05: Batu.

500 86 0
                                    

Pagi ini cuaca mendung membuat Kale enggan untuk pergi ke sekolah, hingga Tania -Sang Bunda- harus turun tangan.

"Moka bangun dek, gak sekolah kamu? udah jam setengah tujuh," ucap Tania sambil menepuk - nepuk pipi anak bungsunya itu.

"Moka gak sekolah dulu ya Bun," pinta Kale yang masih memejamkan matanya.

"Kenapa? kamu sakit?" balas Bundanya sambil mengecek suhu tubuh Kale.

"Engga Bun, males aja," elusan yang tadinya lembut berubah menjadi pukulan hingga jeweran di telinga kanannya yang berhasil menerbangkan rasa kantuk dan malas Kale.

"Aduh Bun, iya iya Moka pergi sekolah," balas Kale dan duduk lalu mengusap telinganya yang memerah.

"Bunda berangkat ya dek, hati - hati berangkatnya dan jangan lupa sarapan," ujar Tania.

"Hati - hati Bun," ucap Kale setelah mencium pipi Sang Bunda.

Setelah pintu kamarnya tertutup, Kale pun pergi ke kamar mandi dan selesai 15 menit kemudian.

Pukul 6.50 Kale turun ke bawah untuk sarapan, dan langkahnya terhenti begitu melihat sosok yang hampir tiga bulan tidak ia lihat.

"Jio! adek ku!" seru Kale langsung bergegas memeluk balita yang kini berumur 2 tahun itu.

"Kakak kamu gak di sapa Moka, bener - bener ya," ucap Jian -Kakak pertama Kale- yang duduk di samping Jio.

"Udah bosen," balas Kale yang di balas dengan dorongan di kepalanya.

"Jangan pegang - pegang Jio, anak kakak gak boleh bergaul sama orang gak sopan," ujar Jian membuat Kale berdecak lalu beralih memeluk Kakak sulungnya itu dan tak lupa mencium pipi kanan dan kirinya juga keningnya dengan sayang.

"Pagi kakak Jian tersayang, gimana Perancis?" ucap Kale lalu beralih mencium puncak kepala Jio sebelum mengambil sehelai roti dan langsung memakannya.

"Enak sih, tapi mending di sini. Mau ke Bunda deket," balas Jian.

"Rumah kakak di sebrang ya deket lah," ucap Kale lalu memilih meminum susu yang di telah disiapkan oleh Jian.

"Nyebelin kamu, pantes Kala gak suka suka," balas Jian membuat Kale cemberut dan tentu saja langsung Jian usir.

"Sana berangkat, telat mulu kerjaannya," tambahnya dan Kale hanya bisa menahan diri untuk tidak memutar bola matanya.

"Iya iya, nyebelinnya kan turunan dari kakak," balas Kale lalu langsung lari ke depan menghindar dari lemparan sendal tidur sang Kakak.

Kale menarik gas motornya setelah menutup pagar rumahnya dan tak lupa juga ia kunci.

Kale menghembuskan napasnya lega, karena begitu sampai di parkiran, hujan turun dengan deras dan tidak perlu khawatir dengan helm basah karena parkiran Atmajaya ada atapnya.

Kale berjalan dengan santai padahal ia telat 15 menit, hujan yang deras membuat para siswa lebih memilih diam di kelas. Namun langkah Kale terhenti karena benda keras memukul pundaknya.

"Lo telat lima belas menit," siapa lagi pelakunya kalau bukan Rendy.

"Sumpah Kak, pukulan lo makin kenceng, gue saranin lo jadi atlet tinju Kak," ucap Kale sambil mengelus bahunya karena jujur saja, beneran sakit. Rendy kalau soal memukul Kale tidak pernah bohongan.

"Lebay lo," balas Rendy menatap Kale yang meringis di depannya.

"Sini gue pukul," ucap Kale cepat.

"Berani emangnya?"

"Ya engga lah Kak, pake nanya lagi," balas Kale dan Kala juga Gia yang sedari tadi menyaksikan akhirnya terkekeh membuat Kale mengalihkan atensinya menatap dua kakak kelasnya yang berdiri di belakang Rendy.

Jatuh SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang