Putri Salju

9 2 0
                                    

Kabar itu tiba dalam sekejap mata, perempuan dengan dress panjang berwarna putih keemasan tersenyum, ia kemudian segera menyuruh dua utusan yang ada di depannya untuk segera pergi. Waktu eksekusi telah tiba. Bukan eksekusi pembunuhan, tentu saja bukan. Bagaimana cara ia membunuh Sima dan Dirgantara jika keduanya berteman dekat dengan keabadian? Perempuan dengan bola mata setenang samudra, berwarna biru laut, namanya Niscala. Ia dengan santai mengayunkan jari telunjuk kanannya, sebuah portal berwarna biru kehitaman terbentuk. Saatnya mengunjungi kakak ipar kesayangannya.

***

"Apa makanan kesukaanmu, Sima?" Dirgantara bertanya pelan, matanya masih menatap awas ke depan. Sesekali memperhatikan Sima yang duduk di kursi penumpang, tepat di sampingnya.

"Nggak ada yang spesifik, sih. Yang penting nggak ada sayur, jeroan, dan menu yang belum pernah aku coba"

"Jadi kalau aku ajak dinner malam ini, apa kamu mau? Kita akan makan steak di salah satu restoran langganan keluargaku"

Sima mengangguk semangat, matanya berbinar, "boleh, steak ada di nomor lima dalam daftar makanan kesukaanku" lanjutnya.

Dirgantara terkekeh pelan. Sudah diputuskan, bahwa malam ini mereka akan kencan lagi. Mobil sedan hitam miliknya segera berbelok, gerbang rumah Sima sudah terbuka sejak tadi. Tentu saja, pengawal, bodyguard, dan koordinator keamanan nomor satu Sima yang membukakannya, tidak lain dan tidak bukan adalah Mas Nawa. Mobil hitam itu berhenti, Dirgantara turun, tangannya melambai pelan ke arah Mas Nawa, ia berjalan menuju pintu di sisi lain mobil, kemudian membukanya untuk Sima. "Padahal bisa ku buka sendiri, Mas" ujar Sima.

Mas Nawa menggeleng, "berat, Dek. Buka pagar rumah itu pekerjaan laki-laki. Selama ada Mas di rumah, akan selalu Mas buka kan, kamu tinggal parkir aja, simpel".

Sima mendengus pelan, tidak ada yang bisa diperdebatkan lagi.

"Kalau begitu, aku pamit dulu, Nawa. Nanti malam, aku izin bawa Sima pergi dinner, ku jemput jam setengah tujuh" ujar Dirgantara.

Mas Nawa mengangguk, "eh tunggu sebentar, Mas hampir lupa. Dek, di dalam ada teman SMA mu, katanya sih teman yang udah lama pindah, coba sapa dulu deh".

Sima ikut mengangguk, ia berjalan santai ke dalam rumah. Tapi betapa terkejutnya ia begitu tiba di sana. Sosok perempuan tinggi dengan bola mata biru laut menyambutnya, wajah yang bahkan belum pernah ia kenali sebelumnya. Sima menggaruk kepalanya yang tidak gatal, siapa gerangan perempuan ini. Ia segera mengaktifkan kemampuan telepatinya, mengontak Dirgantara melalui ikatan batin. Dirgantara yang mendapat sinyal darinya segera berjalan masuk, dan untuk kedua kalinya, sama seperti Sima, ia pun terkejut. Namun ia mengenali sosok perempuan tinggi yang ada di depannya itu, "Niscala" ucapanya kemudian. Sima menoleh, Dirgantara mengenali perempuan ini?

"Hallo, kak" perempuan yang dipanggil Niscala itu tersenyum ke arah Dirgantara.

"Ada perlu apa?"

"Memang, aku nggak boleh ucapin selamat ke kalian berdua?" Niscala bicara santai, matanya tajam menatap Sima, kemudian BOOM! Bola penghenti waktu diluncurkan, bukan Sima yang melakukannya, bukan juga Niscala maupun Dirgantara yang bahkan tidak memiliki kemampuan itu, yang mengaktifkan kemampuan itu adalah Mas Nawa. Sosok kakak laki-laki kesayangan Sima itu memiliki kekuatan, membuat mulut tiga orang yang berada di ruang tamu menganga, "aku tahu kalau ada yang nggak beres dari kamu, waktu kamu datang pun, CCTV nggak bisa menangkap kehadiranmu" Mas Nawa membuka percakapan. "Ah, maaf Sima. Sudah lama aku punya kemampuan ini. Tapi tidak kunjung aktif. Mereka bilang, kemampuan ku hanya akan kembali, jika memorimu sudah pulih sembilan puluh persen" lanjutnya. Glek! Sima menelan air liurnya.

REDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang