Tujuh

720 204 22
                                    

"Jo, gue mau ke Plengkung. Lo ikut gak?"

"Bareng Om Robert?" Jonathan balik bertanya.

"Enggak, gue doang."

"Kapan?"

"Weekend."

"Oke, gue ikut. Nanti gue kontak teman-teman di sana."

"Siip!"

Percakapan singkat di telepon itu membawa Jonathan ke Banyuwangi menggunakan kereta. Anjani merasa beruntung teman dekatnya juga seorang peselancar. Seringkali malah Anjani mengekor pada Jonathan dan teman-temannya karena cukup jarang menemukan penggemar surfing.

Jonathan mengontak dua orang temannya, warga lokal Pantai Plengkung. Sementara Tita hanya merenggut iri mendengar kabar Anjani dan Jonathan berlibur singkat. Perempuan itu lulus tes PPDS dan mulai sibuk menjalani pendidikan.

Pakar perkembangan anak berkata, bila kau melewatkan fase merangkak, keseimbangan gerak dan kordinasi tubuhmu akan terganggu. Agaknya, Anjani menjalani fase tersebut dalam kurun waktu yang terlalu lama. Ia betah merangkak selama enam bulan sampai ayahnya frustrasi dan membawanya ke dokter anak. Itu sebabnya, berdiri secara seimbang di atas papan surfing tidak jadi masalah besar sejak ia pertama kali belajar menaklukkan ombak.

Mungkin juga kemampuan itu ada hubungannya dengan nama tengah Anjani yang mengandung unsur air. Ayahnya mengatakan, Liharika berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gelombang lautan.

Langit bersih tak berawan. Matahari membakar kulit. Anjani mengoleskan sunblock sebelum melakukan pemanasan. Sembari menunggu sunblock-nya meresap, Anjani mengoleskan lilin khusus ke papan surfing-nya agar tidak licin. Sesekali ia mengamati ombak tinggi kesukaan para surfer saling berkejaran, bergulung, lalu mengempas di tepian.

Ia beranjak menyusuri pasir dengan kaki telanjang. Setelah beberapa menit, ia berbaring telungkup di atas papan dan mulai mengayuh. Targetnya senja nanti bisa menikmati matahari tenggelam.

Cukup ramai peselancar saling berlomba mencuri ombak. Mereka lebih banyak mengarahkan papannya ke kanan. Sementara Anjani mengambil jalur kiri. Karena ia kidal, segala sesuatu yang berbau kiri adalah zona nyamannya. Walaupun warga lokal berkata garis pantai di sebelah kiri cukup riskan, Anjani hanya menjanjikan diri lebih berhati-hati. Kabarnya, beberapa onggokan karang bersembunyi di bawah pecahan ombak.

Seraya meluncur dari ombak yang mengejarnya di belakang, matanya menangkap sebuah objek berwarna hitam di pinggir pantai. Bentuknya menyerupai buntalan kain memanjang. Mungkin batu, pikirnya sekilas.

Ia kembali berkonsentrasi, meluncur lebih ke kiri. Dari kejauhan, kepala teman-temannya terlihat menyumbul di antara ombak laksana buah kelapa hanyut.

Ombak menggulung Anjani dan melemparnya ke bibir pantai. Ia mengayuh di atas papan, berniat kembali ke titik mulai yang sudah jauh ia tinggalkan.

Buntalan hitam tadi kembali singgah di pandangan. Bentuknya sedikit berubah.

Mengganggu.

Konsentrasi Anjani perlahan buyar. Tanpa ia tahu, seonggok karang menunggu dengan tenang, tersembunyi di bawah pecahan ombak.

Tiba-tiba....

"Aaargh!"

Anjani terpental. Tali pengikat di kakinya putus. Papannya terombang-ambing dihanyutkan air laut.

Ia berenang ke tepian sambil terbatuk-batuk. Paru-parunya terbakar. Anjani pasrah merelakan papan kesayangannya.

Tertatih-tatih Anjani menyeret kaki dan mengenyakkan bokong di atas pasir. Wetsuit-nya sobek di bagian paha. Darah segar mengucur dari selanya. Ia meringis. Tajamnya batu karang merobek kulitnya cukup dalam. Bentuk robekannya tak beraturan.

The UndertowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang