Chapter 27

76 6 0
                                    

Udara segar dan embusan angin lembut menyentuh wajah putih mulus Enola saat dia memasuki halaman belakang. Sebuah taman yang dipenuhi dengan berbagai jenis bunga mekar. Berjejer disepanjang jalan setapak yang terhampar di rerumputan hijau. Harumnya bunga mengisi udara, bercampur dengan semilir angin yang memberi sensasi ketenangan.

Beberapa kursi dan sebuah meja kayu ditempatkan dibawah pepohonan rimbun yang menjulang tinggi. Memberi perlindungan dari sinar matahari yang terik. Enola berjalan kesana dan duduk diatas kursi. Tidak menyangka akan menemukan halaman seluas dan seindah ini ketika dia berkeliling.

Sudah tiga hari berlalu. Enola masih belum menemukan waktu yang tepat untuk kabur. Juga tidak ada jalan di halaman belakang, seperti kata Andreas dibelakang rumah mereka adalah hutan. Jika Enola kabur, bisa saja dia pergi. Tetapi di ujung hutan, mereka akan menemukan tebing dimana dibawahnya terdapat lautan yang luas tanpa akhir.

Enola tidak mungkin membahayakan keselamatan putri mereka.

"Nyonya, saya membawakan camilan untuk anda." Andreas menghampirinya dengan sebuah nampan yang berisi cokelat panas dan piring beberapa kue dan cookies yang baru saja keluar dari oven.

Aromanya bercampur dengan kesegaran udara, membuat hidung Enola berkedut.

"Menyenangkan duduk disini sambil menikmati udara segar." Andreas meletakkan nampan diatas meja. Dia berdiri disana berharap Enola mengatakan sesuatu, namun perempuan itu hanya diam bahkan memalingkan wajahnya kesamping dengan acuh.

"Kenapa kamu tidak pergi?"

Andreas sudah hendak undur diri saat Enola diam. Tapi saat dia baru saja mengambil dua langkah pertama, Enola menghentikan langkahnya dengan pertanyaan itu. Dia berbalik, dahinya mengernyit.

Enola mengangkat pandangan dan beradu tatap dengan Andreas. "Kenapa kamu masih disini bersama dia? Bukannya semua pekerja dirumah itu telah di usir pergi?"

Mata Andreas berkedip ketika dia menyadari kemana arah pembicaraan Enola. Kedua sudutnya terangkat naik, dia terkekeh pelan sebelum memasukkan kedua tangannya kedalam saku jeans.

"Bagaimana anda tahu kalau semua pekerja di usir pergi setelah kepergian anda, nyonya?" tanyanya dengan nada sedikit jahil.

Enola tersedak. Dia terlalu gegabah saat bertanya tanpa memperhatikan situasi. Pastinya semua orang dirumah itu tahu kalau Enola tidak akan pernah ingin tahu apapun tentang Magan dan rumah itu setelah kepergiannya. Bodoh.

Dia merasa kikuk dengan situasi, namun masih berpura-pura untuk bersikap acuh. Enola tidak bisa mempercayai siapapun dirumah ini termasuk Andreas.

Sebelah sudut bibir Andreas terangkat. Laki-laki itu memandangi hamparan hutan sejauh mata memandang dengan sedikit menyipit. Sinar matahari membuatnya silau.

"Dia tidak punya siapa-siapa." Lanjut Andreas. Kini Enola menoleh untuk mendengar ceritanya dengan seksama. "Anda tahu, 'kan dia tidak punya siapa-siapa. Orang tua, keluarga, saudara, teman, termasuk istri. Jika tidak ada siapa-siapa disampingnya, siapa yang akan menjaganya?"

Sejak awal Magan memang tidak berbohong kepadanya tentang '"tidak punya siapa-siapa" dalam artian yang sebenarnya. Dia hidup sebatang kara, tinggal bersama para pekerja dan menjalankan bisnis seorang diri hingga menjadi sukses. Sulit. Tapi Magan berhasil.

"Jadi kamu datang dengan sukarela?" komentar Enola.

"Saya melakukan tugas dengan baik."

"Menerima permintaan konyolnya juga menjadi tugasmu?" Enola menyipitkan mata, menatap lawan bicaranya tanpa gentar menekannya. "Inikah tugasmu yang sebenarnya, membantu dia kabur dari rumah sakit jiwa lalu menculik putriku dan aku untuk dibawakan kepadanya, apakah itu juga termasuk tugasmu? Andreas, saya benar-benar ingin bertanya. Apa yang dia berikan untukmu sebagai balasan atas semua hasil kerja kerasmu selama ini?"

Ekspresi Andreas seketika berubah muram, ada sedikit ketegangan dan juga kemarahan yang tak bisa ia lampiaskan setelah mendengar penghinaan itu. Enola telah memperhatikan raut wajah Andreas yang berubah-ubah, namun dia tidak mengerti apa yang menjadi tujuan dari laki-laki itu sendiri. Tidak mungkin dia melakukan semua tanpa mengharapkan balasan yang setimpal, 'kan?

"Andreas, itu bukan sesuatu yang mudah, 'kan? Setelah apa yang kamu lakukan, kamu tidak mengharapkan imbalan yang besar, 'kan?" Dia memprovokasi. Berharap Andreas akan membuka mulutnya dan membiarkan kebenaran itu terungkap. Dengan begitu, dia mungkin bisa menekan pemuda itu dan keluar dari tempat ini.

"Saya tidak mengharapkan apa--"

"Ternyata kamu disini?"

Kata-kata Andreas terpotong saat Magan berteriak diambang pintu yang membuat dua orang itu menoleh secara spontan.

"Andreas, apa yang sedang kamu lakukan?" Magan menghampiri tanpa melepaskan tatapan tajamnya dari Andreas.

"Saya hanya mengantarkan camilan untuk nyonya, tuan."

"Pergilah ke kamar putriku dan ajak dia bermain." Perintah Magan. Andreas membungkuk sedikit sebelum bergegas meninggalkan tempat itu.

Magan tersenyum lembut. Dia mengambil tempat disamping Enola, meletakkan tangannya diatas sandaran dengan santai. "Bagaimana, kamu suka, 'kan tinggal disini? Tempat ini salah satu rumah yang dibeli Andreas beberapa tahun yang lalu. Dia telah merawat rumah ini dan berharap akan tinggal ditempat ini setelah tua nanti."

"Kenapa kamu disini?" Enola mengalihkan topik.

"Pertanyaan apa itu? Tentu saja karena kamu ada disini. Aku sudah mencarimu di setiap sudut rumah, tapi aku tidak menemukanmu."

Enola menatapnya seolah menjelaskan bahwa dia tidak menginginkan jawaban yang itu, melainkan jawaban yang lain.

"Ingin tahu?" Magan juga merasa Enola tidak ingin dia menjawabnya seperti itu dan berusaha menggodanya dengan pertanyaan seperti itu. "Baiklah, aku akan menjawab. Pekerjaanku sudah selesai, sekarang aku punya banyak waktu untuk menemanimu dan putri kita bermain, hm?"

Mendengar kata "bermain," ide pertamanya tiba-tiba terlintas. Inilah saat yang tepat untuk membujuk Magan.

"Ke-kemana?"

"Hm?" kepala Magan miring ketika dia juga kebingungan dengan pertanyaan Enola.

"Kemana kamu akan membawa kami pergi bermain?"

"Apa maksudmu? Kita tidak keluar. Kita nikmati saja tempat ini. Lagipula bukankah taman dihalaman belakang cukup bagus? Mungkin saat Arsy sedikit lebih besar lagi, aku akan membuatkan rumah pohon untuknya."

"Kamu ingin kami tinggal disini selamanya?" pekik Enola kaget. "Kamu ingin mengurung kami ditempat terpencil ini? Apa menurutmu kami akan bahagia?"

"Aku tidak bisa membawamu keluar, Nola."

"Kenapa?"

Magan menatap matanya dengan serius, lalu berkata, "Kamu tahu jawabannya."

Enola teringat pada misi pertamanya terbebas. Dia kabur saat Magan membawanya "Keluar untuk bermain." Sehingga Magan kehilangan Enola selama beberapa tahun. Tentu saja Magan tidak bodoh untuk mengulangi kesalahan yang sama.

"Jangan pernah berani-beraninya melarikan diri lagi dariku. Ingat, jika itu terjadi, bukan hanya aku, tapi kamu dan putri kita, kita bertiga akan pergi ke akhirat."

Mata Enola membesar. Seluruh tubuhnya merinding. Dia menatap Magan dengan ekspresi ketakutan. Perkataan Magan adalah pisau, jika dia mengatakannya seperti itu maka tidak ada jalan lain untuk bertahan hidup. Dia sepertinya memang butuh perawatan medis lebih lanjut, mengapa Andreas malah membantunya kabur dari rumah sakit jiwa?

"Kamu gila, Magan." Gumam Enola pelan namun Magan masih bisa mendengarnya. Dia hanya tersenyum dan bergegas menyusul Enola yang buru-buru pergi meninggalkan Magan.

***

Kembalikan Cintaku [Book 2] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang