09: Sisi.

344 71 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, kini hanya tersisa Kala di ruang tengah rumah Javi. Gadis itu malas pulang ke rumah karena tidak ada siapa - siapa di sana.

"Kal," panggil Javi, pemuda itu kembali bermain PS dengan Harka.

"Hm?" sahut Kala yang sibuk mengetik di laptopnya.

"Pendapat lo tentang Moka gimana?" tanya Javi membuat jari jemari milik Kala yang tadinya sibuk ke sana kemari terpaku.

"Maksudnya?" tanya Kala memastikan kemudian melanjutkan kegiatannya.

"Menurut lo, Moka gimana orangnya?" kini Harka yang melontarkan pertanyaan.

"Batu, nyebelin, agak absurd," jawab Kala.

"Itu aja?" pancing Harka.

"Baik juga, udah itu aja," balas Kala, yang bertanya hanya mengangguk mendengar jawaban Kala.

Tak lama kemudian Kala pun memilih untuk menyudahi kegiatannya, mematikan laptopnya dan merapikan kertas - kertas miliknya yang berserakan.

"Mau balik?" tanya Javi begitu melihat Kala yang berkemas.

Yang ditanya mengangguk, "Iya, takut makin macet," ucapnya.

"Naik apa? mobil lo masih di bengkel kan?"

"Tinggal mesen aja nanti," balas Kala santai.

"Bentar, gue telpon bala bantuan dulu," ucap Harka sambil memainkan ponselnya.

"Kenapa Har?" sapa suara dari sebrang sana dan tentu saja Kala mengenali suara tersebut.

"Lo sibuk gak? gue mau minta tolong,"

"Minta tolong apa? tumben banget nanya, biasanya juga langsung nyuruh,"

"Anterin Kala balik, kasian kan udah sore terus pulang sendiri,"

"Oke,"

"Tumben, biasanya banyak alesan," sambar Javi.

"Gue otw ya," dan panggilan pun terputus membuat Harka berdecak.

"Nah tinggal nungguin si Moka," ucap Javi yang kembali meraih stik ps nya untuk melanjutkan permainan.

"Gue bisa pulang sendiri," protes Kala.

"Iya, lo bisa pulang sendiri. Cuma udah sore, takut hujan juga mana pulang sendirian," ujar Harka.

"Kalo Rendy tau lo balik sendiri, abis kita di mutilasi," lanjut Javi yang di setujui oleh Harka.

"Lebay," balas Kala.

"Lebay? lebih ke wajar kali Kal," ucap Harka.

"Wajar takut sama Rendy, serem gila kalo marah. Literally kecil - kecil cabe rawit," Kala tertawa mendengarnya apalagi di tambah Harka yang bergidik ngeri seperti mempunyai trauma tersendiri.

Tak lama terdengar suara klakson dari depan, membuat mereka bertiga pun beranjak.

"Tumben," komentar Javi begitu Kale keluar dari pintu kemudi.

"Mendung Jav, takut hujan di jalan," balas Kale lalu beralih pada Kala.

"Udah?" tanyanya dan lagi Kala mengangguk sebagai jawaban.

Setelah Kala pamit pada dua pemuda itu, Kale dengan sigap membukakan pintu untuk Kala.

"Gaya lo," lagi - lagi Javi melontarkan komentar.

"Komen mulu lo," ucap Harka sambil memukul kepala pemuda yang berdiri disampingnya itu.

"Gue cabut ya," pamit Kale pada kedua tetangganya itu dan mereka pun mengangguk.

"Balik kesini ya Ka, tanding PS," ucap Harka dan hanya di balas jempol oleh Kale sebelum menghilang di balik pintu kemudi dan tak lama kemudian mobil berjalan meninggalkan kediaman Javi.

"Kala masih gengsi gak sih Har?" tanya Javi sambil kembali berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Harka mengangkat kedua bahunya, "Ya gak tau, tapi kapan sih gengsi Kala kecil? denial juga anaknya," ujarnya.

Sementara suasana di mobil hening dan canggung, Kale yang fokus menyetir dan Kala yang sibuk memandangi pemandangan di luar.

"Lo bisa play musik, kalo mau," ucap Kale masih dengan pandangan lurus ke depan.

"Nih pake hp gue aja, biar gampang," Kale mengulurkan ponselnya pada Kala.

"Password?" tanya Kala sambil mengambil ponsel tersebut.

Entah kenapa senyum kecil muncul darinya begitu melihat lockscreen Kale adalah foto keluarga.

Terlihat seorang pria dengan jas dokternya, di sebelah kirinya ada Kale dengan seragam taekwondonya lalu di sebelah kiri Kale, seorang wanita dengan setelan kantornya. Dan seorang wanita paruh baya yang duduk di depan Kale. Mereka semua tersenyum menghadap kamera.

"Kala," Kala tersentak begitu Kale menepuk lututnya pelan.

"Eh maaf, apa tadi password nya?"

"1963," balas Kale.

Dan homescreen Kale adalah punggung Kale dengan Jio yang sedang duduk pantai, dan dapat Kala simpulkan bahwa Kale adalah sosok yang sangat menyayangi keluarganya.

Ia pun menyalakan bluetooth dan langsung terhubung, ia pun memainkan lagu yang ada di playlist milik Kale.

"Hujan," celetuk Kale membuat Kala mengangkat kepalanya dan menatap ke arah luar, hujan turun dengan deras.

"Pelan - pelan nyetirnya," ucap Kala.

"Pasti," balas Kale dan kemudian lebih fokus menyetir.

Hening hanya lagu yang mengalun menjadi teman perjalanan mereka hingga lagu tersebut terhenti karena sebuah panggilan masuk.

Kale pun langsung menjawab panggilan tersebut begitu melihat bahwa Deo yang memanggilnya.

"Iya, kenapa Bang?" tanya Kale.

"Udah di rumah?"

"Lagi nganter temen, kenapa?"

"Jemput ya nanti malem, masih ada satu operasi lagi,"

"Iya, just ring me anytime and i'll pick you up,"

"Hati - hati nyetirnya, thank you Ka,"

"Hm, jangan lupa minum air putih,"

"Iya, abang tutup ya." panggilan pun terputus dan Kale kembali fokus menyetir sementara sesekali mencuri pandang pada adik kelasnya itu.

Hingga tak ada obrolan yang tercipta begitu mereka memasuki halaman rumah Kala.

"Sebentar, gue cari payung dulu," ucap Kale sambil memutar badannya ke bangku belakang.

"Dapet, tunggu bentar," Kale pun dengan cepat keluar dan kemudian membukakan pintu untuk Kala serta menjaganya agar tak terkena air hujan.

"Thank you, gue ngerasa ngerepotin lo terus," ucap Kala begitu Kale mengantarnya hingga depan pintu.

Kale mengangkat bahunya acuh, "Gak merasa direpotkan, tapi kalo lo ngerasa kayak gitu, ya gue dengan senang hati lo repotin terus," katanya.

"Makasih ya Ka, mau masuk dulu?"

"Kapan - kapan ya Kak, titipan Kak Jian belum gue anterin," balas Kale dan Kala mengangguk mengerti.

Kala mengerutkan alisnya bingung karena Kale tak kunjung beranjak, "Ka, gak pulang?"

"Lo masuk dulu, baru gue balik,"

"Iya ini masuk, hati - hati pulangnya,"

"Pasti,"

Setelah melihat Kala yang menghilang di balik pintu, Kale pun memutar badannya dan berjalan menuju mobil milik Deo.

Kala, lagi - lagi menatap punggung Kale yang menghilang di balik pintu kemudi, setelah mobil yang Kale kendarai keluar dari halaman rumahnya, Kala baru melangkah menuju kamarnya di lantai dua.

Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang