7

41 8 0
                                    

"Daeri."

Tangan mungil Jongdae menggeser ponsel baru yang Suho berikan, mencari nama yang selama ini dia sembunyikan. Disana, terdapat nomor internasional dengan foto profil wanita menggendong seorang anak perempuan. Itu nomor Hyeji. Dia ingin menelponnya, namun apa yang harus dia katakan pada Hyeji? Dia yakin bahwa istri kesayangannya akan marah besar dan siap menceraikan Jongdae kapanpun.

Tak yakin namun penasaran, Jongdae mencoba menghubungi nomor itu. Cukup lama Jongdae menunggu hingga seorang wanita mengangkat panggilan itu.

"Halo."

Suara yang Jongdae rindukan. Tak terasa air mata mengalir dari matanya. Jongdae memang tidak pernah menangis, bahkan ketika janji suci itu diucapkan, dia tidak menangis sama sekali. Jongdae malah tertawa sembari memeluk Hyeji yang menangis kencang. Ketika Daeri lahirpun, dia juga tidak menangis sama sekali.

Baru pertama kalinya dia menangis hanya dengan mendengar suara indah dari Hyeji.

"Halo? Jika tidak dijawab aku tutup."

"Hye—." Belum sempat Jongdae menyapa, panggilan itu akan ditutup.

"Jongdae? Ini Jongdae? Jongdaeku?"

"Oppa." Suara tangisan Jongdae dengar dari ujung sana, Hyeji juga menangis mendengar suaranya.

"Maaf, Hyeji."

Belum selesai Jongdae melepas rindu, panggilan itu dimatikan. Tiba-tiba, sebuah panggilan video terdengar. Jongdae dengan semangat mengangkat telepon itu. Ternyata Hyeji sengaja mengalihkan panggilan itu mode video agar dia bisa melihat Jongdae.

"Oppa, kau kurus sekali. Apakah kamu makan dengan benar?" tanya Hyeji. Jongdae hanya tertawa kikuk dan mengalihkan pembicaraan.

Mereka berdua saling melepas rindu melalui ponsel pintar selama berjam-jam, hingga Jongdae lupa tujuan utamanya ke Bandara. Terlebih ketika dia melihat Daeri yang sudah semakin besar dan cantik.

"Daeri sangat mirip denganmu. Keras kepala dan memiliki suara yang melengking," sindir Hyeji yang berhasil membuat Daeri merengek kesal.

"Hahaha... Daeri kamu lucu sekali, Appa—."

Belum selesai Jongdae berbicara, ponsel yang dia pakai dirampai seseorang dengan paksa. Jongdae hampir mengumpat namun urung setelah melihat pelaku dari perampasan ponsel miliknya. Wajahnya memucat, tubuhnya bergetar hebat. Ingin rasanya dia lari dan bersembunyi di tempat aman, atau kembali ke homestay meminta perlindungan Tedd. Namun sayang, 2 orang berbadan kekar memegang kedua lengan dan mengangkat Jongdae seperti boneka.

"Kau lupa dengan tugasmu, Matheo Kim?" tanya pria tambun dengan kacamata hitam di matanya.

"Sorry, Big Boss," sesal Jongdae.

"Bawa pesananku, atau Tedd dan seluruh anggotamu di Nevada akan musnah."

***

Perasaan Jongdae sudah tak karuan semenjak keluar dari bandara. Takut, khawatir, dan kesal menyatu menjadi satu. Koper berwarna hitam pekat dengan kertas tujuan Nevada dia tenteng erat, terutama saat bertemu dengan petugas. Pasalnya, tas itu berisi barang terlarang yang sudah dibungkus sedemikian rupa agar tidak ketahuan pihak Bandara baik melalui sinar X-Ray ataupun manual. Biasanya, Jongdae akan mengambil barang ini bersama Tedd, tapi pria itu tengah sibuk mengurus pasport dan kepulangannya, kata Tedd begitu.

Big Boss, orang yang dia panggil barusan berada di belakangnya dengan bodyguard berbadan besar di samping kiri dan kanan. Wajah mereka tampak menakutkan. Aura marah dan tegas menguar dari tubuh tambun mereka bertiga.

We Are One! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang