Chapter 23

54 4 0
                                    

"Bu, kami akan berlibur ke luar kota lusa nanti." Beritahu Enola pada sang Ibu yang duduk disamping kursinya.

Mereka duduk di teras, sambil memperhatikan anak-anaknya bermain di halaman bersama bibi. Tertawa dengan gembira, melempar dan menendang bola karet sambil tertawa puas.

"Kalau begitu tinggalkan saja anak-anak sama Ibu. Pergilah bersama nak Rishdan." Pikir sang ibu, Enola dan Rishdan akan berlibur berdua. Melihat bagaimana keadaan Enola beberapa waktu lalu, Enola pasti butuh waktu untuk memenangkan diri. Jadi bu Rana hanya mengangguk dan setuju.

"Nola dan Mas Rishdan akan membawa anak-anak berlibur." Enola memperjelas bahwa dia, sang suami dan ke empat anaknya akan berlibur bersama.

"Bibi ikut?" tanya bu Rana lagi.

Enola menggelengkan kepalanya pelan. "Kami akan pergi berenam. Lagipula Nola belum pernah berlibur dengan mereka selama kami menikah. Kali ini, Nola akan pergi untuk berlibur dan membawa anak-anak bermain."

"Apa kamu yakin?" Bu Rana bertanya sedikit tidak yakin. "Apa kamu dan Rishdan tidak akan kewalahan menjaga mereka semua?"

Sudut bibir ditarik ke atas, perempuan berhijab itu tersenyum ke arah sang Ibu sambil menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Ibu tidak perlu khawatir, anak-anak cukup menurut, mereka tidak akan bikin aku dan Mas Rishdan kewalahan."

"Kalau kamu bilang begitu, ya sudah. Ibu tidak akan bilang apa-apa. Ibu akan membantu kamu menyiapkan barang-barang mereka."

"Kapan Kak Tiwi pulang, bu?" tanya Enola mengubah topik.

Dia dan Tiwi jarang sekali bertemu di karenakan perempuan itu telah memantapkan hatinya untuk tinggal bersama sang suami diluar kota. Sesekali akan mampir ke kota ini hanya untuk melihat Ibu dan Ayah, tapi tidak mendapat kesempatan untuk bertemu sang adik.

"Bulan depan, mungkin. Masih dalam perencanaan."

"Nola jarang sekali punya waktu ngobrol berdua dengan kak Tiwi di telfon. Di tambah lagi sekarang kak Tiwi jarang punya waktu untuk telpon-telponan sama Nola." Adunya.

"Maklumkan saja, kakakmu itu sibuk dengan pekerjaannya, belum lagi mengurus Aneesa, waktunya saja jarang ia gunakan untuk beristirahat. Kadang-kadang dia sampai harus mencari celah waktu untuk menelpon ibu."

Enola mengangguk, berusaha untuk mengerti bagaimana sibuknya Tiwi setelah menikah. Lagipula mereka masih bisa bertemu kapan-kapan, 'kan?

"Bundaaaa!"

Enola maupun Rana dengan kompak menoleh saat salah satu putra kembarnya berteriak dari gerbang yang sedikit terbuka.

"Jangan keluar Rishad, main di dalam saja." Peringat Enola.

"Bunda, adik Arsy tidak ada." Rashid berteriak di dekat taman seolah dia baru saja mencari sesuatu.

"Dimana bibi?" tanya Rana bingung. Tadi mereka melihat Bibi menemani anak-anak Enola bermain disana. Lalu kemana mereka pergi?

"Bibi mengantarkan adik Rusha ke toilet. Tadi Arsy sedang bermain bersama kami di dekat semak-semak itu. Sekarang tidak ada dan gerbangnya juga terbuka." Rashid memberitahu membuat Enola dan bu Rana saling memandang selama beberapa detik sebelum dengan panik mereka bangkit dari kursi dan berlari ke arah Rishad.

Lihat ke kanan dan ke kiri. Jalanan sepi, tidak ada satupun pengendara di jalanan.

"Rishad, Rashid, kalian berdua cari Arsy di sekitar rumah. Bunda akan mencarinya di luar, mengerti?"

Kedua bocah kembar itu mengangguk sebelum berlari untuk mencari.

"Nola, Ibu ikut."

"Ibu ke arah kanan, Nola akan ambil jalur kiri. Kalau dia keluar, mungkin tidak akan jauh." Katanya memberi perintah sebelum bergegas untuk mencari putrinya.

Arsy tidak sama dengan anak-anak normal pada umumnya. Walaupun begitu, dia tidak pernah keluar di jalan karena dia tahu betapa berbahanya jalanan itu. Ada berbagai macam kendaraan yang mungkin saja akan menabrak dan melukainya.

"Arsyyyy! Dimana kamu sayang. Arsyyy!" suara itu pecah di udara, berteriak memanggil sang anak dengan harapan suara itu dapat menembus ruang dan waktu sehingga Arsy dapat mendengar dimanapun ia berada.

Adrenalin membanjiri tubuh dengan kekuatan yang membara, memacu langkah-langkahnya dengan kecepatan yang luar biasa. Mata ganas terus mencari, menyusuri setiap sudut, mencari setiap tanda keberadaan yang mungkin terlihat.

Enola hampir mengelilingi komplek. Dia bertanya kepada setiap orang yang berjalan di sekitar apakah dia melihat Arsy atau tidak. Jawaban mereka sama, satu 'tidak' hampir membuat Enola gila.

Setelah hampir lima belas menit berkeliling, Enola berlari untuk kembali ke rumah. Dia akan bertanya kepada Bibi saja. Sesampainya disana Bibi, Bu Rana serta ketiga anaknya menunggu didepan gerbang dengan wajah panik.

"Bagaimana, Arsy dimana?" tanya Enola pada bibi.

Mata bibi berlinang air mata, perempuan tua itu menggelengkan kepalanya. "Tadi dia bermain bersama Rishad dan Rashid saat bibi tinggal ke dalam. Bibi tidak tahu kemana Arsy."

"Gerbang itu ditutup, 'kan? Kenapa tiba-tiba terbuka. Dia belum bisa membuka kunci gerbang sendiri."

"Bibi tidak tahu, neng Nola. Bibi benar-benar tidak tahu."

"Bunda, gerbangnya tadi terkunci." Rashid membenarkan.

Lalu kalau di kunci, bagaimana Rusha bisa keluar?

Jantungnya berdegub kencang, seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya yang sempit. Rasa takut dan kekhawatiran melilit dalam perut, menciptakan kekosongan yang tak terhingga.

Tidak lama setelah itu, sebuah mobil berhenti tepat didepan gerbang. Mereka dengan serempak menoleh dan mendapati Rishdan dengan ekspresi panik turun panik menghampiri mereka. Bibi langsung meneleponnya saat diberitahu bahwa Rusha menghilang.

"Sayang, bagaimana? Apa Rusha ketemu?" tanya Rishdan pada sang istri.

Mata Enola berkaca-kaca, dia langsung berhambur ke pelukan sang suami dan menangis sesugukan. Dia tidak menduga akan seceroboh ini meninggalkan pengawasan dari anak-anaknya.

"Tenang, tenang," Rishdan menepuk punggung istrinya untuk menenangkan walaupun sebenarnya dia cukup panik saat dikabarkan bahwa putri mereka hilang. Dia meninggalkan pasien yang sedang ia periksa dan berlari di sepanjamg koridor dengan panik.

"Sekarang harus bagaimana?" tanya Bu Rana pada sang menantu. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?"

"Tidak bisa, Ibu, hilangnya Rusha belum 24 jam. Polisi tidak akan menerima laporan itu. Saya akan mencarinya di sekitar komplek, tunggulah di rumah bersama anak-anak. Tolong jaga Enola juga, Bu."

"Tidak mau!" tolak Enola didalam pelukan sang suami. Dia mendongak menatap sang suami yang lebih tinggi darinya. "Aku tidak akan tenang. Aku ikut, aku akan mencari Arsy bersamamu. Ayo, cepat cari Arsy. Sebentar lagi hujan akan turun, aku tidak mau dia kedinginan diluar sana. Cepat cari dia."

Kalau sudah begini, Rishdan mau tak mau mengalah. Bahkan jika dia menolak, Enola pasti tidak akan tinggal diam. Dia meminta semua orang menunggu di rumah, berharap Arsy akan pulang dan menemukan mereka disana. Sementara dia dan Enola akan mencari di sekitar komplek.

Sepanjang perjalanan pikiran Enola menjadi gelap dan kacau. Kepanikannya seperti kilat yang menyambar hati, getarannya menerjang tubuh, memicu ledakan emosi yang tak terkendali. Matanya terus melihat keluar jendela, tangannya saling meremat di atas paha, dia tidak melewatkan satu sudutpun dari pengawasan.

***

Kembalikan Cintaku [Book 2] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang