"Kamu serius, gak nolak?"
Masih menatap sebuah foto berpotretkan seorang gadis berhijab yang kini di tangannya itu ia dilayangkan sebuah pertanyaan. Hingga akhirnya ia pun menaruh foto tersebut di atas ranjangnya dengan posisi terbalik sehingga tak menampakkan lagi potret sosok itu.
"Ya. Terserah kalian aja, lah. Lagian Rony pernah putusin keputusan sendiri, malah gagal."
"Nah, itu kamu tahu. Kalo pilihan Mama sama Papa itu, pasti gak akan gagal. Mama jamin."
"Semoga."
"Lesu gitu. Yang semangat, dong."
"Rony cuman trauma aja sama yang namanya wanita. Mama ngerti, kan?"
"Iya, mama ngerti, kok. Onynya Mama jangan lesu gitu, dong.""Ma, jangan panggil aku kayak gitu, ah. Kayak ke anak kecil aja."
"Gak papa, kali. Suka-suka Mama. Lagian itu tuh panggilan kesayangan Mama tahu."
"Udah gak cocok lagi, Mama sayang... Udah, ah. Rony mau ngampus dulu, ya."
Setelah berucap demikian dan mencium punggung tangan sang Mama, lelaki yang sempat tak terima dengan sebutan Ony ini akhirnya beranjak dan langsung melenggang pergi. Sang Mama hanya memandang dengan tatapan pemaklumannya. Ia rasa sangat begitu wajar jika rasa trauma akan cinta itu masih membekas. Tapi ia juga yakin, putranya kesayangannya ini pasti akan segera sembuh dengan kehadiran gadis pilihannya dengan sang suami.
Sementara itu di tempat lain, dari atap yang terpisahkan dengan jarak yang cukup jauh, nampak pula satu lagi sepasang anak dan sang ibunda. Bedanya, kali ini sang ibunda tengah dengan anak perempuannya. Terdengar sebuah percakapan bergaya santai namun agaknya cukup serius bagi sang ibu. Meski tak begitu serius bagi putrinya ini.
"Mentang-mentang mau lulus, langsung aja cariin jodoh. Gak ada yang nyuruh, Bu."
Dengan santainya gadis berkacamata ini berucap sembari ia mengikatkan tali sepatu bagian kaki kanannya. Ia tak marah dengan ucapan sang Ibu, namun ia tak begitu menggubris pula karena ia tak peduli dengan yang namanya lelaki. Menurutnya bagaimana pun sang Ibu berusaha mendekatkannya dengan seorang lelaki, pasti pada ujungnya ia selalu membuat lelaki itu pergi juga dengan segala tingkah konyolnya.
"Ya emang... tapi gak ada salahnya, dong. Ibu bantu cariin. Kali ini aja."
"Udah berkali-kali. Lagian siapa sih, yang mau sama cewek nyablak kayak aku, Bu. Pada takut tuh cowok-cowok..."
Terlihat gaya berpakaiannya memang tak ada bau-bau feminim sama sekali. Apalagi gaya bicaranya.
"Kan bisa diubah sikap dan penampilannya. Karena sebenernya kamu itu cantik."
"Semua anak kalo kata emaknya pasti cantik lah, Bu."
"Eh, ibu seriusan ini."
"Gak ah, gak ada serius-seriusnya. Dah, Bu. Salma pasti bakal telat kalo terus-terusan ladenin omongan Ibu. Salma pamit, ya."
Gadis ini pun menarik tangan kanan sang Ibu kemudian mencium punggung tangannya.
"Assalamualaikum!" Ucapnya seraya melenggang pergi.
"Walaikumsalam." Sahut wanita ini.
Gadis semata wayangnya itu benar-benar telah hilang dari pandangannya. Nampak senyum tipis terulas di wajah sang Ibu. Ia ini ibuhya, ia tahu betul apa yang pasti akan membuatnya berubah feminim.
"Walau gayanya kayak laki, pasti kalo jatuh cinta bakal dandan terus. Gimana aja ibunya dulu. Hihi."
Lantas, siapakah yang akan berhasil membuat Salma jatuh cinta? Apa lelaki yang telah dipilih oleh ibunya itu? Atau mungkin justru malah lelaki lain? Entahlah. Biarkan waktu yang menjawab semua pertanyaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cincin untuk Salma
FanfictionTerlalu cuek, terlalu masa bodo. Ya begitulah Rony. Tapi bisa dimaklumi, ia sudah begitu terbebani dengan lelahnya menghadapi kegagalan cinta. Salah sendiri, selalu salah pilih. Kali ini pilihan mereka ia setujui, sebegitu lelahnya ia dengan seribu...