3

1.6K 90 0
                                    

Ada yang bilang terlahir dari keluarga terpandang adalah sebuah keberuntungan. Namun, ada batasan dan aturan yang harus ditaati membuat mereka memiliki beban untuk menjaga martabat keluarga. Begitu juga yang dirasakan oleh Thitipong Romsaithong sebagai putra ketiga Mile dan Apo. Menjadi anak tengah dengan dua kakak dan dua adik membuat dirinya tak begitu terlihat. Fort memilih membantu Meen dalam berbisnis. Melakukan hal itu untuk mendapat sedikit perhatian Mile bahwa ia juga bisa berguna walau hanya Meen yang mendapat pengakuan penuh.

Ada satu sisi dari jiwanya yang bebas. Fort sangat suka memacu adrenalin di jalanan. Balap motor menjadi temannya ketika tak ada yang peduli padanya. Selain itu ia mempunyai pacar cantik bernama Nouel Nuttarat Suansri. Yang selalu sabar menghadapi nya. Namun karena jiwa nya selalu merasa kosong, Fort sedikit bermain api.

"Kita gak bisa terusin ini." Fort menghembuskan nafas kesal. "Kenapa? Bukannya kita saling membutuhkan. Kau mengatakan itu setelah berhubungan badan. Kau pemain Peat." Fort mencoba mendekati Peat namun ia menghindar. Sudah satu bulan lamanya Fort dan Peat menjalin kasih di belakang Noeul. Peat Wasuthorn Potiwihok bisa bisanya bermain api dengan pasangan sahabatnya sendiri.

"Noeul terlalu baik memiliki bajingan seperti kita dalam hidupnya. Aku juga ingin menjalani hidup tenang. Anda dengar itu Tuan Thitipong?" Apa yang diucapkan Peat ada benarnya. Noeul memang terlalu baik untuk mereka khianati. Peat menjambak rambutnya sendiri. Mengapa ia bisa termakan rayuan buaya dan mengkhianati sahabatnya sendiri.

Saat mereka sibuk dengan pemikiran mereka sendiri. Ponsel Peat berdering, tertera nama Noeul di sana. Ia memainkan mimik wajahnya dan memberi aba-aba untuk Fort diam. "Ya, halo?" Suara Peat yang terdengar serak menimbulkan kekhawatiran sang penelpon. "Kau baik-baik saja? Tadinya aku mau curhat Kak Fort gak ada kabar seharian. Tapi berhubung kau sakit. Ya sudah, kapan-kapan saja." Setelah itu telpon dimatikan oleh Noeul.

"Kau lihat? Aku mau ini segera berakhir." Peat segera mengambil pakaian nya yang berserakan di lantai. Ia segera pergi meninggalkan Fort sendiri. "Segera hubungi Noeul dan bersikap baik padanya. Itu pesan terakhir ku." Lanjutnya.

Fort tak bisa kehilangan Peat begitu saja. Namun, ia juga tak bisa menahannya untuk tetap tinggal. Begitu teringat oleh pesan Peat ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Noeul. Ternyata banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari pacarnya. Sebisa mungkin ia bersikap biasa.

"Maaf, aku sibuk belakangan ini. Mari kita bicarakan besok." Panggilan itu terputus sepihak. Ia yakin ini hanya perasaan kesal karena pertama kali dicampakkan. Belum pernah ada yang berani mencampakkan nya, iya pasti karena itu. Fort melempar ponselnya ke sembarang arah. Jujur antara Noeul dan Peat, ia lebih menyukai sisi dewasa Peat dibandingkan sifat kekanakan Noeul.

Pagi harinya, ponsel Fort berdering terus menerus. Tanpa melihat nama yang tertera ia langsung menjawab. "Dek, ada problem. Abang bakal ke luar negeri dalam beberapa hari. Tolong kau handle masalah yang di sini." Rupanya Meen memberi tugas. Mau tak mau ia harus mengambil alih kerjaan Meen yang tertunda. Tak lama ia pun bersiap menuju kantor Meen. Fort sudah terbiasa menggantikan Meen yang mempunyai beban ekstra. Tugasnya pun tak sulit karena Abangnya hampir mengerjakan semua secara sempurna. Yang ia lakukan hanyalah crosscheck bagian tertentu. Kadang ia merasa tak berguna.

"Saya mau semua berjalan rencana. Proyek ini cukup besar. Pembangunan akan terus beroperasi sebagaimana mestinya." Saat Fort sibuk menjelaskan. Salah satu staffnya datang menginterupsi pembicaraan bahwa ada yang mengaku sebagai pacarnya datang dan menunggu di ruangannya. "Ya jadi, semua sudah clear. Kalau begitu saya permisi dulu."

"Noeul?" Merasa namanya terpanggil ia pun membalik badan. Fort menghampiri kekasihnya itu, mereka berpelukan singkat. "Bagaimana penampilan ku?" Noeul memutar badannya, berharap Fort menemukan sesuatu yang berbeda dari dirinya. "Rambut mu cukup berwarna." Noeul tak tahu harus berekspresi bagaimana. Tak ada getaran kagum ataupun terkejut. Ekspresi Fort cukup datar menanggapinya.

Noeul merangkul lengan Fort. "Kak? Hari ini kita  bisa berkencan?" Fort terdiam cukup lama sebelum merespons. "Bisa. Jadwalku dua jam ke depan kosong. Mari kita pergi." Fort berusaha semaksimal mungkin meladeni kemauan Noeul. Ia mengikuti semua keinginan kekasihnya, tapi Peat terus saja membayangi nya.

Sekarang mereka berada di atas kapal pribadi milik Fort. Noeul sangat memperhatikan penampilan terutama bagian rambut. Hairstyle Noeul begitu cantik saat diterpa angin laut. Rambutnya yang panjang dan berkepang pinggir  sebahu menambah kharisma nya. Mengapa Fort sedari tadi tak bisa melihat pesona kekasih nya. Tanpa sadar tangan Fort bergerak ingin menyentuh rambut Noeul. Noeul pun merasa senang ketika Fort membelai rambutnya.

Noeul meringkuk masuk ke dalam pelukannya. Keduanya tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Noeul mendongakkan kepalanya, ia ingin mengecup Fort. Fort pun membalas kecupan itu menjadi lebih dalam. Namun sesuatu membayangi nya membuat ia melepas ciuman tersebut.

Fort memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Time is over. Aku harus kembali ke kantor." Noeul pun menyetujuinya walaupun sedikit tersenyum kecut. Tak bisakah Fort sedikit saja melupakan pekerjaannya saat bersama dirinya. Entah mengapa, Noeul merasa hubungan nya menjadi hambar. Apakah ia sedang berada di fase bosan? Entahlah.

Setelah mengantar Noeul pulang, Fort pun mulai menghabisi waktunya di kantor. Sekali kali ia mencoba menghubungi nomor Peat namun nihil. Sepertinya Peat benar-benar menghapus jejak hubungan mereka.

Di tengah pikiran Fort yang berkecamuk. Ada Ping yang terus saja menghela nafas. Ia tak memiliki teman berbicara di mansion yang luas ini. Meen sedang dalam perjalanan bisnis. Mile dan Apo juga disibukkan banyak hal. Dan ia sendiri belum pernah berbicara dengan asik-adik Meen. Lagipula respons terakhir mereka tidak mengenakkan. Satu-satunya yang bisa ia ajak bicara ya pengawal pribadinya.

"Paman. Apa tidak bisa libur sehari ... saja? Badanku rasanya mau remuk." Ping mengeluh. Ia sudah latihan selama satu jam di arena tembak. "Maaf Tuan Muda. Sesuai kesepakatan,  Tuan baru bisa berhenti ketika mencapai target." Ping yang mendengar itu mendengus sebal.

"Apa hanya aku yang dilatih sedemikian rupa?" Para pengawal nya menatap datar majikan baru mereka yang terus saja mengeluh. Namun mereka memahami perasaan Krittanun yang memang memiliki sifat manja namun harus di didik keras. "Nyonya Nattawin akan marah jika sikap Anda begini. Untuk lima anak beliau sedari kecil sudah terbiasa dengan banyak latihan. Mereka hanya akan sekali kali mengasah kemampuan. Kalau untuk menantu lainnya kami tidak tahu apa yang Nyonya rencakan. Jadi lebih baik kita lanjutkan latihannya."

Mau tak mau Ping kembali ke zona barunya. Satu jam berlalu dan akhirnya ia bisa bernafas lega. Namun ia kesepian. Ingin menghubungi Meen namun ia tak memiliki satu pun kontaknya. Yang bisa ia lakukan hanya tour keliling mansion. Seorang pengawal asing mendatanginya dan memberi IPad yang ternyata berisi panggilan video dari Meen.

Nampak Meen sedang berada di ruang kantor. "Bagaimana kabar mu?" Ping memainkan bibirnya sebelum menjawab. "Cukup membosankan. Selain latihan, aku tak tahu harus melakukan apa." Meen begitu gemas dengan sikap Ping yang berubah ubah. Kadang manja, kadang cuek.

"Kau bisa memeriksa sesuatu di dapur. Aku meninggalkan beberapa pesan di sana." Mendengar itu Ping segera menuju dapur tanpa memutus panggilan video. Ia menemukan sebuah kotak besar yang berisi pesan di atasnya. 'Makanlah yang banyak. Aku merindukan mu'. Dan segera ia buka kotaknya berisi berbagai cemilan dan dessert kesukaannya.

"Ada apa dengan semua ini?" Ping tak habis fikir. Walau Meen sedang berada jauh darinya. Tetap saja mengurusnya dengan baik. "Nothing. Hanya tidak ingin kau kelaparan karena jauh dariku." Ping tertawa. Bagaimana bisa seorang Nichakoon memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi.

"Kau terlalu percaya diri Tuan. Aku bukannya orang yang mudah ditaklukkan hanya karena makanan." Melihat Ping tertawa lepas adalah sesuatu yang diharapkan oleh Meen. Itu berarti rencananya berhasil. "Apapun itu. Ping aku sudahi dulu panggilannya. Aku harus kembali meng-handle sesuatu di sini." Ping pun menyetujuinya. Ia menatap kotak itu sembari tersenyum sedikit. Entah bagaimana, Meen selalu memprioritaskanya. Sedikit banyak mereka saling mengenal. Ping pun kembali menuju kamar dengan membawa kotak tersebut.

***

TBC

RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang