"Ya kalo misal kamu lebih suka sama Alvin, Ibu gak papa, kok. Kan itu pilihan kamu. Tapi sih, kalo Ibu boleh kasih saran, mending sama Rony aja."
"Hhh, iya, lah. Ibu mah pasti lebih dukung aku sama Rony. Orang kalian jodoh-jodohin aku dari awal."
"Ya terus, kamu sukanya sama siapa, dong?"
"Ya kalo Alvin udah jelas gak suka!"
"Nah tuh, itu kamu udah nemu jawabannya. Berarti Rony jawabannya, kan?"
"Ya sama Rony belum begitu yakin juga lah, Bu."
"Loh, terus sama siapa...?"
"Gak mau pilih dulu bisa gak sih, Bu?"
"Bisa-bisa aja, sih."
"Tapi kayaknya mereka udah nyiapin cincin, lagi."
"Oh berarti gak bisa itu, harus kasih jawaban yang pasti. Biar salah satunya berhenti. Kasihan kalo disuruh nunggu apalagi dikasih harapan palsu."
Salma terdiam. Memang benar apa yang diucapkan sang Ibu. Lagi pula mana mungkin pula ia bisa tenang jika disetiap harinya dihantui oleh dua hati yang menunggu kepastiannya itu. Helaan nafas berat pun ia hembuskan. Di sisi lain ia juga masih bimbang harus melontarkan jawaban apa di malam nanti. Ia tak bisa terang-terangan memberikan penolakan pada salah satunya dengan alasan menjaga perasaan, namun pada yang hendak dijadikan pilihannya, ia juga merasa belum begitu ingin menseriuskan. Terlalu dini untuk hal itu.
"Sebingung itu sampe kamu bengong terbengong-bengong. Yaudah, Ibu tinggal dulu, deh. Kalo berangkat jangan lupa pamit, ya."
Setelah berucap demikian wanita tersebut pun beranjak dari duduknya kemudian hengkang dari kamar sang putri. Tinggalah Salma yang terduduk disana. Hingga tak lama kemudian beberapa saat setelah sang Ibu hilang dari pandangan, Salma turut beranjak. Ia hampiri cermin besar yang tak jauh dari hadapannya kemudian terdiam disana. Ia tatap pantulan dirinya yang menunjukan mimik kebimbangan itu. Dan lagi, hembusan nafas berat kembali tercipta setelahnya.
...
Lelaki ini nampak menatap pantulan diri pada cermin besar di hadapannya. Hingga sebuah kotak kecil yang sejak tadi menemaninya itu kini mendapat giliran menjadi pusat titik perhatian. Kotak merah yang berisikan benda kecil melingkar dengan mata berlian menawan itu kemudian ia tutup. Entah apa yang ada dalam pikirannya yang membuat mematung sehebat itu tanpa membuah sepatah kata pun. Dan hanya dalam batin ia berucap.
"Baru aja aku hampir lupa dengan tujuanku untuk tetap hidup, Pa. Aku hampir teralihkan oleh cinta kepada gadis itu. Tapi rupanya ada clue yang gak terduga yang baru saja aku dapat. Lelaki itu, apa dia ada hubungannya sama kematian Papa? Jaket yang persis yang dikenakan pria perenggut nyawa Papa malam itu."
Batinnya bertutur sembari menatap penuh kotak merah di tangannya. Kotak kecil tersebut pun kini ia genggam dengan begitu eratnya. Terlihat jelas tatapan amarah yang tercipta di kedua bola matanya. Hingga tertayangkan kembali sekilas di ingatannya malam yang menyedihkan itu. Malam dimana ia harus rela melepaskan sang ayah untuk selama-lamanya.
'Klek'
Perhatiannya seketika teralihkan ketika pintu toilet tempat ia berada itu tiba-tiba terbuka. Bukan tanpa alasan, ada seorang lagi yang memasukinya. Ia pun menoleh. Si pembuka pintu juga nampak tertegun tatkala menyadari siapa yang lebih dulu ada di dalam.
"Aih, elo, Vin. kenapa ada lo juga di nih toilet. Yaudah, gue gak jadi."
"Tunggu."
Ucapan Alvin membuat lelaki tersebut, Rony, seketika terhenti hingga berbalik kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cincin untuk Salma
FanfictionTerlalu cuek, terlalu masa bodo. Ya begitulah Rony. Tapi bisa dimaklumi, ia sudah begitu terbebani dengan lelahnya menghadapi kegagalan cinta. Salah sendiri, selalu salah pilih. Kali ini pilihan mereka ia setujui, sebegitu lelahnya ia dengan seribu...