Chapter 25

65 5 1
                                    

Ketika semua orang tertidur lelap, Enola bangun dari tidurnya. Dia bangkit sambil melirik sang suami yang tertidur pulas disampingnya. Enola merasa kasihan, suaminya ini pasti sangat kelelahan setelag seharian ini berada diluar.

Perlahan, dia bangkit dari kasur. Berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi berisik. Dia keluar dengan mudahnya dari rumah dan berjalan dengan cepat menuju keluar gerbang. Setelah menguncinya kembali, mata Enola mengedar mencari mobil SUV di sekitar. Dia menemukan mobil itu dengan cepat dan berjalan terburu sambil melihat-lihat kekanan dan kekiri, memastikan agar tidak ada yang melihat.

Dia membuka pintu dan masuk dengan hati-hati ke kursi belakang. Bau baru dan asing mengisi udara, bercampur dengan kecemasan yang terus-menerus menghantui Enola. Dia melihat ke depan dan seorang supir duduk dibalik pengemudi, tanpa mengatakan apapun mobil melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah dan keluarga Enola dibelakang.

Enola tidak tahu bagaimana reaksi Rishdan setelah dia menghilang nanti. Yang terpenting dia harus menyelamatkan putrinya dari Magan terlebih dahulu. Dia tidak ingin terjadi apa-apa pada Arsy.

Setelah menembus kegelapan malam dalam keheningan, akhirnya mereka tiba didepan sebuah rumah kecil dengan dua lantai. Enola merasa gugup ketika mobil itu mulai berhenti didepan teras rumah mereka. Sang supir turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Enola.

"Andreas!" gumam Enola berekspresi terkejut ketika pintu dibuka dan sosok supir yang misterius itu berdiri diluar memandang datar ke arahnya.

Dia adalah asisten Magan dimasa lalu, Enola jarang melihatnya dirumah karena Magan selalu membantunya di kantor. Dia tidak menduga Andreas masih bekerja dengan Magan bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.

"Mari turun nyonya, kita harus segera masuk." Peringat. Andreas seolah tak peduli dengan keterkejutan Enola. "Mari ikuti saya."

Andreas berjalan lebih dulu ke depan memimpin Enola berjalan masuk ke dalam rumah. Dia melihat ke sekeliling dengan pandangan bingung, rumah ini berada di tengah hutan, mengingatkan Enola pada rumah mereka yang dulu. Tanpa tetangga, tanpa warga, jauh dari kota.

"Nyonya, nona Arsy ada diruangan ini, silahkan masuk."

Enola yang kala itu tak sadar kapan dia sampai didepan sebuah ruangan tiba-tiba membelalak saat mendengar nama Arsy di sebutkan. Dia dengan gugup membuka ganggang pintu dan masuk dengan Andreas berjaga didepan pintu.

Disebuah ruangan yang hening, ia melihat sosok putrinya terbaring tertidur pulas diatas tempat tidurnya. Enola menutup mulutnya yang nyaris mengeluarkan suara. Air matanya menyembur keluar, merasakan campuran kelegaan dan kebahagiaan.

Dia berjalan mendekat dengan hati-hati mendekati tempat tidur, mencoba menghindari putrinya terbangun. Syukurlah, Arsy baik-baik saja. Putrinya tidak terlihat terluka dan tertidur nyenyak dengan banyak boneka.

Enola ingin menyentuh putrinya, tetapi tiba-tiba dia merasakan pelukan dari belakang belakang yang akrab. Seluruh tubuhnya membeku saat wajah itu bersandar dipundaknya sambil mengendus aroma tubuh Enola dari balik hijab yang melingkar dilehernya.

"Bagaimana, putri kita baik-baik saja, 'kan? Kamu terlalu mengkhawatirkannya, hm?" bisik Magan tepat di telinganya, membawa hembusan napas hangat yang membuat seluruh tubuh Enola merinding.

Hatinya berdegub kencang. Dia ingin berteriak dan mendorong tubuh Magan darinya, tapi dia tidak bisa banyak bergerak karena Magan memeluknya dengan erat bahkan menekankan bahwa jika dia membuat keributan, putri mereka akan terbangun dan mendapati pemandangan ini.

"Lepaskan aku!" gigi Enola bergemeletuk marah.

"Sssttt....sayang, kenapa kamu marah, hm? Kita ini suami istri, mengapa kamu menolak kelembutan dari suamimu sendiri?"

"Kita sudah bercerai, Mas, lepaskan aku!"

"Hahh..." Magan bernapas panjang, mengencangkan pelukannya hingga membuat Enola merasa sesak. "Aku tidak pernah menandatangani surat itu, aku tidak pernah setuju. Kita masih sah menjadi suami istri, jangan menolak kenyataan itu."

"Kamu yang menolak menerima kenyataan kalau kita sudah bercerai sejak bertahun-tahun yang lalu." Balas Enola penuh penegasan. Pemuda dibelakangnya itu terkekeh.

"Saat salah satu pihak tidak setuju, maka perceraian itu tidak akan pernah terjadi. Jadi jangan pernah bermimpi untuk lolos dariku, apa kamu mengerti?"

"Jangan gila, mas, aku sudah punya suami. Lepaskan aku!"

"Suami? Hanya aku suamimu, Putri Enola Radiska. Sementara laki-laki itu, dia hanyalah orang asing. Dia ingin merebutmu dariku, tapi mulai sekarang aku tidak akan membiarkan dia merebutmu lagi. Kita akan hidup bahagia bersama putri kita, iya, 'kan?"

Belum sempat Enola membantah, tiba-tiba Magan menariknya keluar dengan paksa. Menutup pintu kamar putri mereka dan berbicara pada Andreas yang masih berdiri disana.

"Istirahatlah, Andreas. Tugasmu sudah selesai. Kami juga akan beristirahat."

"Tidak! Biarkan aku bersama putriku. Aku ingin bersama Arsy." Tolak Enola, dia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Magan yang menahannya dengan kuat.

Enola tidak bisa membiarkan Magan membawanya tidur dikamar yang sama. Mereka tidak punya hubungan apa-apa lagi, dan dia telah memiliki suami.

Magan mendorong tubuh Enola dengan cepat dan masuk, kemudian mengunci pintu kamarnya. Enola berusaha untuk merebut kunci ditangan Magan, dia panik, dia merasa gelisah, dia tidak bisa satu ruangan dengan laki-laki yang bukan suami sahnya.

"Mas, ku mohon. Jangan seperti ini, biarkan aku tidur bersama putriku."

"Apa yang salah denganmu, Nola? Kita suami istri. Kenapa kamu begitu takut. Lagipula dimasa lalu kita selalu berada di ruangan yang sama."

"Itu berbeda!" bentaknya kesal.

"Apa bedanya? Dulu dan sekarang, tidak ada bedanya." Debat Magan tak ingin kalah.

Enola sesugukan, dia merasa sangat takut jika Magan melakukan hal yang tidak dia inginkan. Dia tidak ingin mengkhianati Rishdan, dia mencintai suaminya yang sekarang.

"Sekarang ayo tidur."

"Tidak mas, aku mohon." Memelasnya menangkupkan kedua telapak tangan didepan wajahnya sambil menangis. Dia tidak ingin.

Magan berdecak kesal. Jika dia adalah orang yang sama di masa lalu, mungkin Magan akan melakukannya dengan paksa meskipun Enola tidak ingin. Tapi sekarang dia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan melakukan sesuatu yang membuat Enola semakin membencinya, jadi dia mencoba meredakan emosinya.

"Mas, tidak, jangan... aku tidak mau."

Ingatan masa lalu masih membekas di ingatannya. Sekelebat kenangan buruk itu terlintas dibenaknya ketika Magan menariknya dengan paksa ke tempat tidur. Dia mencoba melawan namun dia terlalu lemah, padahal Magan terkesan lebih kurus dibanding pertama kali mereka menikah.

"Aku tidak akan melakukannya, Nola!" Volumenya naik ketika Enola terus melawan. Dia juga sudah menahan diri agar tidak memperlihatkan emosinya dimasa lalu pada Enola. Tapi perempuan itu tak ingin bekerja sama.

"Ayo tidur. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk padamu. Ini sudah malam, aku kelelahan hari ini, hanya tidur disana kenapa kamu banyak sekali melakukan perlawanan seolah aku akan melakukannya?!"

Enola tertunduk, kedua pundaknya gemetar. Magan semakin frustasi.

"Kalau begitu tidurlah diatas tempat tidur, sebagai gantinya aku akan tidur disofa. Apa kamu mengerti?"

Magan mengambil bantal dan selimut dilemari, lalu berjalan menuju ke arah sofa yang berseberangan langsung dengan pintu beranda. Magan terbaring dan menyelimuti dirinya. Sementara Enola jatuh terduduk disisi tempat tidur dengan seluruh tubuhnya yang terasa lemas.

***

Kembalikan Cintaku [Book 2] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang