3. Accept

160 13 0
                                    

Sudah 3 hari berlalu sejak dirinya terbangun sebagai Liona.

Kini gadis itu sepenuhnya sudah menerima kenyataan dan akan melanjutkan hidup di dunia fiksi ini.

Meskipun Ia tidak yakin bisa menentukan alurnya sendiri ataukah dikendalikan oleh sang penulis (author).

"Sebenarnya ini dunia asli apa fiksi? Tapi orang-orangnya sih asli, menyembah Tuhan juga. Alhamdulillahnya keluarga Liona Islam lagi." Ucapnya seraya merapikan kamar yang sudah di renovasi dari kemarin.

"Ya udahlah, percaya gak percaya jalani aja. Toh ini juga yang aku mau dulu." Lanjutnya disertai senyuman tipis.

Selama beberapa hari menjalani kehidupan baru sebagai Liona, ternyata Ia tidak begitu kesulitan menyesuaikan diri. Meskipun keduanya sangat berbeda, tetapi keluarga Liona sangat menerimanya.

Ia bahkan baru mengetahui bahwa Liona memiliki kakak laki-laki yang jarak usianya hanya 2 tahun. Dan sekarang bersekolah di tempat yang sama dengannya, yaitu di Batavia High school.

"Jujur aku gak tau ada sekolah dengan nama itu, tapi ini kan dunia fiksi jadi masa bodoh deh. Eh, kapan ya abangnya Liona balik?" Ucapnya setelah meletakkan beberapa bantal baru di atas kasur.

Liona memutuskan untuk merenovasi seluruh kamar beserta isinya. Ia merasa pengap dengan seluruh isi kamar itu meskipun ukurannya sangat luas.

Belum lagi walk in closet yang penuh dengan pakaian dan barang lainnya.

Temboknya tetap dibiarkan berwarna sage green dan broken white. Semua cermin yang menempel di dinding disingkirkan dan hanya tersisa satu di dekat meja belajar. Di dalam walk in closet juga hanya ada 1 kaca di meja rias.

Lampu kamar diganti dengan yang lebih minimalis, seprai, bantal, guling, dan sebagainya di ganti sesuai dengan selera Liona yang baru.

Tentu saja semua itu atas persetujuan Ibu Bendahara, alias Bunda Aini.

Pakaian dan barang-barang yang dirasa terlalu berlebihan serta tidak diperlukan di simpan sebagian di dalam ruangan khusus.

Mungkin nanti akan Liona lelang atau sumbangkan pada yang membutuhkan.

Liona ingin kamar yang sederhana namun berkelas, tidak terlalu glamor tetapi tetap terkesan mewah. Minimalis dan modern. Ia juga hanya menyimpan barang-barang yang dibutuhkan saja.

Liona merebahkan diri di atas kasur yang sudah rapi dan wangi. "Kalau boleh jujur, aku kangen sama anak-anak aku, kangen mas Martian juga. Aku pengen bisa liat mereka lagi meskipun dalam mimpi. Di dunia fiksi ini semuanya tetap sama, nama Artis, Presiden, dan orang-orang terkenal lainnya tetap ada. Tapi orang-orang yang gak diketahui penulis seperti aku dan keluargaku gak ada di dunia buatan ini. Aku udah coba cari nama Facebook Laura, tetep gak ada."

"Gimana ya kabar Alina dan Azura. Gimana nasib anak aku yang belum lahir. Semua ingatan itu bikin aku hampir gila selama tiga hari ini, untung aja aku bisa menyibukkan diri dengan renovasi kamar. Kalau nggak pasti udah depresi berat. Ternyata gak semudah itu lepas dari kenangan masa lalu. Andai ingatan aku juga ikut hilang." Racaunya, karena saat ini Liona sedang setengah sadar.

Matanya terpejam akibat terlalu lelah seharian ini mengurus kamar barunya.

Selamat istirahat, Liona. Kehidupan baru yang sebenarnya sedang menantimu di hari esok..

***

Liona berjalan santai menuju lantai bawah. Tepatnya ruang makan didekat dapur.

"Selamat pagi" sapanya.

"Pagi, sayang" Balas Aini yang sedang menyiapkan sarapan.

New Life, New Soul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang