Sepuluh

943 247 40
                                    

Kai memeluk lututnya di sudut lantai yang lembab. Piyama di tubuhnya terasa dingin. Giginya gemeletuk. Di luar sana ibunya tengah bercengkerama dengan kakaknya membicarakan makanan-makanan enak. Tidak lama, terdengar Jennifer meminta dibelikan pakaian baru.

"Tolong keluarkan aku dari sini," Kai merengek sesopan mungkin. Ia tidak berani bersuara lebih keras. Pengasuhnya mungkin sudah tidur saat ini. Seringkali, kala bertindak tidak sesuai kemauan Widya, ibunya, Kai dikurung di kamar mandi. Tanpa lampu. Widya tidak akan bertindak sejauh itu bila ada ayahnya. Sayang sekali, ayahnya sering bepergian. 

"Aku takut," ulangnya merintih. Kai takut gelap. Sembari menunggu, entah pintu dibukakan atau jatuh tertidur, Kai menghitung mundur mulai dari seratus. Ia mengulangnya lagi, dan lagi, sampai pangkal lidahnya terasa pahit.

Satu-satunya cahaya berasal dari sela ventilasi. Kai ingin memanjat, tetapi tidak berani. Bagaimana kalau ia terjatuh? Mungkin itu sebabnya Jennifer selalu mengejeknya "Kai si penakut".

Rasa kebas mendera lututnya. Tungkainya mulai menggigil. 

Perlahan-lahan tercium bau urine. Bokongnya terasa hangat. Dan basah.

Cairan basah itu menyeret Kai pergi. Ia tersesat jauh sekali. Kakinya tidak bisa digerakkan. Kai digulung pusaran air.

Napas Kai tersengal. Dinding-dinding membesar dan mengapitnya dari segala sisi. Ia tidak bisa bernapas.

"Tolong!"

"Hai. Selamat pagi."

Kai membuka mata. Dari kegelapan yang menyeretnya, Kai tersentak. Tatapannya beradu dengan sepasang mata yang cemerlang bak cahaya bulan. Kai mengerjap, seketika terselamatkan.

"Kamu sudah bangun? Barusan kamu mengigau."

"Ugh!" Kai mendesah. Rupanya hanya mimpi. Rasa nyeri mendera tubuhnya. Kepalanya agak pusing.

Kai melirik ke samping kiri, lalu mendongak sedikit. Perempuan—dokter—semalam sedang mengutak-atik tabung infus. Jari-jarinya panjang, kurus, dan lentik. Jemari seperti itu tidak cocok untuk seorang dokter, melainkan seorang pemain musik, pikir Kai. Kecurigaannya semalam muncul lagi. Perempuan itu mengenakan kemeja biru cerah dan celana jeans. Di mana jas putihnya?

"Saya sudah mengganti tabung infusmu," kata perempuan itu riang.

"Bukankah itu tugas perawat?" gumam Kai serak.

"Tenang saja. Saya juga terlatih melakukannya. Bagaimana perasaanmu pagi ini?"

"Jam berapa sekarang?" Kai bertanya. Lagi-lagi gaya bicara non formal itu membuat Kai merasa sebal. Perempuan itu kelihatannya masih muda, mungkin baru saja menerima Surat Tanda Registrasi–nya. 

Kamu, kamu, kamu. Memangnya dia pikir aku temannya?

Lalu, bagaimana kalau ternyata tempat ini bukanlah rumah sakit sungguhan, melainkan kurungan khusus? Memang, semalam perawat dan dokter jaga bergantian memeriksa kondisi Kai. Tetapi, bisa saja mereka hanya tenaga kesehatan pura-pura.

"Setengah delapan." Anjani melihat jam tangannya. "Saya sudah menghubungi keluargamu. Mereka berjanji datang dengan penerbangan paling pagi dari Jakarta. Mungkin sebentar lagi tiba."

"Anda menghubungi keluarga saya?"

"Ya."

"Siapa?"

"Kakakmu. Namanya ..." Anjani mengingat-ingat dengan siapa ia bicara semalam. "Lio ... Liona?"

"Begitu?" Selubung rasa lega menyelimuti Kai. Setelah menyebutkan namanya semalam, Kai berpura-pura memejamkan mata saat dokter itu menanyakan nomor keluarga yang bisa dihubungi. Jangan menyalahkan Kai. Ia belum sepenuhnya percaya pada perempuan itu, setelah apa yang sudah ia alami. "Dari mana Anda tahu tentang keluarga saya?"

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang