Dua Puluh Enam

756 191 20
                                    

Benar bahwasanya para lelaki di keluarga Gunardi mengibarkan bendera perang ketika Kai mendekati anak gadis mereka. Namun, itu hanya di awal-awal saja. Setelah Kai mendapatkan hati Anjani, sambutan mereka berubah hangat dan ramah, termasuk Angga. Dua hari yang lalu pria itu menelepon Kai dan mengajak main golf bersama. Meskipun golf bukan termasuk dalam olahraga favorit Kai, tetap saja Kai langsung menyanggupinya.

Angga pemain golf yang baik. Ayunan tangan pria itu, serta liukan pinggangnya luwes saat memukul bola. Angga langsung memenangkan satu putaran setelah empat jam. Setelahnya, mereka makan siang bersama.

"Is business good, Kai?" tanya Angga membuka percakapan sembari menunggu hidangan datang. Ketika di lapangan, obrolan mereka tak jauh-jauh dari topik kebugaran fisik.

Kelakuan Kai sudah menjadi perbincangan hangat di dalam grup keluarga. Orang gila mana yang nekat mengetuk pintu rumah Robert pagi-pagi buta? Hanya Kai yang bisa. Bagi para keponakannya, Robert terkenal sebagai 'berandal'. Tidak satu pun berani menghadapi Robert. Kecuali Anjani, tentu saja.

Sengaja Angga mengajak Kai bertemu di luar. Karena ia berada di kota yang sama dengan Kai, ia bisa menjalin kedekatan dengan pria itu dan menilai karakternya. Angga tak ingin lagi kecolongan.

"Naik turun, Mas," Kai menjawab secara umum. "Ada beberapa tender yang lagi jalan, ada yang sedang approach, ada yang menang dan ada yang kalah."

Angga balas tersenyum. "Biasa itu. Namanya juga bisnis."

"Iya, Mas. Rumah sakit gimana, Mas?"

"So far baik-baik saja. Orang tua kamu bagaimana kabarnya?"

Kai menelan ludah. "Mereka sehat, Mas."

"Syukurlah. Jadi, kamu dan Jani sekarang LDR, ya?" Angga menyeringai.

"Begitulah, Mas."

"Sanggup?"

"Disanggup-sanggupin, Mas."

"Yang sabar ya dengan Jani. Anaknya ndak bisa diam. Tapi terlalu banyak kegiatan, ujung-ujungnya nanti malah stres sendiri."

Kai hanya tersenyum membenarkan.

"Terkadang kalian bakalan lebih sering berantem dibandingkan pasangan normal," kata Angga. "Sepupu saya juga LDR Jakarta-Surabaya. Namanya Attar. Pacarnya Aretha, keponakan Tante Martha. Ndak ada angin ndak ada hujan, lagi nelpon pun bisa perang Baratayudha."

"Oh, ya? Aretha juga kuliah kayak Jani, Mas?"

"Sebelumnya ngurusin hotel punya almarhum ayahnya. Sekarang baru mulai kuliah lagi di Singapura. Jadi makin sering berantem mereka."

"Repot juga, ya?" Kai nyengir saja. "Oh ya, saya belum sempat bilang terima kasih, Mas sudah menyambut saya sebagai teman dekat Anjani sekarang ini," lanjutnya sungkan.

Angga tertawa kecil. "Maaf, ya. Saya sempat sengak sama kamu."

"Nggak apa-apa, Mas. Saya paham."

"Ngomong-ngomong, kamu lulusan mana, Kai?"

"King's College, Mas."

"London?"

Kai mengangguk.

Ponsel Angga di atas meja berbunyi. Pria itu langsung menyambarnya. "Maaf, Kai. Saya angkat sebentar."

"Silakan, Mas."

Selama beberapa menit terdengar Angga berbicara dengan seseorang di seberang. Kai mengambil kesimpulan pembicaraan tersebut tentang laporan hasil pendekatan terhadap seorang dokter spesialis kulit dan kelamin agar berpraktik di rumah sakit Angga.

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang