Jangan lupa tinggalkan jejak ya...
Setahun tiga bulan bukan waktu yang lama jika dirasakan. Lihat saja sekarang waktu sudah berganti. Adik kembarnya yang baru lahir sudah usia tiga bulan sekarang. Sedang gemas-gemasnnya bayi. Tari juga sudah diboyong suaminya. Tinggal si kembar yang mau tidak mau harus membantu bubu menjaga adik kembarnya yang cantik-cantik.
Ucapan Rendra waktu itu diijabah oleh Allah. Si kembar Zaza dan Zizi namanya. Usul dari Rendra waktu itu, ia rubah jadi adek Zaza dan Zizi. Biasa bocah memang masih labil. Mereka tetap di Rembang sedang aku juga tetap di Kudus. Terkadang memang Sabtu Minggu pulang ke Rembang. Tentu saja menengok si kembar yang gembil itu.
Pipi mereka yang menggemaskan menjadi candu untuk para mamas dan mbak nya ini. Meski Tari sudah boyong ke Solo, ia tak lupa untuk selalu video call. Hanya untuk melepas rindunya pada si kembar yang sangat menggemaskan.
"xixixi Adek za dan adek zi jadi kayak boneka."
"Utututu gemesnya...Abang mau kiss." Jendra yang kepalang gemas dengan bayi ini mulai mengusel-ngusel pipi si kembar. Bukannya menangis diusik Abang dan kakaknya mereka malah terbahak.
"Abang adiknya diusel-uselnya pelan-pelan to nak. Sampai merah itu pipinya. Diusap saja ya dicium biasa."
"Abang gemes banget bubu." Balasnya.Kini giliran Rendra yang berulah dicubitnya hidung mungil Zizi. Bayi itu sampai merengek.
"Kakak, ya Allah adiknya diapain?" Bubu mulai panik.
"xixii idungnya comel bubu. Kakak jadi pen narik." Aku menggelengkan kepala dua bocah tengil ini terlalu semangat punya adik baru.
"Abang, sama kakak. Ayo ikut mamas. Adik za dan zi biar bubuk. Ayo mamas mau panen gurame. Ikut ndak?"
"Wah nyebur dong? Bener mas?" aku mengangguk.
"Abang ikut, Abang mau nyebur." Jendra lebih dulu antusias.Rendra masih pikir-pikir dengan tangannya yang mengetuk-mengetuk dahi. Sambil menghitung. Dia seperti Mail saja yang sedikit-sedikit menghitung uang. Kartun Upin Ipin itu awet sekali ternyata. Hingga aku sebesar ini pun si kembar botak itu masih usia TK.
"Ayo kelamaan mikir, nanti keburu Guramenya jadi ikan bakar." Ujarku.
"ya udah okey, tapi nanti abis panen bagi hasil ya mamas. Oke?" Rendra ini sedikit licik aku rasa. Wkwk. Tanpa banyak bicara aku mengangguk saja. Toh dia juga belum mengerti besaran nominal uang. Dikasih berapapun juga akan dia terima. Terpenting si kembar tengil ini tidak mengganggu adiknya yang sudah mulai rewel minta tidur. Aku kemudian memanggil mbak ndalem untuk membantu Bubu. Kebetulan Baba juga sedang ada undangan.
"Yeyeye nyebur kolam. Selulup guys." teriak mereka.Mereka sudah berganti dengan celana pendek dan kaus. Sudah siap dengan membawa serok dan bak. Dengan tanpa dosa mengajak santri-santri untuk membantu. Bocah tengil. Aku juga sudah siap.
Byur..
Si kembar sudah lompat ke kolam ikan🤣. Kepalanya sudah basah. Kecipak dan gelombang air sudah membesar. Waduh kalau begini ikannya mabuk semua.
"Heh mboten ngoten juga to le,. Kalau begitu ikannya pada mabuk. Ndak jadi panen kita."
"Hehehhe."Sekali lagi nyengir tanpa dosa. Ingin kujitak saja kepalanya. Aku juga ikut turun mulai menangkap ikan gurame yang berenang kesana sini karena koyakan kaki di air. Jaring mulai disebar. Dibantu dengan si kembar dan juga para santri. Ah tidak sepertinya hanya para santri. Si kembar sibuk berlari mengejar ikan sambil dorong-dorongan. Mereka ini sudah delapan tahun tapi masih seperti lima tahun saja saling ciprat menciprati.
"Hahaha kena kau...hayoo jangan bandit ya" berganti setelah saling menciprati mereka mulai mengejar ikan-ikan lagi. Muka Jendra dan Rendra sudah tak berbentuk. Cemong segala nya. Bau amis juga sudah menyeruak. Setelah beberapa waktu akhirnya ikan-ikan sudah terkumpulkan. Saatnya untuk dihitung dan dijual. Kurang lebih ada dua drum hasil panen nya. Sebagian untuk dikonsumsi dengan para santri dan sebagian untuk dijual di pasar. Si kembar sudah ku arahkan untuk bersih-bersih. Mereka sudah sangat kotor dan berbau amis. Mereka berlari dengan baju yang basah lewat pintu belakang. Aku juga terlebih dahulu mengguyur pinggang dan kaki yang basah bau amis. Setelahnya masuk ke kamar dan mandi. Baunya sudah seperti si kembar.
Selepasnya, dengan sarung dan kaos berwarna hitam yang ku kenakan aku bersantai di teras depan. Sembari membaca kitab-kitab yang akan aku ajarkan sore nanti. Fathul Qorib menjadi bacaan ku siang ini. Membolak-balikkan kitab tebal itu sambil tentu saja minum teh. Saat sudah hampir pukul 13.30 WIB. Datanglah Denis. Ia menyapa dengan takdzim. Denis ini salah satu adik tingkat ku dulu. Dia juga pernah mondok disini.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Denis mau sowan sama ketemu teman-teman ta?" tanyaku.
"Hehe inggih Gus. Kebetulan waktunya ada. Dalem sowan mriki (saya berkunjung ke sini)." Aku mengangguk.
"Si kembar tadi kayaknya masih mandi." Ya, Denis ini dulu pengasuh si kembar. Dia akrab dengan si Kembar. Yang dulu sering sekali dititipkan ke Denis saat kami sedang tidak di rumah.
"Inggih aman mawon Gus. Ah inggih, untung mboten supe. Niki angsal titipan saking Prof. Basuki damel njenengan Gus (Ah inggih untung tidak lupa. Ini ada titipan dari Prof. Basuki untuk Gus)."
"Prof. Bas?" Tanyaku memastikan.
"inggih niki Gus." Denis menyerahkan kertas dengan bungkus plastik. Seperti undangan.
"oalah, maturnuwun ya."
"Inggih Gus, sami-sami. Kalau begitu Kulo ke teman-teman dulu inggih Gus." Aku mengangguk.Namun sebelum itu terjadi si kembar sudah meneriaki Denis. Mau tidak mau Denis juga akhirnya mengajak si Kembar untuk bertemu dengan teman-teman yang lain. Aku masih di teras. Memandangi undangan dari Prof. Basuki. Lihatlah itu adalah undangan pernikahan. Dengan nama mempelai yang tertera disana Agnia putri tunggal Prof. Basuki. Mataku seolah melanglang. Ada hati yang sakit tersayat oleh kenyataan.
"Ternyata saya terlambat." Wajahnya kaku dan semakin dingin. Ia tak bisa mengekpresikan rasa sakitnya dalam air mata. Wajah yang kepalang kaku itu hanya merebak saja air matanya.
"Karena saya terlalu pengecut untuk nembung ke Prof. Basuki. Takdir tak memihak saya." Matanya beralih melihat tanggal tertera yang hanya berkisar satu minggu lagi itu.
"Seminggu lagi ya. Berbahagialah meski tidak dengan saya. Satu yang sesali. Saya terlalu lama meraba rasa." Aku membawa undnagan itu ke dalam rumah. Wajah dingin nan kaku semakin dingin saja. Bubu yang keluar juga menyadari.
"Kenapa nak?"
"Ndak papa Bubu. Capek saja di luar." Bubu memandangnya. Perasaan seorang ibu tak bisa dibohongi. Ia mendekat ke arah Ghaza yang duduk sambil menunduk. Memeluk putranya yang mungkin sedang sedih hati. Rambutnya diusap. Ia melihat undangan bernama gadis yang pernah ia temui dulu
"Kalau mau nangis ndak papa kok nak. Bubu gak akan bilang dengan adik-adikmu. Manusiawi kalau kita itu menangis. Mas Ghaza juga masih manusia." Kepalanya diusap dan bersandar pada bubunya. Air matanya mulai turun tanpa suara.bibirnya kelu.
"Belum jodohnya ya nak. Ndak papa. Allah maha baik. Insyaallah sudah Allah siapkan yang terbaik. Bubu tau ini pertama kali Mas Ghaza punya perasaan dengan lawan jenis. Sudah ndak papa."
"Yakin akan takdir Allah ya nak." Ghaza mengangguk.Dikecupnya kepala oleh Ibu yang melahirkannya. Pelukan Ghaza semakin mengerat. Baba dan bubunya yang paling memahami perasaannya. Air matanya sudah diseka. Hatinya jauh lebih hangat setelah memeluk bubunya. Ia mendongak ke bubunya dan mengangguk.
"Ghaza tidak apa bubu. Insyaallah Ghaza bisa menerima takdir Allah bahwa Agnia bukan untuk Ghaza perjuangkan. Ghaza ikhlas insyaallah."
"Si dingin." Maiza menepuk punggung anak sulungnya dengan sayang. Sedikitnya sebagai seorang ibu ia mengerti hati anaknya sedang tidak baik-baik saja. Ia sadari sejak pulang dari ziarah waktu itu Ghaza sedikitnya mulai banyak tersenyum. Hinggalah kesimpulan itu ada, bahwa putranya telah jatuh cinta dengan putri tunggal Prof. Basuki, anak dosen pembimbingnya. Ghaza mengulang kisahnya yang dulu. Tentu saja dengan cara melepas takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAZANI (Simpul Rasa Series Aka Gus Ghaza)
Romance{Series Simpul Rasa 3:#Gus Ghaza} Desclimer 💢💢: Don't copy my story' Don't copy my cover story' ===================================== Susah nyari ide nya, Jangan copas sembarangan‼️ Kisah ini kutulis, murni dari imajinasi yang tak seberapa. Kal...