"Pa, ayo cerita."
Pria ini terdiam sejenak. Pasalnya ia teringat moment tak terlupakan itu. Momen dimana ia harus menyaksikan sendiri sahabatnya tumbang hingga harus kehilangan nyawanya.
"Rony, sebenarnya Papa itu adalah salah satu nggota dari intelegen kepolisian. Papa rahasiakan ini karena memang sudah seharusnya agar tugas ini tanpa diketahui siapapun."
"Kalo sampe rahasiain ke anaknya juga enggak lagi, Pa."
"Papa cuman takut kalo kamu bakal gak bisa jaga rahasia ini."
"Hh, Rony bukan anak kecil lagi yang bakal cerita apapun ke temen Rony, Pa. Gak usah sampe segitunya juga, kali. Dan itu, seragam itu?"
"Itu milik Bapaknya Salma."
"Jadi, Papanya Salma juga..."
"Ya, dia satu anggota dengan Papa. Dan dia gugur dalam tugasnya."
Ya, sejak tadi Rony juga terfokuskan perhatiannya pada satu kelengkapan seragam tugas lapangan yang terpanjang tak jauh darinya. Sebuah name-tage yang cukup jelas membuat ia tahu siapa pemiliknya. Hingga sang Mama pun menghampiri putranya ini. Kali ini ia yang hendak bicara.
"Rony, sepertinya kamu patut tahu juga alasan yang sebenarnya mengapa Papamu ini begitu ingin kamu bersama Salma." Tutur sang Mama.
"Ron, di detik-detik kematian Bapaknya Salma, dia bicara sama Papa. Dia titipkan putri kesayangannya agar tak ada siapapun yang berani menyakiti dan mengusik hidupnya. Papa tahu, Papa takkan mungkin bisa selamanya mengawasi gadis itu. Oleh sebab itu Papa mau kalo kamu jadi pendamping hidup Salma, agar kamu bisa menjaga dia."
Rony mematung, rupanya ini alasan yang sebenarnya. Ia pikir perjodohan ini hanya sebatas perjodohan karena mereka bersahabat saja. Rupanya ada arti yang mendalam di balik perjodohan itu.
"Rony, kamu janji kan, bisa jaga rahasia ini."
Anggukan pun Rony beri. Namun yang kini mendominasi pikiranmya bukanlah soal status sang ayah yang terkuak, melainkan tentang malangnya seorang Salma yang ternyata harus kehilangan sosok ayah dengan cara yang tragis.
...
"Hhh, abis cek tuh barang pecah, malah ngilang. Udah dua jam gue nungguin, masih belum call ulang."
Salma menggerutu sendiri. Sesekali ia masih mengecek apakah ponselnya menyala lagi. Padahal tak perlu mengecek seintens itu. Bukankah apabila ada yang menghubungi, ponselnya itu akan berbunyi. Ia tak mengubah pengaturan panggilannya itu ke mode senyap, bukan?
"Wait."
Ia berucap singkat kemudian mematung sejenak.
"Ih, apaan. Ini gue lagi nungguin dia gitu? Enggak, enggak! Stop! Lo mulai gak beres, Sal. Sejak kapan lo candu ditelpon sama tuh orang."
Konyol memang. Malah ia memaki sendiri dirinya yang tanpa ia sadar telah begitu menunggu seorang Rony itu. Padahal sesungguhnya apabila kita berada di fase mengharapkan, itu artinya telah masuklah suatu perasaan.
'Drrt... drrt...'
Tak lama kemudian ponselnya itu bergetar. Dengan antusias ia meraihnya kemudian menatap nama yang tertera di layar ponsel tersebut. Tetap saja, ia tak memungkiri jika ia ini begitu bahagia Rony menghubunginya lagi.
"I-iya, hallo, Ron."
"Buka pintunya bisa? Ada bel tapi kok, rusak. Kaga bunyi ini belnya."
"Hah?"
"Hah hoh, hah hoh. Gue di depan."
"Di depan? Ngapain?"
"Mau ketemu lo, lah. Gak boleh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cincin untuk Salma
FanfictionTerlalu cuek, terlalu masa bodo. Ya begitulah Rony. Tapi bisa dimaklumi, ia sudah begitu terbebani dengan lelahnya menghadapi kegagalan cinta. Salah sendiri, selalu salah pilih. Kali ini pilihan mereka ia setujui, sebegitu lelahnya ia dengan seribu...