sepasang mataku tidak mau terpejam.  Aku masih terus memikirkan bagaimana hidup kami ke depannya...

***

BAJU LUSUHKU DI ACARA KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang