CHAPTER 09

158 16 18
                                    

CHAPTER 09

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 09

Aku selalu berusaha tersenyum, namun terkadang, beban di hidupku terasa begitu berat untuk kutahan sendiri.

* * *

Bagaimana perasaanmu saat ingin memulai hari dengan baik, namun malah ada orang terdekatmu yang justru membuatnya menjadi lebih buruk?

Rona ingin merasakan kedamaian kampus seperti biasanya, tanpa beban pikiran. Ia ingin datang dengan keyakinan yang sama seperti sebelumnya, bukan dalam keadaan seperti sekarang-penuh ketakutan.

Namun, Rona memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja. Ia bertekad untuk menampilkan kesan biasa, meskipun di relung hatinya, ia ingin sekali berteriak. Setetes air mata seakan siap melepaskan diri, tidak peduli akan pandangan bingung orang di sekitarnya.

Ia sudah berkali-kali mengusap bibirnya, berharap bekas itu bisa menghilang seolah tidak pernah ada. Rona sangat mengharapkan bahwa setiap kali ia menyeka bibirnya, pikiran yang terus menghantuinya juga akan menguap. Namun, sayangnya, segala upaya itu terasa seperti usaha yang sia-sia karena sekarang Rona terpaksa menghadapi kenyataan bahwa ingatannya tetap kuat.

"Rona?"

Tiba-tiba, suara Seaira memecah keheningan. Rona segera menoleh dengan cepat, menatap wajah Seaira yang penuh rasa ingin tahu.

"Are you okay?" tanya Seaira dengan hati-hati, ekspresinya penuh perhatian. "Dari tadi lo sama sekali gak bicara, Na. Apa ada masalah?"

Apakah tanda-tanda ketidakberesan dalam diri Rona terlihat cukup jelas?

Rona menggeleng dengan tersenyum tipis, "Oke. I'm fine," jawabnya dengan cepat, memberi keyakinan pada temannya. "Lo gak usah khawatir."

Namun, Rona sadar saat ini, ia telah merangkai banyak kebohongan di hadapan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Seaira. Padahal, Rona tahu betul betapa temannya khawatir. Ia juga memahami seberapa besar perhatian yang ditunjukkan Seaira padanya, tetapi dalam diam, Rona juga sedang menipu dirinya sendiri. Seolah-olah, ia mampu mengatasi semua masalah tanpa bantuan.

Seaira menepuk pelan bahu Rona, berkata, "Bagus kalau lo oke-oke aja," suaranya ramah. "Tapi kalo lo butuh temen, gue di sini, Na. Nggak perlu ragu buat cerita. Dan kalau ini memang soal pameran, gue berharap lo nggak kepikiran terlalu keras. Kita harus fokus bikin karya yang lebih hebat daripada sebelumnya, kan kita udah di semester akhir," lanjutnya dengan senyum penuh semangat. "Ingat kan, Na? Pameran itu penting, tapi melawan diri sendiri jauh lebih penting."

Benar, Seaira tahu bahwa Rona memang harus fokus pada tugas kuliahnya. Menjadi mahasiswa akhir tidak bisa membuat mereka santai-santai saja. Rona perlu membuat karya untuk memenuhi syarat kelulusannya nanti.

"So, ini bukan lagi saatnya kita malas. Kita harus buktikan bahwa kita bisa lulus kuliah." Seaira tersenyum sangat lebar. Terkadang Rona merasa iri bagaimana temannya begitu kuat dalam memancarkan pikiran positif, seperti selalu menganggap bahwa dunia ini adalah tempat yang baik. "Oke, Rona?"

Jika Warna Tidak Pernah AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang