Delapan

968 234 54
                                    

Penantian Anjani berakhir di Guna Persada Hospital cabang Surabaya. Akhirnya ia dipercaya bertugas di IGD. Pahanya yang menerima delapan jahitan masih nyeri. Namun, pilihan apa yang Anjani punya di hadapan Robert? 

Memasuki hari keempat, John Doe masih terbaring di ICU. Tanda vitalnya stabil. Pria itu belum berkenan kembali ke dunia nyata. Akhirnya Anjani pasrah pada keputusan Robert. Polisi turun tangan. Mereka melakukan investigasi tertutup. Identitas John Doe masih abu-abu. Tidak ada yang melapor kehilangan anggota keluarga. Anjani ikut diinterogasi. Hasil visum forensik pun sudah polisi kantongi.

Anjani bergegas mengganti sarung tangan steril. Di depannya terbaring seorang pasien kecelakaan tunggal. Motornya menabrak pembatas jalan karena ketiduran saat berkendara. Tangannya patah. Pelipisnya sobek dan mengucurkan darah segar. Setelah luka dibersihkan dan diberi anestesi, Anjani mulai menjahit. 

Laki-laki bermata teduh itu menatap Anjani intens, sesekali mengedip pelan. Bila tidak teringat profesionalitas kerja, agaknya Anjani sudah baper dibuatnya.

"Dok, sudah punya pacar?" Lirih lelaki itu bertanya.

"Belum. Kenapa?" Mata Anjani tidak beralih dari curved needle dan klem hecting di tangannya. "Kamu punya kakak laki-laki untuk dijodohkan dengan saya?" kelakarnya.

"Bukan kakak saya, Dok, tapi saya."

"Saya lebih tua dari kamu lho," kekeh Anjani.

"Saya tahu. Saya masih mahasiswa semester enam."

"Belajar yang rajin. Sebentar lagi skripsi, kan? Hati-hati mengendarai motor."

"Siap." Lelaki itu meringis. "Dok ..."

"Ya?"

"Dokter mau nggak nungguin saya?"

Anjani tersenyum. "Kamu memang random begini anaknya?"

"Saya serius. Dokter nikahnya sama saya aja, ya?"

Anjani menyambut lamaran edan tersebut dengan tertawa kecil. Bukan main isi kepala anak muda ini. Macam plot sinetron! "Anestesi bikin kamu oleng, ya?"

"Saya waras, Dok. Sumpah!"

"Siapa namamu?"

"Dody." Ia membaca ID card Anjani. "Kalau kita pacaran, saya boleh manggil Anjani saja, kan?"

"Jahitanmu sudah selesai. Ada alergi makanan? Nanti dicantumkan dalam catatan menu kamu."

"Saya orang susah, Dok. Mana sempat punya alergi? Semuanya diembat, yang penting kenyang."

"Tulangmu yang patah akan ditangani dokter ortopedi." Anjani menyuruh keluarga Dody mendekat. Ia menjelaskan kondisi Dody yang masih harus dirawat inap dalam dua atau tiga hari ke depan karena ada beberapa luka lain di tubuhnya. "Sampai jumpa lagi," pamitnya pada Dody.

"Dok!" panggil Dody. "Jahitannya rapi, kan?"

Anjani mengangkat kedua jempolnya. "Rapi. Gak bakalan mengurangi ketampananmu, kok," godanya sambil mengerling. Pipi laki-laki itu sontak memerah.

"Baru hari pertama kerja sudah dilamar saja ya, Dok? Di IGD lagi," kata perawat pendamping Anjani terkikik menjauhi tempat tidur Dody.  

"Banyak ya pasien random kayak dia?" Anjani menyeringai geli. Baru kali ini dilamar pasiennya sendiri.

"Untungnya nggak banyak, Dok. Oh, ya, pasien yang dirawat di ICU kemarin sudah sadar. Kabarnya sudah dipindahkan ke ruangan beberapa menit yang lalu."

"Benarkah?" Mata Anjani melebar. "Bagaimana kondisinya?"

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang