Chapter 18

75 5 0
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan itu, kondisi Enola menjadi lebih buruk. Suhu tubuhnya meninggi dimalam hari, dia bahkan harus di rawat dirumah sakit karena pingsan berkali-kali. Rishdan yang melihat kondisi istrinya yang memprihatinkan mencoba memikirkan suatu penyebab yang membuat kondisi mentalnya terganggu.

Sebelumnya, Enola pernah mengalami hal yang sama dimasa lalu. Butuh waktu berbulan bahkan bertahun untuk memulihkannya. Dia mengalami kondisi yang buruk karena mantan suaminya. Tapi saat ini, entah apa penyebab Enola kembali dengan kondisi yang sama. Rishdan ingin tahu penyebabnya, namun kondisi Enola saat ini tidak memungkinkan untuk diajak bekerjasama.

Rishdan memijat ruang di antara alisnya dengan sakit. Dia tidak ingin Enola kembali ke masa-masa terpuruknya hanya karena trauma dimasa lalu. Dia sudah sangat bekerja keras beberapa tahun yang lalu untuk membantu istrinya itu pulih.

"Papa," tubuh Rishdan tersentak dari lamunan ketika suara kecil itu memanggil. Dia menoleh ke arah pintu, melihat Arsy berdiri di ambang pintu sembari memeluk boneka kucing kesayangannya.

"Arsy, ada apa, nak?" Rishdan menghampirinya dan berlutut untuk menyamakan tinggi dengan putrinya. "Kenapa belum tidur?"

Bola mata jernih itu menatap Rishdan dengan polos. Rishdan memandanginya, menunggu putri kecilnya berbicara. Namun semakin Rishdan memperhatikan wajah Arsy, samar-samar semakin jelas pula profil wajah Magan pada gadis ini. Rishdan tersentak, buru-buru memalingkan wajahnya kesamping.

Saat Rishdan menikahi Enola, Arsy baru berusia satu tahun setengah. Dia dan Enola merawat Arsy dengan kasih sayang yang berlimpah, membagi cintanya sama rata kepada anak tirinya meskipun ia tahu bahwa anak yang Enola kandung saat itu adalah anak dari mantan suaminya. Rishdan telah menerima Arsy sebagai bagian dari hidupnya, tidak ada perbedaan. Namun setelah tahu masa lalu Magan, Rishdan tak dapat membohongi dirinya sendiri. Setiap kali melihat Arsy, dia akan melihat wajah laki-laki itu sekilas sehingga kebencian yang ia rasakan terhadap Magan membuatnya perlahan-lahan merasa sedikit tidak senang. Rishdan berkali-kali menekan kebencian itu terhadap putrinya, dia tidak ingin kebencinya terhadapad Magan membuatnya membenci gadis kecil yang tidak berdosa.

"Bunda," satu kata yang lolos dari mulut Arsy menyadarkan Rishdan dari lamunan. Kedua sudut bibirnya terangkat, dengan lembut membelai kepala putrinya sembari menjelaskan.

"Maaf, sayang. Bunda sedang tidur dan tidak boleh diganggu."

"Bunda tidur lama sekali." Protesnya tidak senang.

Rishdan mengangguk, "Bunda lelah dan Bunda tidur lama. Sebaiknya Arsy juga tidur, ayo, Papa antarkan ke kamar."

Dia mengandeng tangan Arsy dan membawa gadis itu ke kamar tidurnya dan Rusha. Saat itu pintu kamar Arsy terbuka, begitu Rishdan dan Arsy masuk, dia melihat Bu Rana sedang mondar-mandir disamping ranjang dengan perasaan cemas.

"Bu, ada apa?" Tanya Rishdan menghampirinya.

Bu Rana berbalik, matanya turun menatap Arsy. Seketika wajah cemasnya mengendur, ia menghela napas leta dan berlutut di depan Arsy, mengusap kepala gadis itu bersyukur. Dahi Rishdan mengernyit, dengan penuh keheranan bertanya, "Kenapa Ibu ada di sini?"

Bu Rana mendongak, dia berdiri tegak dan menjelaskan. "Ibu hanya ingin mengecek keadaan anak-anak. Pintu kamar mereka terbuka saat Ibu datang, namun Rusha tidak ada disana sehingga Ibu merasa sedikit cemas."

"Dia ke tempat kerja saya, Bu. Jangan khawatir." Ujarnya sembari mengelus rambut putrinya lembut.

Bu Rana mengangguk, "Iya, Ibu lega. Sayang, ayo tidur bersama Nenek."

Arsy melepaskan tangan Rishdan, mengandeng tangan Bu Rana dan naik ke tempat tidur. Rishdan undur diri saat melihat Arsy dengan patuh membaringkan diri di samping tubuh sang adik. Rishdan kembali ke kamar utama, pintu kamarnya sedikit terbuka, sengaja tidak ia tutup rapat kalau-kalau ia mendengar teriakan Enola.

Lampu di ruangan itu menampilkan cahaya kekuningan yang remang-remang. Enola tertidur nyenyak dengan tiang infus di samping tempat tidur. Rishdan menjatuhkan bokongnya disisi ranjang, dia menggenggam tangan sang istri dan mengelusnya dengan sayang. Dia tidak tahu apakah Enola sedang tidur atau dia pingsan lagi dalam tidurnya. Tapi saat itu napas Enola teratur seolah-olah ia tertidur.

"Mas tidak tahu apa yang terjadi padamu saat ini. Kondisi tubuhmu kembali seperti saat di tahun-tahun itu, membuat Mas sangat mengkhawatirkan keadaanmu." Rishdan menempelkan bibirnya di punggung tanhan Enola, mengecupnya dengan lembut. "Mas tidak ingin mencurigaimu, sayang, tapi entah mengapa rasanya seperti kalian kembali bertemu dan kondisimu saat ini adalah penyebab dari pertemuan kalian."

Meski Rishdan sedikit curiga dengan pemikiran itu, tetapi dia memilih untuk tidak ingin terlalu menghiraukannya. Lagipula akhir-akhir ini Enola lebih sering bermimpi buruk, mungkin saja mimpi tersebut yang menyebabkan ia terpengaruh dan kembali menderita trauma tentang masa lalu.

***

Magan duduk disisi ranjang dengan kedua tangan tergepal erat diatas lututnya. Urat didahinya menonjol, lehernya menegang untuk waktu yang lama. Giginya bergemeletuk keras dan bergema di ruangan ini.

Pertemuannya dan Enola saat itu terngiang-ngiang dikepalanya. Dia nyaris menangkap perempuan itu jika saja Enola tidak kabur. Karena Enola sudah ditemukan, sekarang waktunya ia berganti rencana. Walau bagaimanapun Enola harus kembali padanya, dia tidak ingin lagi kehilangan Enola untuk kedua kalinya. Sudah cukup baginya membebaskan Enola selama bertahun-tahun, sekarang waktunya Enola untuk kembali ke dalam pelukannya.

Klontang! Klontang!

Suara gembok yang sedang berusaha dibuka dari luar membuat lamunan Magan buyar. Laki-laki itu menolehkan kepalanya, pintu besi terbuka dengan perlahan. Magan turun dari ranjang hendak menyambut kedatangan Theo. Namun langkahnya tersendat setelah dua langkah berjalan ketika sosok yang mengenakan hoodie hitam, topi dan masker berjalan masuk kedalam. Petugas menutupnya kembali dan menunggu diluar seperti biasa.

Magan memandangi sosok itu dengan kening berkerut. Selain Theo, tidak ada yang pernah mengunjunginya. Sosok yang berdiri disana berperawakan tinggi, meski dia memakai hoodie, namun tubuh kekarnya masih terbentuk dari luar. Dia melangkah maju mendekati Magan. Suara sepatu vansnya bergema di dalam ruangan sebelum akhirnya berhenti tepat didepan Magan.

"Siapa kamu?"

Ruangan menjadi hening saat tak ada balasan dari pertanyaan Magan. Laki-laki yang berdiri didepannya terbungkam cukup lama sebelum akhirnya menurunkan tudung dan topi, serta maskernya secara bertahap. Magan memandanginya dengan mata menyipit selama beberapa detik sebelum akhirnya menyadari sosok yang berdiri di hadapannya, mata terbuka lebar karena terkejut.

Kembalikan Cintaku [Book 2] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang