Pagi ini sekolah dihebohkan dengan kehadiran Kaivan dengan wajah lebam yang cukup parah. Adeline yang baru saja sampai di sekolah menatap ngeri pada wajah Kaivan yang hampir tak berbentuk. Yang membuatnya lumayan asing adalah, seakan melihat Gazza versi berbeda.
Selama hidupnya sebagai Zora, dia mengenal Gazza sebagai siswa pendiam. Bahkan sangat jarang terlibat pertengkaran. Lalu sekarang dia bertemu dengan seseorang yang berwajah sama, namun dengan tingkah berbeda.
"Gue emang ganteng." Adeline tersentak kaget saat Kaivan sudah berada di depannya. Namun, hanya lewat dan membanggakan diri.
"Mana ada ganteng," balas Adeline bergidik ngeri.
Lagi pula walau tampan, nyatanya sikap Kaivan pasti nol besar. Terbukti dari beberapa orang yang membicarakan pemuda itu, ya walau hanya berani di belakang. Bagaimana tidak, penampilan Kaivan yang satu dua dengan preman, apa lagi tatapan pemuda itu yang terasa akan menelan manusia hidup-hidup.
Walau begitu agak aneh melihat seseorang babak belur di halaman sekolah seperti ini. Apakah guru-guru tak marah dengan Kaivan?
Dia membayangkan seberapa sakit wajah pemuda itu. Dirinya yang hanya jatuh saja rasanya ingin menangis, lalu Kaivan?
"Is ngapain mikirin dia, sih. Pasti sifatnya enggak jauh sama Gazza, cowok brengsek!" Adeline berucap sedikit keras sampai beberapa murid menatapnya heran.
Adeline menyengir lebar. Sungguh malu menjadi pusat perhatian, walau saat menjadi Zora semua pusat perhatian memang tertuju padanya.
"Adeline!" Renata yang baru turun dari mobil berlari ke arah Adeline. Merangkul bahu Adeline hingga sang empunya hampir terhuyung, untung saja dapat mengendalikan diri.
"Sakit tau!" Adeline melepas rangkulan Renata. Sungguh tubuhnya lebih kecil dari Renata, dan dengan seenaknya Renata datang langsung bertumpu pada tubuhnya.
"Lagian bukannya masuk kelas malah melamun. Hati-hati kesambet!" Adeline memutar bola matanya malas. "Ini setannya lagi nempel."
"Enak aja!" Renata menoyor kepala Adeline pelan, lalu berlari pergi dari sana.
"Renata!" Adeline berteriak keras. Mengejar Renata sekuat tenaga, dia harus membalas Renata sampai gadis itu memohon kepadanya.
***
Adeline membawa bekal makanannya ke taman belakang sekolah yang jarang dikunjungi. Sedangkan Renata tak dapat menemaninya karena ada rapat OSIS.
Adeline menatap sekelilingnya, mencari tempat yang pas untuk menyantap makan siangnya dengan damai dan nikmat.
"Hmm masakan Mama selalu enggak pernah gagal." Adeline menghirup aroma harum dari dalam kotak bekal berwarna hijau miliknya. Dia memejamkan matanya, meresapi harus yang begitu nikmat dari masakan sang ibu.
"Kalau gini aku betah di sini." Dengan penuh semangat Adeline menyantap makanannya. Kali ini ada sambal cumi, serta lauk lainnya kesukaan Adeline.
"Kak Andrew kenapa jarang ke rumah ya? Padahal waktu itu dia maksa buat nginep. Sekarang ngelupain aku." Adeline kesepian. Karena biasanya Andrew menjadi yang paling heboh di rumahnya. Bahkan selalu menemaninya ke mana pun.
"Berisik banget sih?!" Adeline melebarkan matanya saat suara orang lain memasuki indera pendengarannya.
Adeline mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, mencari asal suara itu berada. Namun, dia sendirian di sini sekarang.
"Gue di atas tolol!" Adeline menengadahkan kepalanya, dia menatap heran pemuda yang saat ini sedang duduk di atas pohon sambil menatapnya tajam.
"Kamu kenapa jadi monyet?" tanya Adeline.
Kaivan sang pelaku berdecak sebal mendengar ucapan Adeline. Dia melompat dari pohon hingga mendarat tepat di hadapan Adeline.
"Berisik lo, gue mau tidur!"
"Lagian kamu ngapain tidur di jam sekolah, mana di atas pohon." Adeline tak habis pikir dengan siswa-siswa zaman sekarang. Apa mungkin di dunia ini sedang trend tidur di atas pohon?
"Suka-suka gue," balas Kaivan ketus.
Adeline tertawa melihat wajah kesal Kaivan. Apa lagi dengan wajah penuh lebam, rasanya Adeline ingin mencubit pipi pemuda itu.
"Ga jelas lo!" Kaivan pergi dari sana dengan tatapan kesal mengarah pada Adeline.
"Bukannya yang enggak jelas dia?" Adeline terkekeh. Sungguh Kaivan benar-benar mirip dengan Gazza, bahkan galak-galaknya juga.
Walau Adeline merasa aneh saat bertemu dengan Kaivan. Dia merasa bahwa dia bertemu kembali dengan Gazza, rasanya dia akan bersedih saat mengingat dahulu Gazza tak pernah membalas perasannya. Namun, Adeline meyakinkan dirinya sendiri. Jika Kaivan bukanlah Gazza.
Adeline menutup wadah bekalnya. Nafsu makannya seketika hilang mengingat masa lalu menyedihkannya dulu. Walau sudah berlalu, Adeline tetap merasa ada sesuatu yang tak kasat mata menusuk tepat di dadanya.
Sepertinya ada desiran aneh yang malah membuat dadanya sakit. Dia menyentuh dadanya, menatap ke depan dengan pandangan kosong.
"Semuanya udah berlalu, bukan?" Dia selalu meyakinkan jika semuanya sudah berlalu, dia kali ini Adeline seorang gadis beruntung yang memiliki kasih sayang yang melimpah. Namun, dia tak dapat melupakan semuanya secepat itu. Rasanya masih sama menyakitkan, sama ketika pertama kali terjadi.
Adeline melangkah pergi dari taman, membawa kotak bekalnya ke dalam dekapannya. Namun, semua itu tak lepas dari tatapan Kaivan yang belum benar-benar pergi dari sana. Dia melihat semua apa yang Adeline lakukan, dan melihat jelas luka dalam mata gadis itu.
Hai para kesayangan acuuu
Makasih udah mampir dan suport
Semoga kalian sehat selalu ya
Yuk jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya.Love you guyss!
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Zora (Transmigrasi)
Science Fiction[Sequel Antagonis yang Terbuang] 🥀 Wajib membaca 'Antagonis yang Terbuang' sebelum membaca cerita ini🥀 Zora lelah dengan semua yang menimpanya. Apa lagi kenyataan jika dirinya bukanlah Adeline yang selama ini dia harapkan, dia memang Zora gadis ja...