Prolog

3.9K 513 179
                                    

Banyuwangi, Jawa Timur.

Pakar perkembangan anak berkata, bila kau melewatkan fase merangkak, keseimbangan gerak dan kordinasi tubuhmu akan terganggu. Agaknya, Anjani menjalani fase tersebut dalam kurun waktu yang terlalu lama. Ia betah merangkak selama enam bulan sampai ayahnya frustrasi dan membawanya ke dokter anak. Itu sebabnya, berdiri secara seimbang di atas papan surfing tidak jadi masalah besar sejak ia pertama kali belajar menaklukkan ombak.

Langit bersih tak berawan. Matahari membakar kulit. Anjani mengoleskan sunblock kemudian melakukan pemanasan. Sembari menunggu sunblock–nya meresap, Anjani mengoleskan lilin khusus ke papan surfing–nya agar tidak licin. Sesekali ia mengamati ombak tinggi kesukaan para surfer saling berkejaran dan mengempas di tepian.

Ia beranjak menyusuri pasir dengan kaki telanjang. Setelah beberapa menit, ia berbaring telungkup di atas papan dan mulai mengayuh. Targetnya senja nanti bisa menikmati matahari tenggelam.

Cukup ramai peselancar saling berlomba mencuri ombak. Mereka lebih banyak mengarahkan papannya ke kanan. Sementara Anjani mengambil jalur kiri. Karena ia kidal, segala sesuatu yang berbau kiri adalah zona nyamannya. Walaupun warga lokal berkata garis pantai di sebelah kiri cukup riskan, Anjani hanya menjanjikan diri lebih berhati-hati. Kabarnya, beberapa onggokan karang bersembunyi di bawah pecahan ombak. 

Seraya meluncur melarikan diri dari ombak yang mengejarnya di belakang, Anjani menangkap sebuah objek berwarna hitam di pinggir pantai. Bentuknya menyerupai buntalan kain. Mungkin batu, pikirnya sekilas.

Ia kembali berkonsentrasi, meluncur lebih ke kiri, menjauhi titik ia mulai. Dari kejauhan, kepala teman-temannya terlihat menyumbul di antara ombak laksana buah kelapa yang hanyut. 

Ombak menggulung Anjani dan melemparnya ke bibir pantai. Ia mengayuh di atas papan, berniat kembali ke titik mulai yang sudah jauh ia tinggalkan.

Buntalan hitam tadi kembali singgah di pandangan. Mengganggu.

Konsentrasi Anjani perlahan buyar. Tanpa ia tahu, seonggok karang menunggu dengan tenang, tersembunyi di bawah pecahan ombak.

Tiba-tiba....

"Aaargh!"

Anjani terpental. Tali pengikat di kakinya putus. Papannya terombang-ambing dibawa air laut.

Ia berenang ke tepian sambil terbatuk-batuk. Paru-parunya terbakar.

Tertatih-tatih ia menyeret kaki dan mengenyakkan bokong di atas pasir. Wetsuit–nya sobek di bagian paha. Darah segar mengucur di selanya. Anjani meringis kesakitan. Tajamnya batu karang merobek kulitnya cukup dalam. Bentuk robekannya tak beraturan.

"Aduh!" ringisnya sakit hati. "Sudahlah ireng, jelek, masa punya bekas luka pula?" keluhnya menghitung berapa jahitan yang harus diterimanya nanti.

"Jani!"

Anjani sontak menoleh. Jonathan melambaikan tangan kepadanya. 

"Oi!" balas Anjani melambaikan tangan. Buntalan hitam tadi kembali menyita perhatian. Sambil meringis, ia berdiri dan menyeret kakinya. Darah mengalir ke betisnya. Hangat.

Riak ombak menjilat buntalan tersebut hingga menggembung dan mengempis. Mata Anjani menyipit.

Lalu ia terkesiap. Jelas, itu bukan seonggok batu. 

Jantungnya bergemuruh lebih kencang. Anjani semakin mendekat. Tiba-tiba matanya terbeliak.

Manusia!

***

"Om, tadi aku lagi surfing. Terus ketemu ma—"

"Mayat?" potong Robert dari seberang.

"Manusia, Om. Hi—dup," gerutu Anjani sebal. "Tolonglah, Om. Jiwa forensiknya disingkirkan dulu."

Robert berdecak. "Terus kenapa?"

Anjani menceritakan, pria tak dikenal itu mereka bawa ke rumah sakit terdekat. Dia  koma dan rumah sakit tidak memiliki peralatan yang memadai untuk merawatnya sehingga harus dirujuk ke rumah sakit lain.

"Om bisa tolong kirimin helikopter medis ke sini?" Alih-alih membawa pria itu ke rumah sakit rujukan, ia lebih suka merawatnya di rumah sakit milik keluarganya saja. Dengan menggunakan helikopter, perjalanan dari Banyuwangi ke Surabaya menjadi lebih cepat.

"Buat apa kamu repot-repot membawanya ke Surabaya? Memangnya kamu kenal orangnya? Kamu bawa saja ke RS rujukan, lalu lapor polisi. Pulang. Beres. Nggak usah sok jadi pahlawan."

"Gak gitu, Om. Inilah akibatnya Om keseringan ngurusin mayat," kata Anjani tak terima. "Pokoknya aku mau rawat dia di Surabaya. Perkara lain nanti kita bicarakan. Aku tunggu helinya ya, Om. Terima kasih." Ia mengakhiri panggilan.

***

Pria itu terbaring lemah di ICU. Anjani menatapnya dari balik kaca. Kondisinya stabil, meski belum jua bangun. Pipinya lecet di berbagai sisi. Sebelah matanya yang bengkak mulai mengempis. Bibirnya pecah menyisakan luka kering. Hasil rontgen menyatakan dua ruas rulang rusuknya patah. Bukan hanya itu, di sekujur tubuhnya terdapat banyak memar kebiruan. Paru-parunya hampir tergenang air laut. Adalah sebuah mukjizat dia masih hidup.

"Sudah dua hari , Jani," tegur Robert tiba-tiba mendekati keponakannya. "Mau sampai kapan kamu menunggu? Sebaiknya kita lapor polisi. Mungkin keluarganya lagi panik mencarinya."

"Bagaimana kalau dia gak punya keluarga? Bagaimana kalau justru orang jahat yang sedang mencarinya?" Anjani bergumam mengingat pamannya berkata pria itu sudah melewati tindak penganiayaan berat.

"Bagaimana kalau dia buron?"

"Kayaknya bukan. Aku lihat gak ada tampang buronnya."

"Jangan sotoy!" Robert berdecak. "Dari mana kamu tahu?"

"Insting."

"Halah!" dengus Robert. "Begini saja. Kita tunggu sampai besok. Kalau dia tetap nggak bangun, kita lapor polisi. Setuju?"

Anjani terdiam. Ia menatap sosok pria yang tak berdaya itu sekali lagi. Hatinya enggan melaporkan kejadian tersebut pada pihak berwajib.

"Kita laporkan setelah dia sadar," kata Anjani memutuskan.

"Astaga!" seru Robert gusar. "Itu namanya kamu menghambat proses investigasi. Heran. Kamu ngotot amat, sih?"

Anjani menyeringai kecil. "Cause he's mine, Om."

Sejenak kemudian, Anjani meringis. Robert menyentil keningnya kuat-kuat. "Mine mbahmu!"

***

Hai haaai! Apa kabar kalian? 🤗🤗

Nitip prolog dulu ya, Genks. Seperti biasa, isinya kapan-kapan. 🤭🤭🤭🏃🏃🤭

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang