Chapter 26

74 5 0
                                    

Di pagi yang sunyi, Enola duduk bersama Magan dan putri mereka yang sedang makan. Suasana di sekitar terasa menegangkan dan penuh ketidaknyaman. Magan sibuk melahap nasi goreng buatan Andreas, sesekali dia akan mengambil sosis untuk disuapi ke mulut kecil sang putri. Enola bergeming, dia duduk diam sambil sesekali memperhatikan interaksi mantan suaminya dan sang anak.

Hati Enola dipenuhi dengan keinginan untuk pergi dari sini bersama Arsy tanpa sepengetahuan Magan. Tapi dia harus bisa menahan diri, bersikap tenang dan berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja.

Dia memikirkan setiap langkah yang harus ia ambil untuk melarikan diri. Karena jika dia gegabah dalam mengambil langkah, maka dia dan Arsy tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini.

"Mengapa kamu tidak makan?" tanya Magan yang merasa Enola hanya duduk diam dikursi tanpa menyentuh nasi goreng didalam piringnya.

Magan sadar betapa dalamnya kebencian Enola padanya. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungan mereka. Dia ingin membuktikan bahwa dia bisa berubah dan menjadi suami serta ayah yang lebih baik untuk mereka berdua.

"Nola, aku tahu kamu benci sekali padaku. Aku juga tahu kalau aku adalah laki-laki paling bodoh dimuka bumi ini karena telah menyia-nyiakan istri sebaik kamu. Aku menyesal, aku bersalah. Tapi tolong beri aku satu kesempatan lagi, aku akan memperbaiki semuanya dan aku akan melakukan apapun yang membuat kalian berdua bahagia, oke?"

Enola mendengus dingin. "Semuanya tidak akan sama lagi meskipun kamu menyesal."

"Aku akui aku sudah melakukan kesalahan besar. Aku menyesal, Nola. Aku akan belajar dari pengalaman dan berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi. Kamu dan Arsy adalah segalanya bagiku."

"Segalanya bagimu?" balasnya dengan nada sinis. "Maaf, aku sudah lama berhenti mempercayaimu."

"Aku mengerti kamu tidak akan percaya, tapi aku sudah berubah, Nola. Selama beberapa tahun ini aku telah merenungi sikapku."

"Merenungi?" gigi Enola bergemeletuk. Kedua tangannya tergepal erat diatas meja. "Jika kamu berubah seperti katamu, kamu tidak akan menyekapku dan Arsy dirumah ini!"

"Aku terpaksa karena aku tidak ingin kamu kembali kepada laki-laki itu! Kamu hanya milikku, Nola, milikku!"

Enola nyaris tertawa setelah mendengar pernyataan itu. Apa tadi katanya? Milikku?

"Sejak dulu sifatmu tidak pernah berubah. Jika kamu lupa akan ku ingatkan kembali tujuan kamu menikahiku waktu itu karena jantung ini." Nola menepuk dada kirinya. "Jantung milik Salina. Kamu tidak pernah menginginkanku dalam hidupmu karena yang kamu inginkan hanyalah jantung milik Salina yang sudah melekat ditubuhku. Kamu menginginkannya karena kamu tidak ingin Salina pergi darimu, 'kan? Dasar laki-laki egois!"

Kata-kata menghantam Magan dengan keras. Wajahnya memerah dan matanya memancarkan kemarahan yang meluap. Kedua tangannya tergepal kuat. Dia merasakan energi yang meluap dari tubuhnya, siap untuk meledak.

Namun ditengah kemarahan Magan, dia menyadari ada Arsy yang masih duduk menikmati sarapannya sambil melihat kedua orang tuanya beradu mulut dengan wajah datar. Magan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Ayo makan, jangan buat perutmu kosong. Jangan pikirkan dirimu sendiri, tapi pikirkan Arsy juga." Katanya dengan ekspresi datar, melanjutkan sarapan yang sempat tertunda.

Walaupun Enola kesal, dia tetap mengikuti perintah Magan dan makan sambil menahan amarah.

***

"Maaf, kami belum menemukannya. Sudah beberapa hari sejak berita itu disiarkan tetapi belum ada satupun yang menelepon untuk menginformasikan keberadaannya." Jawaban pak polisi membuat kedua pundak Theo merosot kebawah.

Sudah hampir seminggu sejak hilangnya Magan. Theo telah berkeliling kota selama dua hari ini untuk mencari, dia bahkan berkali-kali datang ke rumah sakit jiwa untuk menanyakan apakah Magan kembali atau tidak.

Theo memang tidak ingin berurusan lagi dengan Magan setelah pembicaraannya dengan sang mama tempo hari. Tetapi berita hilangnya Magan cukup membuat dia panik. Dia sedikit takut Magan akan melakukan hal nekad seperti menculik Enola atau melakukan sesuatu yang lebih kejam dari itu pada keluarga Enola.

Dia keluar dari kantor polisi dengan tangan kosong. Mengacak-acak rambutnya dan kembali ke parkir untuk mengambil mobilnya. Disaat bersamaan sebuah mobil memasuki area parkir lalu berhenti tepat disamping mobil milik Theo. Ketika pemuda itu hendak masuk ke dalam mobil, dia terkejut melihat Rishdan turun dari mobil itu dengan langkah tergesa-gesa.

Tanpa ragu Theo menghentikan langkan Rishdan dan menghampiri laki-laki itu.

"Kenapa kamu ada disini?" tanya Rishdan kaget saat melihat keberadaan Theo.

"Ada sedikit masalah yang harus diselesaikan. Kenapa anda datang kesini?"

Seolah Theo mengingat tujuannya datang kesana, Rishdan tanpa ragu berbalik dan bergegas untuk masuk. Namun lengannya dengan cepat ditahan oleh pemuda itu sehingga dia berbalik dengan ekspresi kesal.

"Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa anda ada disini?"

"Saya tidak punya banyak waktu, jadi biarkan saya pergi."

"Tunggu dulu." Hati Theo berdebar-debar, bertanya-tanya apa yang membuat Rishdan datang ke kantor polisi dengan ekspresi sepanik itu. Apakah terjadi sesuatu? Dia hanya ingin memastikan semua pikiran yang ia bayangkan sejak akhir-akhir ini tidak menjadi kenyataan.

"Saya bilang saya tidak punya banyak waktu. Ini bukan waktunya untuk bermain-main." Rishdan tak mendengarkan saat dia bergegas pergi.

Kebingungan menghampiri Theo saat pikirannya tiba-tiba dipenuhi dengan kemungkinan yang mengerikan. Dia mencoba mengatasi gelombang pikiran yang datang dengan cepat, tetapi  kegelisahannya semakin memuncak. Saat Theo sadar, laki-laki itu sedang berjalan menuju pintu masuk. Theo mengejarnya dengan cepat meraih pundak laki-laki itu dan membalikkan tubuhnya secepat kilat.

"Jangan beritahu saya berita buruk saat Tuan Magan kabur dari rumah sakit jiwa?"

Kemarahan yang hampir menyebar ke seluruh tubuh Rishdan seakan lenyap setelah kata-kata itu jatuh. Dia terdiam, matanya membesar saat mencerna kata-kata Rishdan.

"Ini bukan kebetulan, 'kan?" lanjut Theo mencoba mengungkap isi pikirannya yang gelisah dengan hati-hati, berusaha menyampaikan kekhawatiran tanpa memicu kepanikan yang lebih besar.

Seketika raut wajah Rishdan berubah, ketakutan tergambar jelas diwajahnya.

***

Kembalikan Cintaku [Book 2] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang