INZ - 18

6.3K 397 16
                                    

Adeline memeluk seorang pemuda yang begitu dia rindukan. Haidar, sepupunya itu baru hari ini menyempatkan hadir di tengah kesibukannya untuk menemui Adeline. Tak hanya datang dengan tangan kosong, Haidar membawa begitu banyak camilan serta belanjaan lainnya untuk Adeline.

Adeline melepaskan pelukannya, menatap Haidar dengan mata berbinar. Haidar yang paham langsung menyerahkan semua bawaannya kepada Adeline.

"Paling the best, tau aja aku ngincer ini dari tadi." Haidar terkekeh mendengar ucapan Adeline. Dia mengusap pelan pucuk kepala Adeline penuh kasih sayang.

"Gimana betah sendirian di rumah?" Adeline mendengkus sebal. "Bete, sepi banget!" Haidar tertawa mendengar keluh kesah adik kesayangannya itu.

"Bentar lagi orang tua kamu pulang kok." Adeline mengangguk.

"Duduk dulu, Kak. Aku buatin minum!" Haidar mengangguk. Matanya tak lepas dari tubuh Adeline yang semakin kecil di depan sana.

Haidar tak menyangka secepat ini Adeline tumbuh dewasa. Padahal beberapa waktu lalu gadis itu terus membuat masalah hingga semua orang heboh karena perbuatan gadis itu.

"Minuman jadi!" Haidar mengernyit ketika Adeline meletakkan segelas besar susu di atas meja.

"Aku bukan anak kecil, loh?" Adeline duduk di sebelah Haidar.

"Susu bukan cuma untuk anak kecil. Sebenarnya karena aku lagi males buat minuman lainnya sih, tapi susu juga banyak manfaatnya untuk orang tua!" Haidar memutar bola mata malas mendengar kalimat terakhir Adeline.

"Kakak masih muda, loh." Adeline mengangguk. "Anggap aja begitu." Haidar menghela napas tak habis pikir, tetapi memilih mengalah. Karena memang benar, jaraknya dan Adeline pun cukup jauh. Tapi tak cukup sebagai alasan Adeline mengatakannya sebagai orang tua.

"Vion sama Andrew ga pernah ke sini?" tanya Haidar ketika sudah meletakkan gelas susu di tempat awalnya.

"Sering, mereka selalu nemenin aku. Bukan kayak kakak yang selalu sibuk kerja!" ucap Adeline.

"Kalau kakak ga kerja gabisa makan." Adeline mencebikkan bibir mengejek mendengar jawaban kakak sepupunya itu.

"Sangka kakak aku enggak tau apa uang kakak udah sebanyak apa. Kayaknya kakak enggak kerja setahun juga bukan masalah." Haidar tertawa mendengar jawaban Adeline yang memang benar adanya, tetapi tetap saja Haidar tak bisa meninggalkan pekerjaannya.

"Kalau lama-lama kakak enggak kerja bisa bangkrut." Adeline menghela napas dan mengangguk mengalah. "Iya deh," balasnya malas.

Keduanya sama-sama hening. Adeline yang sibuk menonton kartun di televisi, dan Haidar yang sibuk berkutat dengan ponselnya. Hingga suara pintu terbuka dengan kasar terdengar, hal itu sukses mengalihkan perhatian Adeline serta Haidar.

"Yuhu cowok ganteng dateng!" Adeline menggeleng tak habis pikir. Dia menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi lelah melihat tingkah Andrew.

Andrew masuk ke dalam rumah dengan penampilan rapi berbeda dari biasanya, di belakang pemuda itu ada Vion yang memang wajah tanpa ekspresi yang sudah tidak perlu dikagetkan lagi.

"Bisa-bisanya pertama kali dateng nyamperin Adeline bukan gue!" protes Andrew dramatis.

"Iyalah adik kesayangan." Adeline mengangkat dagu penuh kesombongan. Hingga dia meringis saat dahinya dihantam sesuatu yang cukup keras.

"Sakit!" teriak Adeline kesal. Dia menatap sebal sebuah boneka bergambar Doraemon yang sudah tergeletak di lantai. Lalu beralih pada sang pelaku yang terlihat tak bersalah.

"Andrew," tegur Haidar.

Andrew tertawa, tak mempedulikan teguran Haidar serta tatapan kesal dari Adeline. Sekarang fokus pemuda itu adalah sebuah box kue yang tergelatak cantik di atas meja.

"Wih mantep nih!" Adeline berteriak tak terima saat Andrew mengambil semua kue dalam box itu.

"Pelit amat sih?!" Adeline tak peduli, dia merebut kembali kuenya.

"Mana oleh-oleh buat gue, Kak?" Andrew bersorak senang saat Haidar menunjuk sebuah tumpukan paperbag di sebelah meja.

"Gue juga ada kali!" Adeline sama sekali tak peduli. Karena dia tau jika oleh-oleh untuknya jauh lebih banyak dari pada Andrew atau pun Vion.

"Apa kabar?" Adeline menoleh, beralih pada Vion yang baru saja duduk di samping Haidar.

"Baik," jawabnya singkat.

Adeline terkekeh geli dalam hati. Bukan apa-apa, sungguh lucu saat melihat karakter yang biasanya dia baca dan dia lihat di televisi atau pun novel kini benar-benar ada di hadapannya.

"Nih buat lo!" Vion dengan segera menangkap paperbag yang Andrew lempar ke arahnya. Adeline semakin tertawa, apa lagi saat melihat wajah Haidar yang tak habis pikir dengan tingkah adik-adiknya.

"Wah ini jaket yang gue mau." Adeline tertarik melihat sebuah jaket yang Andrew ke luarkan dari paperbag. Dia tersenyum saat melihat Andrew memakainya.

Sungguh di dunia ini semuanya terasa begitu sempurna. Karakter yang ada di sini begitu sempurna, bahkan Andrew sekali pun yang hanya berperan sebagai saudara Vion.

Dia beralih kepada Vion. Dia masih penasaran bagaimana jalan cerita percintaan Vion. Apakah sama seperti yang sudah ditakdirkan, atau berubah semenjak kehadirannya.

Adeline terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, terlalu sibuk dengan kehidupan Kaivan hingga lupa masih banyak hal yang belum terpecahkan di dunia ini. Walau sebenarnya yang paling dia ingin ketahui adalah Kaivan. Sosok yang begitu mirip dengan Gazza.

"Adeline?" Gadis itu tersentak kaget saat Haidar memanggil namanya. Adeline tersenyum simpul, merasa heran saat semua pria di depannya malah menatapnya khawatir.

"Kamu mikirin apa?" tanya Haidar begitu lembut. Sebuah sikap yang sejak dulu begitu dia harapkan dari kakak-kakaknya, yang dia dapatkan di sini.

"Ada masalah?" Adeline menggeleng sambil tersenyum lebar.

Tanpa aba-aba Adeline memeluk Haidar hingga Haidar terkejut dengan tingkah Adeline yang tiba-tiba. Sama halnya dengan Andrew dan juga Vion yang sejak tadi menatap Adeline penuh tanda tanya.

"Aku sayang kalian semua," lirih Adeline yang masih di dengar oleh ketiga pria di dalam ruangan itu.

"Kami semua lebih sayang kamu," bisik Haidar membalas pelukan Adeline.

"Kalau ada masalah kamu jangan sungkan cerita. Cerita aja sama Andrew, Vion, atau pun kakak. Karena kamu adalah segalanya buat kami bertiga."

Terdengar isak tangis yang membuat ketika pria itu semakin khawatir. Andrew mendekat, dia mengelus rambut panjang Adeline. Vion yang sejak tadi diam pun menggenggam tangan Adeline.

"Makasih," racau Adeline beberapa kali.

"Aku enggak tau gimana hidup aku tanpa kalian bertiga. Aku seneng takdirkan menjadi Adeline, adik kalian bertiga." Haidar, Vion, dan Andrew memilih diam. Mereka paham, seperti Adeline hanya butuh sedikit ketenangan. Dan lebih baik membiarkan Adeline menumpahkan semuanya.

Walau tak paham, Haidar yakin jika tangis Adeline ini hanya tumpahan atas perasaan gadis itu. Perasaan yang mungkin tak benar-benar mereka pahami.

Tbc

Makasih buat yang sudah menunggu.

Jangan lupa vote dan komen 💐

Yuk share ke teman-teman kalian!

I'm Not Zora (Transmigrasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang