CHAPTER 13

82 14 9
                                    

CHAPTER 13

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 13

Ia adalah korban dalam teater kehidupannya sendiri.

* * *

Rona berpikir hari paling menyedihkan dalam hidupnya adalah ketika tidak ada satu pun orang yang mengunjungi lukisannya. Rona berpikir hal paling menyakitkan dalam hidupnya adalah ketika ia menjadi mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah seangkatan. Tetapi semua itu berubah mulai detik ini, hal dan hari yang paling menyakitkan dan menyedihkan di hidup Rona adalah saat ia mengetahui secara langsung bahwa dunia ini ternyata memiliki iblis yang berwujud manusia. Iblis yang juga berwujud sebagai ayahnya.

Cecelia Ahern pernah berkata dalam karyanya berjudul Love, Rosie. Home is not a place, it's a feeling. Juga menurut Rona, rumah tidak berbentuk sebuah bangunan tapi sebuah keyakinan bahwa ia bisa kuat untuk tetap hidup di dunia ini.  Namun bagaimana jika rumah yang dulu menghadirkan keceriaan kini mejadi saksi bisu perubahan yang mengubah segalanya?

Rona yang biasanya sangat ceria. Ia yang biasanya senang berada di rumah sepanjang hari. Menonton televisi, makan, bermain, dan melukis. Kegiatan itu sudah menjadi keseharian Rona selama di rumah. Ia tidak pernah merasa takut untuk berada di tempat paling nyaman dan aman di dunia. Tapi sekarang, semua itu juga berubah, pandangan yang Rona berikan detik ini hanya untuk memperhatikan setiap detail isi rumahnya sangat berbeda.

Perasaan waswas jika bisa Rona ukur sekarang juga sudah mencapai batas tertinggi. Setiap gerakan, langkah kaki, dan bunyi yang tidak Rona duga berhasil membuat cewek itu menoleh cepat. Memastikan tidak ada yang memperhatikan dirinya. Memastikan tidak akan ada lagi yang membuatnya merasa ketakutan.

"Non Rona?"

Namun, panggilan itu menjadi cambuk yang membuat Rona terperosok. Tubuhnya terhempas dengan cepat, merasakan rasa sakit tak terelakkan saat dia berusaha menutupi telinga dan wajahnya sekuat mungkin dengan tangan sendiri.

"Non Rona ada apa?" Suara panik tersebut terus memenuhi udara. "Kenapa Non Rona terlihat ketakutan seperti ini?"

Rona makin menundukkan kepalanya, ketakutan. Ia tidak berani mengangkat wajah. Ia juga sebenarnya tidak berani untuk menunjukkan perbedaan pada dirinya. Tetapi ia sudah terlalu takut untuk memulai pagi ini dengan menjadi baik-baik saja.

"Saya Bi Yani, Non Rona. Saya bukan orang jahat. Kenapa Non jadi ketakutan?"

Ketika nama itu disebutkan, Rona merasa terpaksa untuk mengangkat wajahnya. Mata pembantunya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. Bi Yani dengan sigap membantu Rona berdiri, yang gemetar, berpegangan pada pembantunya. Rona berusaha keras terlihat baik-baik saja, tetapi usahanya sia-sia. Ia tidak mampu.

"Ada apa, Non Rona?"

Rona menatap Bi Yani lagi, matanya memerah. "Mama di mana, Bi?"

"Ada di meja makan, Non Rona."

Jika Warna Tidak Pernah AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang