18. Tidak mau kalah

1.7K 163 7
                                    

Malam ini Celine mempersempit jarak diantara mereka. Ia diberi kesempatan untuk berkunjung ke ruang pribadi wanita itu. Apartment rapih dengan dekorasi yang simple dan warna-warna yang kalem, putih, coklat, cream, hitam, sedikit sentuhan hijau lumut dibeberapa titik. Sangat mencerminkan wanita itu. Barang-barang ditata rapih pada tempatnya, tidak ada dekorasi atau pajangan yang tidak memiliki kegunaan disejauh matanya memandang ruang tengah apartment wanita itu. Radian semakin kagum ketika melihat penuhnya rak buku di ruang tengah tadi. Sepertinya membaca adalah salah satu hobi Celine. Tidak heran terkadang wanita itu berbicara layaknya informasi ensiklopedia, mengetahui hal-hal trivial maupun teori.

Setelah memastikan Celine meminum obatnya semalam, Radian pamit pulang. Memberi waktu untuk Celine istirahat. Wanita itu memang sudah tidak terlihat pucat, tapi demamnya masih ada. Radian belum pernah merawat orang sakit. Semua yang ia lakukan adalah upaya yang biasa ibunya lakukan kalau dia sakit dulu. Memasakan makanan, menemani ngobrol, memastikan minum obat. Celine terlihat senang dan menyukai masakannya. Radian pun bersyukur tidak menyia-nyiakan kemampuan masak yang ia tempa dari semenjak kuliah diluar.

Hidupnya setelah bertemu Celine serasa berubah 180 derajat. Dulu ia bukan tipe yang memedulikan atau memperhatikan orang lain. Cukup sekedarnya. Dengan Celine, kasih sayangnya tercurah disetiap perbuatan dan perkataannya. Katakanlah dia cheesy, tapi memang itu yang sebenarnya ia rasakan. Dan seperti tidak bisa dibendung, ia menyampaikan semua itu lewat tindakan dan perkataannya. Ia harap Celine juga merasakan apa yang ingin ia sampaikan lewat gesture-gesture kecil itu.

Sepertinya kepala Radian benar-benar sudah dipenuhi oleh Celine. Tidak ada tombol reset.

%

Pagi-pagi ibunya menatap Radian bingung. "Mau kemana kamu pagi-pagi?"

Jam menunjukan pukul delapan lebih lima menit saat Radian turun dari kamarnya. Ibunya sedang menata sarapan dimeja untuk ayahnya ketika ia turun.

"Mau jenguk temen." Jawabnya singkat. Ia berjalan menuju dapur meletakan gelasnya sisa air putih semalam, dan menghampiri ibunya disamping meja makan.

"Pagi banget jenguknya?" Radian hanya membalas dengan anggukan. Pria itu memakan satu lembar roti kemudian berpamitan pada ibunya, mencium singkat pipinya. "Aku pergi dulu ya."

Tanpa mendengar jawaban ibunya, Radian ngacir ke garasi rumah dan mengeluarkan mobilnya. Ia mendial nomer Celine, harusnya wanita itu sudah bangun kan jam segini?

"Halo?" sapa Celine disebrang telfon dengan suara yang sedikit serak seperti habis bangun tidur.

Radian tersenyum mendengarnya, "Hai. Gue on the way ya."

Tidak ada jawaban dari Celine untuk beberapa saat, "...Okay."

"Kenapa?"

Celine hanya terkekeh, "Baru ini gue dijenguk sepagi ini."

Radian melengkungkan bibirnya, tersenyum lagi. "Gue ngga sabar ketemu lo. Mau dibawain apa buat sarapan?"

Celine terdiam sebentar, gue ngga sabar ketemu lo, sudut bibirnya terangkat. Lalu setelah beberapa saat dia baru menjawab "Bubur ayam, boleh."

"Siap My Lady." Sangat mudah bertanya pada Celine tentang apa yang diinginkannya. Jarang ia mendengar kata terserah dari bibir wanita itu.

%

Radian tiba pukul sembilan lewat lima belas menit. Ia memutuskan untuk membeli bubur ditempat langganannya di daerah lebak bulus, dekat dengan rumahnya. Ia jamin Celine pasti suka.

Ketika membuka pintu apartment pagi ini, Celine terlihat sudah sehat dan lebih segar. Mungkin karena istirahat yang cukup setelah lama bekerja lembur berhari-hari ditambah wanita itu terlihat seperti baru selesai mandi karena membawa anduk kecil ditangan kirinya. Mereka sarapan dengan tenang didepan tv sambil duduk lesehan, bersandar di sofa. Menghabiskan bubur ayam yang Radian bawa.

Chance To Know YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang