Dua Puluh Dua

899 206 26
                                    

Terlepas dari keterkejutannya 'ditembak' di pinggir pantai dan tanpa kata basa-basi yang bisa ia antisipasi, dalam hatinya tiba-tiba saja Anjani ingin tertawa. Hah? Nembaknya begini doang? Gak bisa romantis dikit?

Kai menatap Anjani tidak sabar. "Kamu mau berpacaran dengan saya?"

Anjani tergemap. "Terima kasih atas ungkapan perasaan Mas barusan. Saya sangat menghargainya. Tapi ..."

Mendengar kata 'tapi' sudah mampu membuat bara di dada Kai padam secara perlahan. Sepertinya Anjani menolak dirinya. Apakah Anjani sedang membalaskan dendam?

"Bukannya waktu itu Mas bilang gak menyukai saya, ya?"

"Itu—"

"Apa katamu tadi? Kamu menyukai anak saya?"

Anjani terlonjak dan seketika menoleh. Jantungnya mencelus melihat Robert mendadak muncul. Mata pria itu menyipit penasaran. Entah sejak kapan Robert berdiri di belakang punggungnya, Anjani sama sekali tidak mendengar kedatangannya.

"Jangan kaget. Kami sudah seperti ayah dan anak. Jadi, bila kamu memutuskan melibatkan diri dalam kehidupan Anjani, kamu juga berurusan dengan saya."

"Benar, Om. Saya menyukai Jani," aku Kai kesatria. "Maafkan saya sudah lancang mengungkapkan perasaan saya pada putri Om di tempat seperti ini."

Kening Robert berkerut. "Sejak kapan saya jadi om kamu?"

"Oh! Maksud saya ... Dok," Kai tergagap melihat respons datar Robert.

"Saya bukan dokter kamu."

"Om!" Anjani melempar tatapan sengit. Bisakah ia dan Kai memiliki sedikit privasi di sini?

"Saya menyukai Anjani dan siap menghadapi segala konsekuensinya, Om. Termasuk bila Om mengusir saya," tandas Kai nekat.

"Kalau saya mengusirmu, kamu mau pulang pakai apa? Jalan kaki?"

"Bila saya harus melakukan itu demi Anjani, saya sanggup, Om," balas Kai nekat.

Robert menatap Kai tanpa jeda, lalu menyemburlah tawanya. "You've got balls, man!" Ia meninju bahu kanan Kai, kemudian melemparkan lirikan tajam pada Anjani seolah-olah berkata "we need to talk."

Merasa mendapatkan angin, kepercayaan diri Kai pun kembali. Ia berdeham kecil memecah keheningan. "Jani, apa saya baru saja menyulitkanmu?"

"Yeah, you did." Anjani mendesah kecil, sebal memikirkan harus menjelaskan banyak hal kepada Robert nanti. Mengapa keluarganya harus terlibat sedari awal? Tidak bisakah mereka tahu nanti saja setelah Anjani dan Kai serius memikirkan langkah selanjutnya? Tentu saja dengan catatan Anjani mengatakan "ya" kepada Kai. Sesuatu yang harus dipikirkannya terlebih dahulu.

Kai garuk-garuk kepala. Sikap impulsifnya kali ini sudah melewati batas dan melukis rona kesal di wajah Anjani. Sudah kepalang basah, lebih baik ia lanjutkan perjuangan.

"Saya minta maaf. Saya tahu ini mengejutkan. Tapi, saya baru sadar sudah mempunyai ketertarikan kepadamu sejak kita makan malam di Jogja."

"Oh, ya?" Ekspresi Anjani berubah penasaran. "Waktu itu Mas bilang gak menyukai saya."

"Saya sedang berusaha mengingkarinya, Jani."

"Begitu?"

"Kamu mau mencoba dulu dengan saya? Maksud saya, kamu mau jadi pacar saya?"

"Maaf, Mas. Saya gak bisa jawab sekarang. Saya perlu berpikir dulu," ujar Anjani berterus terang. Matanya membentuk garis lurus karena kepanasan. Dari tempatnya berdiri, tampak Jonathan dan Robert berjibaku mendirikan tenda dan mengangkut barang-barang mereka dari perahu.

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang