Dua Puluh Lima

505 108 7
                                    

"Wahai paduka Yang Mulia, Robert Anthony Gunardi. Sudilah kiranya Yang Mulia memberikan hamba jatah cuti belajar selama tiga semester ke depan. Hamba pusing, Yang Mulia, cuma punya dua tangan, dua kaki, tapi banyak betul yang harus hamba kerjakan. Kalau nanti hamba stres, hamba bisa gagal nikah sebelum usia tiga puluh. Cuma tersisa dua tahun lagi, Yang Mulia. Sudah kepepet ini," cerocos Anjani bak hamba kerajaan berlutut di hadapan Robert yang sedang serius mengetik entah apa di laptopnya. Sementara istrinya yang melihat kelakuan Anjani hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

Dengan logat Jawa-Surabaya Robert menjawab keheranan, "Kamu ini guyon ta?"

"Gak guyon ini, Om. Aku serius."

"Dapat ide dari mana?" Robert mengernyitkan dahi. "Kalau kamu nggak praktik, mau ngapain selain kuliah?"

"Membenahi bisnisku, Om. Sudah dua bulan aku nombokin gaji karyawan gara-gara penjualan turun drastis."

"Halah, bilang aja mau pacaran!"

"Itu juga sih, Om," Anjani menyeringai.

"Karyawanmu itu pecat saja. Susah amat?"

"Kasihan, Om. Mereka butuh uang untuk biaya anak-anaknya sekolah," tutur Anjani membayangkan wajah-wajah lesu para ibu penyambung nyawa keluarga di sekitar toko yang tidak punya banyak pilihan.

"Dalam bisnis nggak kenal kata kasihan, Jani. Bisnis itu kejam. Aneh kamu ini."

"Tapi bisnis yang baik juga harus bisa menolong masyarakat di sekitar kan, Om? Biar lebih barokah."

Sesungguhnya, para karyawanlah yang membuat Anjani betah mempertahankan bisnisnya. Raut semringah mereka saat menerima upah lekat di ingatannya. Bukan semata demi uang karena ia menerima gaji setiap bulan, ditambah dividen tahunan dari Trio Gunardi senior yang jumlahnya cukup untuk hidup berleha-leha.

Robert mendengus, "Kesambet di mana kamu? Tumben kepingin barokah segala? Habis ikut pengajian?"

Anjani memutar bola mata. "Ya, intinya gitu deh, Om."

"Kamu dan Angga itu sama saja. Macam manalah masku mendidik kalian?"

"Kayaknya naluri kemanusiaan Om saja yang mulai tumpul gara-gara kebanyakan gaul sama mayat."

Robert menyambar kertas dan memukulkannya ke kepala Anjani. Matanya melotot. "Cuangkemmu!"

"Om, please." Anjani mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. "Aku sudah minta izin dari Papa dan Mami juga, kok."

"Papamu bilang apa?"

"Papa bilang begini. Tugas Papa mengarahkanmu dengan busur Papa sudah selesai. Sekarang, seperti layaknya anak panah, terbanglah ke mana kamu hendak terbang. Tetapi satu hal yang pasti, setiap keputusan selalu dibarengi dengan konsekuensi."

"Papamu bilang begitu? Filosofis sekali!" Robert menggerutu. Dibandingkan kala Anjani mengaku stres dan minta mundur dari profesi dokter, permintaan Anjani kali ini lebih masuk akal. "Nanti Om pikirkan dulu."

"Gak usah kebanyakan mikir, Om. Nanti malah Om yang stres," rayu Anjani. "Ayolah, Om. Gak lama kok. Cuma tiga semester. Lagipula, aku bisa lebih sering menemani Om balapan, kan?"

"Modus!" Robert menutup layar laptopnya. "Oke kalau begitu. Om kasih kamu cuti, dengan syarat kamu bisa menyelesaikan S2-mu tepat waktu. Bisa?"

"Bisa, Om!" Anjani mengangguk kuat-kuat. Ia tahu Robert mensyaratkan demikian karena saat meraih gelar S.Ked, Anjani molor satu semester.

Nilai ujian Anjani kemarin sudah keluar dan hasilnya sangat memuaskan. Bila ia mempertahankan gaya belajarnya—dibantu oleh Kai—Anjani yakin mendapatkan prediket cumlaude saat wisuda nanti.

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang