Chapter 21

44 4 0
                                    

Setiap kata yang keluar dari bibir Theo seperti pisau, yang menyayat-nyayat jantungnya dengan ketidakpuasan. Tangannya tergepal erat hingga memutih, urat-urat didahinya menonjol, giginya mengeluarkan bunyi kretek! berulang kali membuat Nuril yang berada disamping kekasihnya mencengkeram sudut kemeja Theo takut.

Theo berhenti ketika merasakan sudut pakaiannya ditarik. Dia melirik Nuril yang kini tertunduk dengan bibir gemetar. Sudah sangat jelas bahwa gadis ini ketakutan setengah mati saat melihat respon mengerikan dari Rishdan. Theo merasa sedikit bersalah, seharusnya dia tidak membawa Nuril bersamanya.

"Dia hampir tidak bisa merasakan ketenangan sejak kamu membawanya pergi menemui iblis itu." Geram Rishdan mengatupkan giginya, marah. Dia bangkit dari kursi membuat dua orang disana merasa sedikit terintimidasi.

Rishdan dengan cepat mengcengkeram kerah kemeja Theo, menariknya ke atas hingga pemuda itu berdiri dari sofa. Nuril merasakan ketakutan, matanya berkaca-kaca, dia berdiri disamping tanpa melepaskan tangannya dari kemeja Theo.

"Kamu membuat istriku kembali mengingat traumanya!"

BUGH!

Nuril memekik ketakutan saat bogeman mentah melayang di rahang kekasihnya. Theo jatuh bedebuk diatas sofa dengan sudut bibir yang robek. Seakan tak habis dengan rasa kesal dan kemarahan dihatinya, Rishdan kembali melayangkan pukulan ke dua. Nuril ketakutan sambil meminta pertolongan, dia menangis sambil memundurkan langkahnya ketakutan.

Perkelahian tak terelakkan. Theo membalas pukulan itu dan keduanya bertengkar hebat di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, derap langkah yang memburu datang dari tangga. Nuril menoleh dan mendapati sosok perempuan cantik dan berkerudung berlari ke arah mereka dengan cepat. Dia mendorong tubuh Rishdan dengan kekuatan penuh dari tubuh Theo. Dia berusaha menghentikan perkelahian itu dengan sekuat tenaga.

"Berhenti! Berhenti memukulinya!" bentak Enola keras membuat Rishdan berhenti setelah mendengar teriakan istrinya.

Enola memeluk suaminya sambil menangis keras. Theo terbaring dengan napas tersenggal, mulut dan hidungnya berdarah, Nuril tidak tahan melihat kekasihnya menderita. Dia membantu Theo untuk duduk dan memeluknya sambil menangis.

"Theo, aku tidak apa-apa." Kata Theo mengusap punggung kekasihnya yang gemetar. Theo tidak marah pada Rishdan, dia tidak ingin menyakitin Rishdan. Tujuannya datang kemari ingin meminta Enola secara baik-baik. Jika Rishdan tidak mengizinkannya untuk pergi, Theo tidak akan memaksa. Toh dia sudah melihat sendiri bagaimana takutnya Enola saat bertemu mantan suaminya.

"Sekarang pergi dari rumahku. Jangan pernah menginjakkan kakimu lagi ke rumah ini ataupun mengganggu istriku." Tegas Rishdan.

"Jangan khawatir, tuan. Saya tahu batasan-batasan saya, jadi anda tidak perlu khawatir." Balas Theo tenang.

Enola menolehkan kepalanya dengan takut-takut ke arah Theo. Dia melepaskan pelukannya pada Rishdan dan menatap Theo dengan wajah basah penuh air mata. Dengan suara lemah, dia berkata, "Maaf," pada Theo. Dia telah membuat orang-orang disekitarnya menderita. Akan lebih baik seandainya dia tidak ikut bersama Theo saat itu, mungkin Theo tidak akan mendapatkan perlakuan ini dari suaminya.

Theo bangkit dengan dipapah Nuril. Dia tersenyum tipis dan mengangguk paham. "Jangan khawatir nyonya, saya tidak memaksa anda untuk ikut. Saya tahu saya terlalu lancang untuk mencampuri urusan kalian. Tapi saya tidak pernah menyesal mengenal Tuan Magan. Bagi saya, dia tetaplah orang yang telah banyak membantu saya."

Enola membantu suaminya duduk diatas sofa sebelum melangkah perlahan mendekati Theo. Rishdan memperhatikan gerak-gerik istrinya dari sofa, membiarkan mereka berbicara.

"Kamu...Kamu anak yang baik, seharusnya kamu tidak berurusan dengannya. Tapi saya juga tidak punya hak untuk mengatur siapapun yang ingin dia temui. Sekali lagi, saya minta maaf. Semua ini terjadi karena saya." Ucap Enola dengan rasa bersalah.

Theo menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Bukan salah anda, Nyonya. Saya tidak tahu apa yang sudah dia lakukan pada anda dulu, tapi trauma anda mengingatkan saya bahwa apa yang sudah dia lakukan telah membuat anda terluka sangat dalam. Saya berjanji tidak akan pernah menemui anda lagi setelah ini. Apapun yang terjadi pada Tuan magan di masa depan, akan menjadi urusannya. Semoga harap anda dapat terlepas dari bayang-bayang masa lalu yang kelam. Kalau begitu saya permisi."

Setelah kepergian Nuril dan Theo, Enola berjalan ke dapur untuk mencari kotak obat P3k di kabinet dapur. Dia membersihkan luka-luka yang ada di wajah suaminya sambil terus menangis. Kedua tangannya gemetar saat mencoba membersihkan luka sobekan di pipi kiri Rishdan.

"Sayang," panggil Rishdan dengan suara lembut, memegang tangan Enola yang gemetar. "Mas nggak apa-apa, kenapa kamu menangis, hm?"

"Mas, maafin aku. Seandainya kamu tidak ketemu aku waktu itu, kamu tidak akan semenderita ini, 'kan."

"Hey, kamu itu ngomong apa sih?" Rishdan mengusap air mata di kedua pipi istrinya dengan lembut. "Kamu jangan ngomong yang tidak-tidak. Kedatangan kamu di hidup mas itu adalah keberuntungan yang paling bikin mas bahagia. Dan mas merasa sangat payah karena ketemu kamu disaat masa-masa tersulit kamu. Seandainya mas datang lebih awal, kamu tidak akan pernah ketemu sama iblis seperti laki-laki itu."

Enola menyandarkan kepalanya didada pemuda itu, meringkuk pada Rishdan dengan sesugukkan. "Mas, jangan tinggalin aku ya. Apapun yang terjadi, aku tidak mau mas ninggalin aku."

"Mas tidak akan pernah tinggalin kamu, sayang. Mas akan selalu lindungin kamu dan anak-anak kita apapun yang terjadi." Dia mengakhiri dengan sebuah ciuman di dahi istrinya.

Novita nyaris pingsan ketika melihat kondisi putra semata wayangnya saat mereka pulang. Untungnya Nuril dengan cepat menjelaskan apa yang terjadi. Nuril dan Novita merawat luka Theo setelah pemuda itu menolak keras di ajak kerumah sakit.

Malam sudah semakin larut. Theo meminta Nuril untuk pulang diantarkan oleh supirnya. Meskipun dia sempat berdebat dengan Theo, akhirnya Nuril tetap pulang ke rumah diantar supir keluarga mereka dengan berat hati.

Novita mengunjungi Theo yang sedang duduk di balkon lantai dua. Pemuda itu memandang lurus ke depan dengan sedikit linglung. Wajahnya sedikit buruk karena luka dimana-mana.

"Kenapa belum tidur?" tanya Novita sembari duduk disamping putranya.

"Belum mengantuk."

"Lukanya berdenyut?"

Novita menghela napas lega saat Theo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, kenapa akhir-akhir mama merasa ada banyak hal yang kamu sembunyikan dari mama, Theo?"

"Tidak ada yang penting, ma."

"Wajahmu hari ini bonyok, cuma gara-gara ingin menolong orang lain."

"Ini pembuktian seorang laki-laki, Ma." Ucap Theo bercanda sambil tertawa renyah. Novita hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa daya. Putranya itu keras kepala, namun Theo tidak pernah ingin menunjukkan kelemahan di hadapan Novita sehingga membuat Novita berpikir bahwa putranya itu kuat.

"Kamu sudah melakukan tugasmu untuk membalas budi," ucap Novita tiba-tiba berubah serius. "Bukannya mama ingin melarang, tapi ini sudah terlalu jauh, Theo. Mama tidak bisa membuatmu ikut campur terlalu jauh. Mama khawatir dengan keadaanmu."

Theo bersandar dan mendongak ke atas. Menatap indahnya cuaca malam itu. "Mama tidak perlu khawatir, aku tahu batasanku."

"Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?"

"Apalagi," suaranya rendah, "Aku harus bicara jujur pada Tuan Magan."

"Kamu yakin?"

Theo menatap sang mama, dia tersenyum lembut dan mengangguk. Dia hanya punya dua pilihan, yaitu menghancurkan hubungan Enola dan Rishdan, atau membuat Magan sendiri hancur. Dia telah memutuskan untuk memilih opsi kedua.

Tidak ada bantahan.

Lebih baik melihat orang yang telah menolongnya hancur daripada membuat hubungan orang lain retak karena keegoisan satu orang. Untuk kedepannya biarlah dia memikirkannya nanti.

***

Kembalikan Cintaku [Book 2] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang