PdMT 14. ANAK DARI SANG DEWI.

192 14 2
                                    

"Siapa kau?". Ucap Noeul langsung.
Awalnya Artheo ingin memukul wajah ini. Tapi itu tidak mungkin. Karena baginya jika anak ini tidak tahu dirinya itu wajar saja. Karena dirinya memang sudah pernah lagi kembali setelah kepergiannya 19000 tahun yang lalu.

Mereka pikir Karajan kegelapan ini telah musnah tetapi tidak seperti yang mereka bayangkan. Bahwa mereka hanya kabur saja tidak hancur.

"Bukankah aku sudah mengatakan siapa aku". Ucap Artheo.
"Apa Mau mu?". Tanya Noeul.
" Mau Ku, tidak banyak. Hanya satu saja. Aku yakin kau tidak akan pernah keberatan jika memberikannya kepadaku". Ucap Artheo.
"Katakan?".

...

"Mengapa terburu-buru sekali ingin tahu, sedangkan aku saja belum memberikanmu penawaran yang bagus". Ucap Artheo.
"Aku tidak butuh kata basa basi". Ucap Noeul.
" Wah-wah.. Sepetinya memang benar jika buah tidak akan pernah jatuh dari jauh dari pohonnya terlihat dari sifatmu yang sangat mirip". Ucap Artheo.

"Apa maksudmu, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau katakan. Tolong lepaskan aku". Ucap Noeul.
" Kau sama sekali tidak sopan. Panggil aku Ya mulia Raja Artheo". Ucap Artheo dengan kesal.
Noeul hanya diam tidak menjawabnya.

"Hahah Ku tidak perlu tau, tentang tujuanku membawamu. Karena menjelaskan bukanlah tugasku". Ucap Artheo dengan tertawa.
" Hai kau, bawa di ruangannya". Ucap Artheo kepada bawahannya selagi menunjuk Noeul.

Noeul yang ingin di jemput tentu saja tidak ingin ikut. Ingat dia harus kembali.
"Jangan mendekat". Ucap Noeul pada orang itu.
" Oho jangan menolak sayang, kau ingin aku membuka penutup itu sebelum kau berdiri diatas altar". Ancamnya pada Noeul.

Noeul terpaksa pasrah saja saat Artheo mengancamnya. Noeul tidak ingin melanggar janjinya kepada kakek. Jadi lebih baik Noeul menerima saja.
"Anak pintar". Ucapnya.

.....

Di satu tahun, di dalam hitungan seribu seratus hari.  Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu bagi semua petinggi kerajaan awan dan seluruh kehidupan di dunia ini.

Sebab sang penerus dan sang penyelamat dunia mereka, akan segera hadir. Bersamaan dengan bunga mawar yang terlihat akan mekar dengan segarnya.

Penantian panjang itu telah di persiapkan bagi para seluruh penjuru negeri untuk menyambut kehadirannya.

"Salam bahagia saudara-saudaraku. Aku mengumpulkan kalian di tempat ini bukan karena sebab yang tidak jelas.... Tetapi hal ini. memang sudah aku persiapkan untuk menanti hari ini. Hari ini Adalah sebuah hadiah dari hasil kerja keras yang panjang. Aku harap kalian semua tidak keberatan dengan pilihan darinya? Karena memang hal ini. memang sudah menjadi takdir yang harus kalian pertanggung jawabkan nanti". Ucapnya dengan tegas.

Semua mengangguk setuju dan berharap bahwa mereka bisa mendapatkan dia.
Satu benda atau nyawa yang paling berharga itu bisa berada di tangan mereka masing-masing.

Dengan hati yang tulus, mutiara suci ini akan menentukan sendiri siapa yang akan menjadi takdirnya.
Di hari kelahiran sang bunga keabadian.

"Aku sangat tidak sabar". Ucap sang Ratu pada sang Raja.
"Bersabarlah, ayo saatnya sekarang". Ajak sang Raja pada sang Ratu.
" Baiklah". Ucap sang Ratu lalu mengikuti langkah sang Raja menuju tempat yang sakral. 

Orang-orang kerajaan menyebutnya. Holy House, atau bisa di bilang Rumahnya para mutiara suci.

Sang Raja sudah sampai di tempatnya, menghadap sang tertua atau sang Ayah bersama dengan kedua saudaranya yang lain juga.

"Apakah kalian sudah siap?". Ucap sang tertua.
"Kami siap ayah". Ucap ketiganya.

"Baiklah, sekarang ulurkan tangan kalian menghadapnya (sebuah bunga mawar yang masih tertutup dengan indahnya) pejamkan mata kalian dengarkan instruksi dariku". Ucap sang Tertua.
"Baiklah,ayah". Jawab ketiganya.

Sang Tertua pun pergi ke depan Untuk menyentuh selaput kaca yang menutupi bunga itu. Dengan satu kali sentuhan. Seketika kaca itu menghilang entah kemana. Harum dari Bunga itu bisa tercium sangat jelas.
Bersaman dengan itu, sang Tertua menutup kedua kelopak matanya. Lalu mulai membaca sebuah mantra di dalam hati..

"Dengan ini aku menyambut mu, wahai malaikat keabadian ku. Hadirlah dan pilihlah mereka yang akan menjadi takdir keturunanmu selanjutnya". Ucap sang Tertua dengan lantang.

Barulah setelah itu, sang Tertua membuka matanya dengan berkata..

datanglah..

Datanglah.. 

Datanglah..

Bersamaan dengan ketiga anaknya ini secara bersamaan Datanglah..

Sebuah asap merah bercampurkan warna putih perlahan keluar dari sela-sela bunga itu dengan perlahan. Perlahan-lahan pula asap-asap itu membentuk sebuah gumpalan yang besar setinggi ukuran manusia pada umumnya.

Lalu asap-asap itu mulai menipis terlihatlah seseorang yang cantik telah muncul disana. Sang Malaikat keabadian. Tidak lupa harum itu tidak pernah pergi.

Sang Tertua tersenyum, lalu menyambut bahagia sang Dewi dengan bahagia.
"Selamat datang sang Dewi, aku menyambutmu dengan rasa bahagia dan syukur". Ucap sang Tertua.

Sang Dewi tersenyum mengiyakan. Senyumnya sangatlah cantik dan menyejukkan hati.

Sang Tertua pun meminta ketiganya untuk membuka mata mereka, Untuk melihat sang Dewi. yang bisa melihat pun jika kamu beruntung saja.

Dan bisa di bilang mereka semua lah orang-orang itu. Tidak banyak hanya ketiga dari anaknya dan para istri mereka. Terkecuali orang tua dari pemimpin dari seluruh negeri ini. Merekalah yang akan berjaga di tempat ini. Seperti tugas.

Ketiganya tersenyum, tidak lupa meucap kagum karena kecantikan sang Dewi termasuk para Ratu-Ratu juga tidak bisa membohongi rasa kagum mereka.

"Selamat datang kembali untuk kalian, aku senang bisa bertemu dengan kalian seperti ini. Aku harap kalian tidak mengecewakan aku". Ucapnya dengan suara yang lembut. Tidak lupa senyum itu masih saja tercetak dengan indah.

"Apakah ini calon-calonnya?". Tanya Sang Dewi.
Sang tertua menjawab " Ya merekalah".

Sang Dewi hanya tersenyum mendengarnya, lalu sang Dewi meminta ketiganya calon Itu untuk mendekat kearahnya.

"Genggam tangan ku". Pinta Sang Dewi.
Ketiganya pun ber genggaman tangan.
Sang Dewi mulai membaca mantranya, tidak lama asap-asap itu kembali muncul untuk mengelilingi sang Dewi dan ketiganya (Ratu).

Asap-asap itu pun beralih pada satu tangkai bunga mawar itu untuk kembali mengelilingi bunga mawar itu.
Bersaman dengan itu kelopak bunga itu perlahan terbuka satu persatu hingga habis.  Disanalah inti dari penantian ini.

Mutiara suci yang sangat di nantikan, begitu indah tertanam menjadi jantungnya sebuah takdir kehidupan.

Terdengar alunan rengekan itu bisa mereka semua dengar dengan jelas. Sangat hidup dan punya harapan yang besar.

"Sekarang ulurkan tangan kalian, buat anakku senyaman mungkin di pelukan hangat kalian". Ucap sang Dewi.

Ketiganya pun tersenyum mendengarnya.
Satu persatu dari mereka pun mendekatinya (anak dari sang Dewi yang di utus menjadi jantungnya perdamaian dunia).

Tetapi alunan rengekan itu tidak juga berganti....

...

PANGERAN DAN TUAN MUDA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang