"Coba ini!" Adeline mendekat ke arah Kaivan, lalu mengarahkan sebuah kaos pilihannya ke tubuh Kaivan. Kaivan memundurkan langkah berusaha menghindar, tetapi akhirnya memilih pasrah saat mendapat tatapan tajam dari Adeline.
"Bagus, ini aja?" Kaivan mengangguk tanpa menatap Adeline. Adeline tersenyum puas langsung mendekati Kaira untuk meletakkan kaos pilihannya ke keranjang.
Adeline dan Kaira tampak heboh, kedua gadis itu bersikap seolah keduanya adalah teman dekat, lihatlah Adeline lebih cocok menjadi kakak Kaira. Sedangkan Kaivan sejak tadi hanya mengekori keduanya, menurut saat mereka menyodori ini itu atau bertanya tentang sesuatu yang tak Kaivan pahami.
"Kaivan!" Kaivan menoleh melihat Adeline yang memanggilnya sambil melambaikan tangan.
"Bagus yang mana?" Adeline mengambil dua dress selutut bermodel sama tapi berwarna berbeda.
"Yang mana?" tanyanya.
"Biru," jawab Kaivan.
Adeline tidak menyangkal lagi, gadis itu langsung menurut dan kembali berlari kecil menghampiri Kaira. Tanpa sadar Kaivan tersenyum tipis melihat tingkah gadis yang sudah beberapa bulan ini mengacaukan kehidupannya yang suram.
Pemuda itu sadar, dia berdehem dan berusaha memasang wajah datar. Namun, sayangnya sulit apa lagi saat melihat ke arah Adeline yang sibuk memaksa Kaira membeli baju dengan motif yang adiknya tidak sukai.
"Bocil-bocil," gumam Kaivan geli.
Semuanya berjalan begitu saja, mereka bertiga sampai hampir malam di pusat perbelanjaan, sampai Kaira menjalan mendekat ke arah Kaivan dengan wajah lesu, padahal baru beberapa menit yang lalu mereka makan. Sepertinya Kaira kelelahan.
"Mau pulang?" Kaivan mengelus pucuk kepala sang adik lembut.
"Iya pulang," jawab Kaira.
"Ayo pulang?" Adeline datang dari arah toilet, sepertinya gadis itu baru saja mencuci wajahnya. Riasan di wajah gadis itu tadi pagi sudah hilang tak tersisa, sialnya di mata Kaivan Adeline cantik entah itu pakai riasan atau pun tidak.
"Aish!" Kaivan menggelengkan kepala, berusaha menghalau pikiran tidak jelas seperti ini. Sialnya hal itu malah tak luput dari pandangan Adeline.
"Kenapa, kamu sakit?" Kaivan tersentak kaget saat sebuah tangan menyentuh lengannya, tetapi dia langsung menggeleng ketika melihat wajah khawatir Adeline.
"Ayo pulang." Kaivan mengambil alih semua belanjaan Adeline, lalu membawanya ke luar.
Adeline tersenyum penuh kemenangan, atau lebih tepatnya merasa bahagia. Sebab hari ini dia merasakan hidup kembali, dia merasa memiliki sesuatu hal yang sangat menyenangkan. Hal yang sejak dulu tak pernah dia dapatkan.
"Makasih," bisik Adeline di dekat telinga Kaivan, bahkan gadis itu sengaja berjijit karena perbedaan tinggi badan mereka yang cukup jauh.
Kaivan hanya menoleh tanpa membalas, tetapi Adeline dapat merasakan jawaban itu dari tatapan pemuda yang selama ini membuatnya merasa menjadi sosok yang beruntung. Bisakah Adeline katakan, jika dia mencintai Kaivan, lelaki yang awalnya hanya membuatnya penasaran.
***
Sesampainya di rumah, Adeline langsung melihat Raya yang sedang asik dengan ponselnya, sepertinya sedang melakukan siaran langsung. Adeline tampak tak peduli, berusaha tak menganggap keberadaan gadis itu selagi tak mengganggunya.
Di kamar Adeline langsung membersihkan tubuh dan membereskan semua belanjaannya. Dia tersenyum senang, walau sebenarnya agak merasa bersalah. Bagaimana tidak, semua belanjaan ini Kaivan yang membayar, pemuda itu tentu memaksa. Awalnya Adeline sangat menolak keras, tetapi dia tetap kalah melawan Kaivan.
"Apa dia masih ada uang ya?" Rasa bersalah menggerogoti hatinya.
Belanjaan bukanlah sedikit, tentu nominalnya juga tidaklah sedikit. Tetapi kenapa Kaivan memaksakan, padahal belum tentu pemuda itu bisa.
Adeline merebahkan tubuhnya, dia meraih sebuah gelang berwarna hitam, gelang yang sama dengan Kaivan. Awalnya Adeline terkejut saat tiba-tiba Kaivan memberikan sebuah gelang, dengan alasan itu adalah bonus karena dia membeli gelang yang sama.
"Bukannya seharusnya Kaivan kasih ke Kaira, ya?" Adeline tersenyum salalh tingkah. Bagaimana tidak, siapa yang tidak merasa salah tingkah di posisi Adeline.
"Semoga ini awal yang baik," ucap Adeline penuh harap.
Dia harap kali ini dia berhasil, dia tak ingin kehilangan Kaivan. Karena Kaivan adalah laki-laki yang baik, jauh sangat baik dari pada masa lalu yang pernah Adeline jalani. Bukankah selama ini hidupnya berwarna karena Kaivan, jika dia tidak bertemu dengan Kaivan entah apa kabar dia hari ini.
Adeline juga sudah tidak penasaran perihal Gazza, dia sudah mengikhlaskan semuanya. Adeline menganggap ini hanya sebuah kebetulan, anggap saja ini hadiah tuhan atas apa yang dia jalani dulu.
"Ya, semoga aja," lirihnya.
Mata gadis itu memberat, hingga tak lama kemudian dia tertidur. Tidak lama dari itu pintu kamar Adeline terbuka, di sana ada Raya yang memperhatikan Adeline beberapa menit lalu pergi begitu saja.
Entahlah, apakah awal yang baik itu benar-benar baik untuk Adeline atau sebenarnya sebaliknya. Adeline menggeliat, dia menggenggam gelang di genggamannya lebih erat, seakan tidak ingin melepaskannya.
Di sisi berbeda Kaivan tersenyum puas melihat gelang yang terpasang di tangannya, lalu dia menatap tanpa minat beberapa hal yang berada di depannya.
"Menggelikan," gumamnya sinis.
Puasa pertama
Selamat dan semangat bagi yang menjalankan.Siap ditemani Adeline dan Kaivan selama Ramadan?
Jangan lupa vote dan komen dong biar dapet pahala buat Moma bahagia hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Zora (Transmigrasi)
Science Fiction[Sequel Antagonis yang Terbuang] 🥀 Wajib membaca 'Antagonis yang Terbuang' sebelum membaca cerita ini🥀 Zora lelah dengan semua yang menimpanya. Apa lagi kenyataan jika dirinya bukanlah Adeline yang selama ini dia harapkan, dia memang Zora gadis ja...