14. Back to square one

1.8K 190 2
                                    

Radian sedang bermain tennis dengan ayahnya dihalaman belakang rumah mereka saat ibunya berteriak memanggil, "HP kamu nyala terus, ada telfon dari Hanif."

Radian hanya menjawab iya dan tetap melanjutkan permainan dengan ayahnya. Selama di Jakarta ia tinggal bersama orang tuanya. Tidak seperti temannya kebanyakan yang memilih tinggal di apartment dan pisah rumah dengan orang tua mereka karena butuh privacy, Radian justru merasa lebih nyaman tinggal dengan orangtuanya. Mungkin karena sudah terlalu lama tinggal sendiri selama di Singapura, ditambah sekarang yang tinggal dirumah ini hanya orangtuanya karena kakaknya sudah pindah semenjak menikah.

"Ikut Wimbledon kita?" tanya ayahnya bercanda setelah mereka baru selesai main.

Sambil masih mengelap keringatnya, Radian terkekeh, "Kalo nonton ayo, kalo main sekelas atlet nyerah deh."

"Payah ah, masih muda gitu. Ayah aja masih bisa ngalahin kamu tadi."

Radian mendengus, "Ngga usah sombong. Diplototin istrinya tuh." Ia merujuk pada ibunya yang hannya geleng-geleng kepala. Suaminya sudah tidak muda lagi, tapi kelakuannya masih kaya umur 20an. Ngga mau kalah sama anaknya.

"Apa istriku sayang? Jangan cemberut gitu dong." Goda ayahnya sambil berusaha memeluk ibunya.

Radian pura-pura bergidik melihat kelakuan orang tuanya itu lalu dia mengecek hpnya. Beberapa notifikasi tertera dilayar. Dua missed call dari Hanif, beberapa pesan whatsapp, dua invitation meeting dari outlook. Radian menghela nafas, Celine belum menghubunginya semenjak mereka bertemu di Gandaria City sabtu lalu. Ia hanya melihat wanita itu sekilas dikantor pada hari senin, kemudian tidak melihatnya lagi sampai jumat kemarin.

Kenapa rasanya resah gini kaya nungguin chat dari pacar?

Radian nelfon balik Hanif sambil berjalan kearah kamarnya, meninggalkan orangtuanya yang sedang sarapan di meja makan bagian belakang rumah mereka.

"Kenapa nelfon?"

"Ah telat lo, gue udah dijalan ke airport." Jawab Hanif.

Radian mengerutkan keningnya, "Kenapa emang?"

"Ini gue sama Nayara mau jemput Celine di airport. Kan hari ini dia balik dari SG."

Radian mematung sebentar. Dia ngga tau kalau Celine ke SG. Pantes aja dia ngga melihat wanita itu di kantor. Lalu kenapa bisa malah Hanif yang menjemput Celine? Apa karena ada Nayara?

Radian merasa melewatkan kesempatan ini. Tapi juga akan aneh kalau dia memaksakan untuk menyusul. Siapa dia?

Setelah selesai mandi dan ganti baju Radian hanya duduk bersandar dikasurnya. Termenung. Pekerjaannya minggu ini memang cukup padat hingga pikirannya jarang teralihkan selain memikirkan pekerjaan. Sesekali juga dia mengingat Celine, tapi karena wanita itu tidak terlihat dimana pun, dia pikir Celine juga sama sibuknya dengan dia. Pekerjaannya sudah terlampau menguras pikiran sehingga begitu jam 4 sore bawaannya ingin segera pulang ke rumah dan istirahat.

Masih dari kasurnya, Radian memutuskan untuk menikmati sabtu ini dengan menonton series Netflix saja. Ini salah satu caranya melepas penat. Dibandingkan dengan harus jalan-jalan keluar, Radian lebih memilih rebahan dikamarnya.

Setelah dipikir, tidak ada kewajiban dan kepentingan apapun bagi Celine untuk mengabarinya kemana wanita itu akan pergi. Radian jadi gusar sendiri akan perasaan tidak nyaman yang dirasakannya. Dia merasa sudah ada progres saat mereka belanja bareng minggu lalu, tapi sekarang rasanya seperti kembali ke titik awal.

Semakin lama rasa tertariknya dengan Celine entah kenapa semakin besar. Wanita itu tidak melakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Beda dengan beberapa wanita lain yang terlihat berusaha mengambil perhatiannya. Celine menjadi dirinya sendiri, terlihat sangat mandiri dan pintar. Wanita itu tau banyak hal, dari obrolan ringan mereka selama di Gandaria City minggu lalu, Radian tau bahwa Celine sangat menikmati kegiatan berdiskusi. Mata wanita itu berbinar saat berbicara. Disaat seperti itu Radian memandang Celine dengan cara yang lebih istimewa.

Chance To Know YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang