🎀🎀
Senjana menatap dirinya dihadapan cermin, seragam sekolah kotak-kotak, rambut kuncir kuda, jam tangan putih dan tas ransel. Dia tidak terlihat seperti anak SMA pada umunya, ini lebih ke seragam sekolah bocah sd.
Teriakan dari luar yang menyebut namanya berkali-kali membuat dia menghela nafas panjang. Ini baru pukul 06.05 sedangkan gerbang sekolah tertutup pukul 07.00 masih banyak waktu yang bisa digunakan. Senjana benci pagi hari, karena dia harus berangkat sekolah, menaiki kendaraan umum yang ramai akan manusia, dan juga bertemu dengan Alam. Meskipun sekolah libur, dia akan tetap bertemu dengan Alam, bukan? Mereka tetangga.
"Senjana!! Aku hitung sampai lima, kalau kamu tidak keluar juga, aku akan berangkat lebih dulu." Alam mengangkat tangannya, bersiap untuk menghitung. "Satu... Dua... Tiga..." Belum mencapai hitungan ketiga, Senjana sudah keluar dari rumahnya.
"Kenapa kamu selalu terburu-buru? Ini masih pagi, Alam. Apa kamu tidak mengerti jam?" oceh Senjana dengan raut wajah lesu. "Aku saja belum minum, tapi kamu sudah mulai menghitung."
"Hari ini aku ada piket jaga gerbang, seharusnya aku berangkat lebih pagi dari ini." Alam mempercepat langkahnya, Senjana tertinggal di belakang. Senjana melupakan bagian paling penting, Alam adalah murid teladan, tidak pernah berangkat melebihi 06.30 Ketua OSIS memang harus mencontohkan yang baik bagi siswa lainnya.
Di ujung jalan, angkutan umum sudah menunggu mereka. Senjana dan Alam berlari, tak ingin membuat semua penumpang di dalamnya kesal hanya karena menunggu mereka berdua. Seperti biasa, Alam masuk lebih dulu, duduk disebelah sopir lalu disusul Senjana yang duduk didekat pintu. Dua belas menit mereka habiskan di perjalanan. Sehabis membayar Senjana bergegas turun begitu juga Alam.
"Tolong letakkan di kelasku, ya." Alam memberikan tas ranselnya pada Senjana, dengan cepat gadis itu menerimanya. Tapi kenapa tas ini begitu berat? Apa yang dia bawa sampai membuat Senjana memeluk erat tas hitam ini.
"Kenapa kamu tidak menaruhnya sendiri, ini berat sekali. Aku juga membawa tas yang beratnya hampir sama denganmu, kalau aku membawa dua tas berat sekaligus nanti pertumbuhan badanku melambat. Aku tidak mau itu terjadi." Senjana mengembalikan tas milik Alam.
"Kamu sudah kecil, tidak akan bertambah kecil. Jadi, jangan khawatirkan tinggi badanmu dan bawakan saja tasku." Alam melempar tas hitamnya pada Senjana, gadis itu sontak menangkapnya.
"Kamu ini minta tolong atau sengaja mengejek aku?! Lagipula aku tidak sekecil itu, tinggi badanku 157 cm dan berat 48 kg." Alam bersedekap dada. Menatap gadis yang tingginya sebanding dengan pundaknya.
"Aku tidak bisa mendengarkan ocehan mu terlalu lama. Jangan lupa untuk menaruhnya!" Alam beranjak meninggalkan Senjana di sisi gerbang.
Alam masuk ke dalam sekolah bergabung dengan OSIS lain, sudah ada tiga anak OSIS yang berjaga. Mereka mengawasi siswa yang tidak mengenakan atribut sekolah dengan lengkap, siswa yang mengenakan kaos kaki di bawah mata kaki, celana maupun rok yang di perketat dan bagi siswa perempuan yang memakai make up berlebih diharuskan menghapusnya saat itu juga. Mereka yang melanggar atau tidak memenuhi tata tertib akan dihukum atau ditindak lanjuti.
Senjana berjalan melewati Alam dan beberapa OSIS lain. Langkahnya tertuju pada kelas Alam yang berada di lantai 2, dia menaiki anak tangga yang tak sedikit jumlahnya kemudian berjalan beberapa langkah lagi untuk sampai. Terlihat papan nama yang terpasang di samping pintu XI MIPA 1. Setelah menyelesaikan tugas dari Alam, gadis itu kembali berjalan ke kelasnya yang berada di lantai 1. Melewati anak tangga, melewati 3 kelas, dan akhirnya langkahnya sampai pada kelasnya Xl MIPA 5.
Jam pertama dan kedua diisi oleh mata pelajaran Matematika peminatan, Pak Oman memberi banyak tugas untuk diselesaikan di rumah dan akan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Kemudian disusul oleh PPKn dua jam. Ibu Ipah yang mengajar PPKn hanya bisa mengisi 1 jam pelajaran karena ada hal mendesak yang membuatnya harus meninggalkan KBM. Beberapa siswa mengambil kesempatan itu untuk mengerjakan tugas dari Pak Oman, dan sisanya pergi menuju kantin tak terkecuali Senjana.
***
Alam menggendong ransel hitam miliknya. Bel pulang sekolah berdering dua menit yang lalu. Dia menuruni tangga, berjalan menuju kelas Senja yang berada di lantai satu. Masih ada lima siswa di dalam kelas, mereka duduk di lantai membentuk sebuah lingkaran. Mereka pasti sedang bergosip. Alam duduk ditempat duduk Senjana, menunggu gadis itu yang masih berada di kantor guru untuk menyerahkan buku tugas. Senjana meninggalkan tas ranselnya di kelas.
Berselang lima menit, Senjana datang napasnya tersengal. Alam menatap Senjana dengan dahi yang berkerut.
"Kenapa? Ada yang mengejarmu?" tanyanya seraya berdiri dari tempat duduk.
"Tidak. Tadi aku ke depan gerbang dan melihat ada satu mobil tersisa, aku bilang pada sopirnya untuk menunggu. Aku tidak mau berjalan jauh ke halte depan. Ayo, cepat Alam." Senjana mengambil ranselnya kemudian berlari cepat keluar kelas. Alam ikut berlari dibelakang Senjana.
Sesampainya di depan, mereka segera menghampiri mobil itu dan masuk ke dalamnya. Alam duduk di jok samping sopir sedangkan Senjana di sebelah pintu. Setelah semuanya sudah masuk, sopir menginjak gas dan kendaraan pun meninggalkan area sekolahan.
Alam dan Senjana berusaha mengatur napas, Senjana bahkan belum menggendong tasnya dengan benar. Keringat mereka meluncur deras disekitar pelipis, beruntungnya Senjana duduk dekat pintu. Ia bisa merasakan angin menerpa wajahnya, menghapus sisa-sisa keringat di pelipisnya. Alam menatap Senjana yang menikmati angin sejuk dari jendela, ingin rasanya bertukar tempat duduk dengan gadis di sebelahnya.
Sehabis membayar mereka turun. Senjana membenarkan posisi tas ranselnya, menatap punggung Alam yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkannya. Laki-laki itu tidak bisa menunggunya untuk semenit saja. Senjana berjalan di belakang Alam, menciptakan jarak antara mereka.
"Besok aku tidak masuk sekolah. Kamu berangkat sendirian saja." Alam berbalik, berjalan mundur sambil menatap Senjana dibelakang. Senjana yang mendengar itu sontak mempercepat langkahnya.
"Kenapa? Kenapa kamu tidak berangkat sekolah?” tanya Senjana dengan alis bertaut.
“Menurutmu?” Alam bertanya balik.
“Tidak mungkin, kan kamu sakit. Kamu terlihat baik-baik saja, wajahmu tidak pucat, suhu badanmu juga normal. Atau jangan-jangan kamu malas pergi ke sekolah?" Senjana menduga-duga, menuturkan semua alasan yang masuk akal.
"Kamu benar-benar ingin tahu alasannya?" Senjana mengangguk, mengiyakan perkataan Alam.
Laki-laki itu mendekatkan wajahnya, badannya membungkuk menyesuaikan tinggi dengan gadis di hadapannya, mengikis jarak antara Senjana dan dirinya. Mulutnya berbisik ditelinga kanan Senjana.
"Karena besok tanggal merah, Senjana."
Alam menyeringai, menatap Senjana yang terdiam dengan raut wajah menahan kesal. Alam kembali menegakkan tubuhnya, beranjak pergi dari hadapan Senjana dengan senyum yang memuaskan. Senjana mengedarkan pandangannya ke bawah, mencari batu yang cocok untuk menyerang laki-laki bernama Alam. Dia mengambil tiga batu kerikil, kemudian melemparnya ke arah Alam yang berjalan santai didepan.
"Alam!!" Laki-laki itu menoleh ke belakang, matanya melotot saat tiga batu kerikil hampir mengenai dirinya. Alam beralih menatap Senjana, gadis itu sudah menyiapkan bebatuan kecil digenggaman tangannya. Melihat hal itu, Alam segera berlari menghindari bahaya. Senjana mengejarnya, tak lupa untuk melempar satu-persatu batu yang ada ditangannya.
Dengan cepat, Alam masuk ke dalam rumahnya. Bersembunyi dari makhluk kecil menyeramkan bernama Senjana. Dia tertawa dibalik pintu rumahnya, teringkat wajah Senjana yang menahan dongkol.
***
Thanks for reading my story 🤗💓
-Gyra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bersamamu.
Fiksi RemajaBercerita tentang dua orang remaja yang beranjak dewasa dengan melengkapi satu sama lain tanpa ada niatan untuk meninggalkan. Tapi, setiap niat akan berubah tergantung dengan keadaannya. Bisakah mereka tetap bersama untuk waktu yang lama? "Aku yang...